Tukang Insinyur Kelas 1

Beberapa hari yang lalu, saya membaca tulisan salah satu "master" structural engineering di sini, saya terpaku pada ungkapan "Tukang Kelas 1 versus Engineer". Menarik, dan memang sering dijumpai dalam dunia konstruksi sehari-hari.
Sama seperti beberapa waktu lalu, kami melakukan pengawasan sebuah pekerjaan atap baja di sebuah proyek yang kebetulan perusahaan kami sendiri yang melakukan desain struktur untuk keseluruhan bangunan termasuk atap. Kebetulan jenis atapnya adalah truss. Ada sebagian atap yang sudah jadi, tapi sebagian besar belum difabrikasi. Sebagai catatan, pelaksana pekerjaan baja tersebut boleh saya katakan (maaf) abal-abal, walaupun menurut pengakuan rekannya, si empunya sudah sangat berpengalaman dalam melakukan pekerjaan konstruksi baja. Memang sih, saya bisa menebak dari istilah-istilah yang beliau gunakan sewaktu berbincang-bincang. Misalnya, si bapak menggunakan istilah "Cremona" untuk menunjukkan struktur jenis "Truss". Saya agak tersenyum dalam hati (!?), soalnya saya tidak ingat lagi kapan terakhir kali saya mendengar istilah "Cremona" yang sebenarnya merupakan salah satu metoda yang digunakan untuk mencari gaya-gaya dalam pada sistem truss. Singkat cerita, si bapak akhirnya mengusulkan untuk mengganti profil baja salah satu elemen diagonal truss di situ. Pada gambar rencana, kami tuliskan bahwa elemen tersebut harus menggunakan profil pipa. Tapi si bapak mau menggantinya dengan profil U (UNP) yang berat atau luas penampangnya kira-kira sama dengan profil pipa, dengan alasan kalau mau pake pipa katanya volumenya nanggung, dan lagipula sebagian besar truss yang kami desain memang menggunakan UNP. Intinya sih, mereka tidak mau repot-repot membeli (menyediakan) berbagai jenis profil dan ukuran. Kan lebih enak kalo diseragamkan saja semua. Trus, saya coba tanya, "memangnya kuat pak, kalo pake UNP?" Kata si bapak, "Ooh.. yang penting kan luasan penampangnya sama. Lagian saya sudah sering ngerjain yang seperti ini" Saya tanya lagi, "Trus, taunya kuat ato nggak bagaimana, pak?" Jawab si bapak,"Lhaa.. itu yang sudah saya bangun nggak ada yang rubuh." Saya coba komentar, "Nggak ada yang rubuh mungkin karena kebetulan, pak. Lagipula bapak nggak bisa mengganti profil baja seenaknya. Saya sih bisa nggak masalah, saya tinggal buat catatan aja kalo bapak tidak mengikuti gambar rencana. Jadi, kalau nanti ada masalah misalnya atapnya rubuh, saya tinggal panggil bapak. Masalah kuat atau nggak kuat, saya nggak berani ngomong di sini. Saya harus buktikan lewat analisis dan hitungan. Lagipula ada alasannya kenapa kami pakai pipa dibanding profil lain. Batang yang diagonal yang itu dominan mengalami tekan. Kalau pakai pipa, kekauannya sama ke segala arah, tidak ada sumbu lemah sumbu kuat, sehingga tekuk lateral bisa dihindari. Kalau pake UNP, waktu mengalami tekan, dia bisa bengkok ke arah sumbu lemahnya, walaupun luas penampangnya sama dengan pipa sebelumnya."
Bapak itu cuma senyum-senyum. Sekilas tersirat ada rasa "tidak mau menerima" penjelasan saya. Memang sih beliau jauh lebih tua dari saya, saya perkirakan ada selisih 15-20 tahun antara saya dengan bapak itu. Saya juga tidak meragukan pengalaman si bapak. Tidak sedikit "improvisasi" yang dia lakukan di lapangan, seperti mengubah sambungan baut menjadi las, atau sebaliknya, menambah pelat-pelat pengaku karena "merasa" tidak aman dengan detail yang kami berikan. Kondisi itu tentu saja sedikit merepotkan kami, karena kami harus memastikan bahwa yang mereka lakukan masih masuk batas toleransi, masih bisa dipertanggungjawabkan secara teknis (bukan sekedar pengalaman). Kami, meskipun masih dalam hitungan tahun dalam melakukan desain, sangat jarang mengandalkan pengalaman. Misalnya saja mendesain balok beton. Tak terhitung sudah ratusan kali kami melakukan desain balok beton, tapi tetap saja kami harus menghitung, tidak pakai kata "biasanya". Alasannya: setiap bangunan punya karakteristik yang berbeda-beda, kondisi pembebanan, luas tributari, kondisi lingkungan, mutu material, metode pelaksanaan, perilaku bangunan keseluruhan, dan lain-lain. Atap dak beton tentu beda dengan lantai beton. Atap dak terkespos oleh hujan, otomatis dibutuhkan selimut beton yang lebih besar agar air tidak bisa merembes ke dalam besi tulangan. Dan masih banyak contoh lainnya.
Beberapa hari kemudian, saya melakukan kunjungan lagi ke lokasi. Saya tidak ketemu lagi dengan bapak si tukang baja. Tapi, saya melihat ada tumpukan batang-batang pipa baja di salah satu sudut lokasi proyek. Hmmm.. saya nggak tau apakah si bapak sudah coba-coba menghitung juga, atau... yaaa.. mungkin si bapak nggak mau pusing-pusing nantinya. Hehe.. Pengalaman itu adalah satu dari berbagai pengalaman yang saya yakin bukan hanya saya yang mengalami, tapi hampir sebagian besar yang mengaku sebagai "engineer" pernah mengalami hal yang serupa. Yah.. walaupun demikian, banyak juga ilmu yang bisa kita curi dari para "Tukang Kelas 1" yang sudah kaya akan pengalaman tersebut. Tidak mustahil, perpaduan pengalaman mereka dan apa yang kita miliki bisa melahirkan seorang "Tukang Insinyur Kelas 1". Saya punya rekan seorang engineer yang pengalamannya sudah jauh di atas saya. Dan beliau tetap selalu mengutamakan check dan analisis sebelum mengeluarkan pernyataan "kuat" atau "tidak", walaupun itu cuma sekedar mengecek konstruksi rumah 2 lantai. :) Kalau boleh saya simpulkan, para Tukang Kelas I menyatakan suatu bangunan atau komponen struktur itu kuat jika belum ada riwayat dan pengalaman keruntuhan yang mereka alami. Sementara para engineer menyatakan kekuatan suatu bangunan sebagai perbandingan antara kemampuan menahan beban versus besarnya beban maksimal yang mungkin diterima oleh bangunan tersebut. Menurut anda? []

No comments:

Post a Comment