Bagaimana Cara Mengukur Gempa?

Hasil pengukuran gempa di seismograph
Setiap tahun terjadi ribuan gempa. Tapi hanya beberapa gempa saja yang menyebabkan kerusakan yang parah terkait kekuatan gempa. Ada gempa yang tidak terlalu kuat tetapi memakan korban jiwa besar tetapi ada pula gempa yang berkekuatan besar tetapi korban jiwanya lebih sedikit. Mengapa demikian dan bagaimana cara perhitungan gempa itu? Inilah cara perhitungannya.

Gempa bumi diukur berdasarkan kekuatan dengan skala mikro hingga besar. Kekuatan gempa di atas 6.0 SR digolongkan sebagai gempa kuat dan mampu menyebabkan kerusakan fatal, seperti gempa Christchurch di Selandia Baru. Gempa bumi terbesar dalam beberapa tahun terakhir adalah Gempa Aceh berkekuatan 9,3 SR.

Berdasarkan keterangan CNN, meski gempa berkekuatan 5 tampak tidak terlalu berbeda dengan gempa 6 SR namun tingkatan satu unit ini tidaklah sederhana. Gempa berkekuatan 6 SR memiliki energi 32 kali lebih besar dari gempa 5 SR. Ini berarti, celah dua rasio dari kekuatan 5 SR sampai 7 SR setidaknya 1.000 kali lebih kuat.

Gempa yang merusak cenderung berkekuatan di atas 7 SR. Setiap tahun berdasarkan keterangan Badan Geologi AS (US Geological Survey), terjadi 20 gempa besar di seluruh dunia. Gempa bumi Aceh yang berkekuatan 9,3 SR merupakan gempa bumi terbesar di Dunia sejak 1900.

Di sisi lain, gempa Haiti yang berkekuatan ‘hanya’ 7 SR pada 2010 tampak sangat merusak karena pusat gempa terjadi di ibukota. Akibatnya, sekitar 200 ribu penduduk tewas. Ini kontras dengan gempa bumi 8,8 SR di Chili pada 2010 yang menelan 1.000 nyawa. Jumlah yang tidak terlalu banyak ini disebabkan kemunculan peringatan gempa yang cepat sehingga masyarakat dapat menyelamatkan diri segera.

Terbaru, gempa bumi berkekuatan 8,9 SR mengguncang Jepang, Jumat (11/3). Titik pusat gempa terletak 373 km dari Tokyo, berdasarkan data Badan Geologi AS (USGS). Terjadi tsunami.

Pacific Tsunami Warning Centre, Hawaii, memperingatkan keberadaan tsunami di kawasan Pasifik. Indonesia pun diminta berhati-hati. Tsunami dikabarkan berdampak pada Jepang, Rusia, Pulau Marcus, Guam, Taiwan, Filipina, Indonesia dan Hawaii, Amerika Serikat.

Pengertian & Proses Terjadinya Tsunami

Di Indonesia khususnya, kita teramat dekat dengan kata “Tsunami”. Memang, bencana alam yang satu ini pernah menggoreskan luka yang dalam bagi bangsa kita. Beberapa tahun yang lalu, ribuan nyawa melayang tersapu Tsunami di Banda Aceh. Indonesia berduka, dunia berduka. Tsunami sesungguhnya bukan milik Indonesia saja. Semua Negara yang berbatasan dengan laut dan memiliki potensi gempa yang tinggi rawan terkena tsunami. Salah satunya adalah negeri yang digdaya dengan teknologi, Jepang. Sayangnya, meski tsunami sudah demikian akrab, tapi tak sedikit di antara kita yang tak tahu pengertian tsunami yang sesunggunya. Demikian halnya dengan proses terjadinya tsunami itu sendiri. Artikel ini mencoba menjawab kedua persoalan tersebut.


Apa Itu Tsunami?


Kata “Tsunami” sendiri berasal dari bahasa Jepang yang berarti Ombak Besar (Tsu : pelabuhan dan Nami : gelombang). Adapan definisi yang disepakati banyak orang adalah tsunami merupakan bencana alam yang disebabkan oleh naiknya gelombang laut ke daratan dengan kecepatan yang tinggi akibat adanya gempa yang berpusat di bawah lautan. Gempa tersebut bisa saja diakibatkan oleh tanah yang longsor, lempeng yang bergeser, gunung berapi yang mengalami erupsi serta meteor yang jatuh di lautan. Tsunami ini biasanya terjadi apabila besarnya gempa melebihi 7 skala richter. Tsunami ini cukup berbahaya, utamanya bagi mereka yang bermukim di sekitaran pantai. Dengan kekuatan besar, ia akan menyapu apa saja yang dilewatinya.

Proses Terjadinya Tsunami

Jika berbicara mengenai proses terjadinya tsunami, maka kita tentu harus memulai dari penyebabnya, yakni gempa di wilayah lautan. Tsunami selalu diawali suatu pergerakan dahsyat yang lazim kita sebut gempa. Meski diketahui bahwa gempa ini ada beragam jenis, namun 90% tsunami disebabkan oleh pergerakan lempeng di dalam perut bumi yang letaknya kebetulan ada di dalam wilayah lautan. Akan tetapi perlu juga disebutkan, sejarah pernah merekam tsunami yang dahsyat akibat meletusnya Gunung Krakatau.

Gempa yang terjadi di dalam perut bumi akan mengakibatkan munculnya tekanan ke arah vertical sehingga dasar lautan akan naik dan turun dalam rentang waktu yang singkat. Hal ini kemudian akan memicu ketidakseimbangan pada air lautan yang kemudian terdorong menjadi gelombang besar yang bergerak mencapai wilayah daratan.

Dengan tenaga yang besar yang ada pada gelombang air tersebut, wajar saja jika bangunan di daratan bisa tersapu dengan mudahnya. Gelombang tsunami ini merambat dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Ia bisa mencapai 500 sampai 1000 kilometer per jam di lautan. Dan saat mencapai bibir pantai, kecepatannya berkurang menjadi 50 sampai 30 kilometer per jam. Meski berkurang pesat, namun kecepatan tersebut sudah bisa menyebabkan kerusakan yang parah bagi manusia.

Jika kita mencermati proses terjadinya tsunami, tentu kita paham bahwa tak ada campur tangan manusia di dalamnya. Dengan demikian, kita tak memiliki kendali untuk mencegah penyebab tersebut. Namun, dengan persiapan dan kewaspadaan yang maksimal, kita bisa meminimalisir dampak bencana tsunami ini sendiri. Contoh yang baik sudah diperlihatkan Jepang. Meski rawan tsunami, namun kesadaran rakyatnya mampu menekan jumlah korban akibat bencana tersebut.

Mengurai Dampak Tsunami

Bencana alam tsunami merupakan momok yang menakutkan bagi siapapun, terutama bagi mereka yang menetap di wilayah yang berbatasan dengan laut dan rawan gempa, seperti Indonesia dan Jepang misalnya. Kedua Negara ini, jika dihitung, sudah berkali-kali diterjang dahsyatnya gelombang tsunami yang umumnya disebabkan pergeseran lempeng dalam perut bumi yang berada tepat di bawah air laut. Dampak tsunami ini sungguh luar biasa sehingga meninggalkan trauma bagi masyarakat yang tinggal di wilayah bekas tsunami. Dan trauma ini hidup di tengah-tengah masyarakat yang mencoba untuk pulih.

Dampak Buruk Bagi Ekosistem

Seperti kita ketahui, gelombang tsunami yang naik ke daratan akan menyapu apa saja yang ia lalui. Besarnya tekanan yang ia bawa mampu menekan, menerjang dan merusak berbagai ekosistem di daratan. Dampak yang ditinggalkan kurang lebih sama seperti bencana alam lainnya. Kehidupan yang dinamis dalam suatu ekologi akan terputus mata rantainya sebab manusia, tumbuhan dan hewan yang tersapu gelombang tersebut akan terganggu kehidupannya bahkan tak sedikit yang kehilangan nyawa. Rusaknya berbagai mata rantai ekosistem ini tentu akan berpengaruh banyak pada kehidupan manusia dari berbagai aspek, baik itu ekonomi, sosial maupun budaya.

Dampak Buruk Bagi Kehidupan Sosial Masyarakat

Pasca tsunami, sendi-sendi ekonomi masyarakat akan lumpuh. Aktifitas jual dan beli masyarakat menjadi lemah. Dampak tsunami dalam lingkup ekonomi ini cukup sulit dipulihkan meskipun bangunan fisik sebagai infrastruktur kegiatan masyarakat sudah pulih.

Hal lain yang dirusak bencana tsunami adalah kehidupan sosial masyarakat. Tak bisa dipungkiri, banyak yang kehilangan keluarganya pada bencana tersebut. Anak-anak kehilangan orang tua demikian sebaliknya. Hal ini tentu akan menciptakan dinamika sosial dimana kehidupan sosial masyarakat akan terganggu. Sekalipun kehidupan sosial ini pulih setelah beberapa waktu, namun trauma yang dirasakan masyarakat setempat tentu akan sukar hilang.

Kehidupan sosial yang chaos tersebut kemudian berimbas pada wilayah lain seperti kehidupan berbudaya, pendidikan dan lain-lain. Pasca tsunami, kegiatan pendidikan juga seni akan terganggu sebab sarana fisik rusak. Hal ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Negara untuk memulihkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang terkena tsunami. Hal ini tak mudah, membutuhkan energi, waktu dan biaya yang tak sedikit.

Oleh karena penyebab bencana tsunami murni alam, maka langkah pencegahan yang bisa dilakukan hanyalah dengan mempersiapkan masyarakat agar lebih waspada dan siaga. Untuk mendukung program ini, pemerintah menggerakkan semua pemangku kebijakan di segala sektor. Indonesia jauh tertinggal dari Jepang dalam menghadapi tsunami. Sehingga dampak tsunami di Indonesia jauh lebih dramatis. Namun hal tersebut disebabkan beberapa faktor salah satunya adalah perbedaan kondisi perekonomian kedua Negara. Meski demikian, Indonesia tetap harus berguru pada Jepang, negeri yang dilanda gempa sepanjang tahun ini memang mampu menangani bencana dengan langkah yang lebih taktis.

Dampak Letusan Gunung Berapi Bagi Manusia

Letusan Gunung Berapi
Gunung berapi atau biasa juga disebut dengan Gunung Api merupakan istilah yang merujuk pada seuatu kondisi dimana terdapat suatu saluran fluida yang dilalui material panas baik itu dalam bentuk cair maupun lava. Saluran fluida ini muncul dipermukaan bumi hanya saja dibalut oleh tanah yang tampak mengerucut dan kita kenal dengan nama gunung. Pada dasarnya, gunung berapi terdapat hampir di seluruh penjuru wilayah dunia. Hanya saja ada beberapa Negara yang memang dikenal kaya akan gunung berapi sebab wilayahnya dilalui oleh pegunungan Sirkum dan juga Pegunungan Mediterania. Salah satu Negara tersebut adalah Indonesia. Setiap tahun ada saja gunung api di Negara kita yang diberitakan mengalami peningkatan aktifitas. Meski demikian, masyarakat seolah telah mahfum dan memandang letusan gunung berapi sebagai salah satu bagian yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Satu-satunya cara bertahan adalah dengan beradaptasi.

Lebih lanjut, letusan gunung berapi harus diakui tak hanya membawa dampak negatif saja bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya. Terdapat pula dampak positif yang membuat sebagia orang memilih bertahan di pemukiman sekitar gunung berapi. Apa saja dampak negatif dan dampak positif letusan gunung berapi tersebut, berikut uraiannya.


Dampak Negatif

Gunung berapi yang meletus tentu akan membawa material yang berbahaya bagi organisme yang dilaluinya, Karena itu kewaspadaan mutlak diperlukan. Berikut ini hal negatif yang bisa terjadi saat gunung meletus:
  1. Tercemarnya udara dengan abu gunung berapi yang mengandung bermacam-macam gas mulai dari Sulfur Dioksida atau SO2, gas Hidrogen sulfide atau H2S, No2 atau Nitrogen Dioksida serta beberapa partike debu yang berpotensial meracuni makhluk hidup di sekitarnya.
  2. Dengan meletusnya suatu gunung berapi bisa dipastikan semua aktifitas penduduk di sekitar wilayah tersebut akan lumph termasuk kegiatan ekonomi.
  3. Semua titik yang dilalui oleh material berbahaya seperti lahar dan abu vulkanik panas akan merusak pemukiman warga.
  4. Lahar yang panas juga akan membuat hutan di sekitar gunung rusak terbakar dan hal ini berarti ekosistem alamiah hutan terancam.
  5. Material yang dikeluarkan oleh gunung berapi berpotensi menyebabkan sejumlah penyakit misalnya saja ISPA.
  6. Desa yang menjadi titik wisata tentu akan mengalami kemandekan dengan adanya letusan gunung berapi. Sebut saja Gunung Rnjani dan juga Gunung Merapi, kedua gunung ini dalam kondisi normal merupakan salah satu destinasi wisata terbaik bagi mereka wisatawan pecinta alam.
Dampak Positif Letusan Gunung Berapi

Selain dampak negatif, jika ditelaah, letusan gunung berapi juga sebenarnya membawa berkah meski hanya bagi penduduk yang ada di sekitar. Apa saja? Berikut uraiannya:
  1. Tanah yang dilalui oleh hasil bulkanis gunung berapi sangat baik bagi pertanian sebab tanah tersebut secara alamah menjadi lebih subur dan bisa menghasilkan tanaman yang jauh lebih berkualitas. Tentunya bagi penduduk sekitar pegunungan yang mayoritas petani, hal ini sangat menguntungkan.
  2. Terdapat mata pencaharian baru bagi rakyat sekitar gunung berapi yang telah meletus, apa itu? Jawabannya penambang pasir. Material vulkanik berupa pasir tentu memiliki nilai ekonomis.
  3. Selain itu, terdapat pula bebatuan yang disemburkan oleh gunung berapi saat meltus. Bebatuan tersebut bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangungan warga sekitar gunung.
  4. Meski ekosistem hutan rusak, namun dalam beberapa waktu, akan tumbuh lagi pepohonan yang membentuk hutan baru dengan ekosistem yang juga baru.
  5. Setelah gunung meletus, biasanya terdapat geyser atau sumber mata air panas yang keluar dri dalam bumi dengan berkala atau secara periodik. Geyser ini kabarnya baik bagi kesehatan kulit.
  6. Muncul mata air bernama makdani yaitu jenis mata air dengan kandungan mineral yang sangat melimpah.
  7. Pada wilayah vulkanik, potensial terjadi hujan orografis. Hujan ini potensial terjadi sebab gunung adalah penangkan hujan terbaik.
  8. Pada wilayah yang sering terjadi letusan gunung berapi, sangat baik didirikan pembangkit listrik.

Memahami Bencana Alam Gempa Bumi

Memahami Bencana Alam Gempa Bumi

Bencana Alam Gempa Bumi
Indonesia merupakan salah satu Negara yang rawan mengalami gempa bumi. Hal ini secara geologis disebabkan fakta alam dilewatinya wilayah Indonesia dengan dua pegunungan yakni Mediteranian di sebelah barat dan Pegunungan Sirkum di wilayah Timur. Kedua pegunungan ini menjadikan Negara Indonesia rentan terhadap bencana alam semisal gunung meetus dan juga gempa bumi. Pada kesempatan kali ini, pokok pembahasan yang hendak dibicarakan lebih jauh adalah bencana alam gempa bumi. Per tahunnya, Indonesia mengalami bencana ini dan hampir merata di seluruh wilayah. Anda masih ingat kan dengan tragedi tsunami di Aceh yang memakan korban ribuan jiwa? Tsunami tersebut dimulai dengan terjadinya bencana alam gempa bumi dengan scala richter lebih dari 7. Apa sebenarnya gempa bumi ini?

Secara sederhana, bencana alam gempa bumi bisa diartikan sebagai sebuah guncangan yang berlangsung di permukaan bumi. Guncangan tersebut sebenarnya merupakan akibat dari proses pelepasan energi yang berlangsung tiba-tiba dan pada akhirnya memunculkan sebuah gelombang yang sistemik. Semakin besar gelombang yang dihasilkan tersebut maka semakin tinggi juga daya goncangan gempa.


Bencana alam gempa bumi ini sebenarnya bisa disebut juga sebagai pergerakan kerak bumi atau dikenal juga dengan istilah lempeng bumi. Kekuatannya dihitung dengan menggunakan pendekatan skala yang dikenal juga dengan nama Skala Richeter. Pendekatan ini merupakan skala yang dihitung dengan dasar besaran lokal magnitude. Para ahli mencatat, kekuatan gempa bumi yang paling besar ada pada 9 skala richter. Meski demikian, ukuran skala ini sebenarnya tidak memiliki batasan.

Berdasarkan beberapa poin, bencana alam gempa bumi ini bisa dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:

Berdasarkan Kedalaman

Gempa bumi yang didasarkan pada hal ini dibagi atas:
  1. Gempa bumi dalam, yakni bencana alam gempa dimana hiposentrmnya ada di bawah kedalaman yang lebih dari 300 kilometer di dalam perut bumi. Secara umum, jenis gempa bumi yang satu ini tidak membahayakan.
  2. Gempa bumi menengah, yakni bencana alam gempa dengan hiposentrum yang titiknya ada di antara 60 kilometer sampai 300 kilometer dari permukaan bumi. Jenis gempa yang satu ini biasanya menyebabkan kerusakan namun tidak terlalu parah.
  3. Gempa bumi dangkal, yakni bencana alam gempa bumi titik hiposentrumnya ada pada wilayah yang kurang dari 60 kilometer diukur dari permukaan bumi. Gempa yang demikian berpotensi menyebabkan kerusakan yang parah di permukaan bumi.

Berdasarkan Getaran atau Gelombang Gempa

Dari poin ini, jenis bencana alam gempa bumi dibagi atas:
  1. Gelombang primer dengan gelombang longitudinal. Gempa ini diakibatkan oleh gelombang yang menjalar di dalam tubuh bumi dengan mencapai kecepatan 7 sampai 14 kilometer per detiknya. Getaran jenis gempa ini berasal juga dari hiposentrum
  2. Gelombang sekunder, yakni gempa dengan gelombang transversal. Ia merupakan gelombang yang juga merambat layaknya gelombang primer hanya saja kecepatanya telah berkurang dan hanya mencapai 4 sampai 7 kilometer per detiknya. Gelombang yang satu ini tidak mampu menjalar di medium atau lapisan yang cair.

Berdasarkan Penyebab Gempa

Jika didasarkan pada penyebabnya, maka bencana alam gempa bumi dibagi atas:
  1. Gempa Bumi Tektonik, yakni jenis gempa yang terjadi sebagai akibat adanya aktifitas tektonik. Aktifitas ini mencakup pergeseran lempengan tektonik secara tiba-tiba dengan kekuatan yang kecil hingga besar. Gempa jenis yang satu ini biasanya memunculkan kerusakan yang parah.
  2. Gempa Bumi Tumbukan, gempa jenis yang satu ini diakibatkan oleh kehadiran meteor atau benda-benda langit yang menabrak atau jatuh ke planet bumi. Gempa jenis ini cukup jarang terjadi. Kalaupun terjadi, bisa diprediksi sebab para ahli bisa mendeteksi jika ada benda langit yang menuju bumi.
  3. Gempa Bumi Buatan, yakni jenis gempa yang tidak disebabkan oleh alam. Gempa ini dipicu aktifitas manusia misalnya saja proses peledakan dinamit, senjata nuklir dan benda-benda potensial lainnya.
  4. Gempa Bumi Runtuhan, jenis gempa bumi yang satu ini terjadi di wilayah yang berkapur atau titik pertambangan. Gempa ini bersifat lokal dan jarang mengakibatkan kerusakan yang parah.
  5. Gempa Vulkanik, jenis bencana alam gempa bumi yang satu ini disebabkan aktifitas magma yang umumnya merupakan pertanda sebuah gunung akan meletus. Semakin besar tenaga yang dihasilkan gunung berapi tersebut maka semakin besar pula kekuatan gempa yang terjadi di sekitar gunung tersebut.

Mengurai Proses Terjadinya Gempa Bumi

Gempa bumi merupakan salah satu jenis bencana alam yang secara terus menerus terjadi di bumi. Hanya saja, kita baru bisa merasakan getarannya apabila gempa tersebut terjadi di dekat permukaan bumi. Teknisnya, semua wilayah yang ada di bumi berpotensi mengalami gempa. Hanya saja, ada beberapa titik yang mengalami gempa dengan jumlah lebih jika dibandingkan dengan titik lainnya. Salah satu Negara yang sering mengalaminya adalah Jepang dan juga Indonesia. Di Indonesia sendiri, gempa bumi seolah telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Hal ini wajar mengingat Indonesia memang dilalui pegunungan Sirkum dan juga Mediterania yang menjadikannya titik potensial gempa bumi. Meski sering terjadi,namun bukan berarti semua orang di Indonesia memahami proses terjadinya gempa bumi. Anda termasuk di dalamnya? Jika iya, silahkan simak uraian berikut ini.

Pada sarnya, para ahli membagi proses terjadinya gempa bumi atau asal muasal gempa ke dalam dua kelompok besar yakni:

  1. Teori Pergeseran Sesar
  2. Teori Kekenyalan Elastis atau elastic rebound theory.
Menurut para ahli, gempa yang banyak terjadi disebabkan oleh pergeseran lempengan sepanjang sesar dan terjadi secara tiba-tiba atau dikenal dengan istilah sudden slip. Hal ini terjadi pasa lapisan kerak bumi. Lebih lanjut para ahli berpendapat bahwa penyebab utama bencana gempa bumi prosesnya diawali dengan sebuah gaya pergerakan yang terdapay di titik interior bumi. Gaya ini dikenal juga dengan istilah gaya konveksi mantel. Proses gempa bumi ini dimulai dari gaya konveksi mantel yang kemudian menekan bagian kerak bumi yang dikenal juga dengan nama outer layer. Kerak ini memiliki sifat yang rapuh, dengan demikian saat ia tak lagi bisa menahan gaya konveksi mantel ini maka sebagai akibatnya sesar akan bergeser dan dirasakan manusia sebagai sebuah gempa. Proses gempa bumi yang satu ini masuk ke dalam jenis gempa tektonik. Tentu jika jenis gempanya vulkanik, buatan, tumbukan serta runtuhan, maka prosesnya akan berbeda.

Namun, menurut para ahli, dari semua total gempa yang terjadi di seluruh dunia, jenis gempa tektonik inilah yang mendominasi. Bahkan jenis gempa vulkanik sendiri pun hanya mencapai 7% dari semua total gempa yang terjadi. Proses terjadinya gempa vulkanik dimulai dari pergerakan material yang ada di dalam saluran fluida. Gerakan ini biasanya dirasakan sesaat sebelum sebuah gunung berapi meletus. Untuk jenis gempa buatan yang menggunakan dinamit misalnya, prosesnya terjadi lantaran ada tekanan yang bersumber dari dinamit tersebut. Ledakan dahsyat dari dinamit akan membuat wilayah target terguncang dan terjadilah gempa buatan.

Sementara itu, proses terjadinya gempa bumi tumbukan selalu dimulai dari adanya benda luar angkasa yang berhasil sampai ke permukaan bumi. Benda ini datang dengan kecepatan luar biasa sehingga saat mencapai badan bumi, tekanan akan dirasasakan dalam bentuk gerakan atau getaran. Tingkatannya tergantung penuh pada kekuatan benda luar angkasa tersebut.

Hipotesa Pengapungan Benua (Continental Drift)

Revolusi dalam ilmu pengetahuan kebumian sudah dimulai sejak awal abad ke 19, yaitu ketika munculnya suatu pemikiran yang bersifat radikal pada kala itu dengan mengajukan hipotesa tentang benua-benua yang bersifat mobil yang ada di permukaan bumi. Sebenarnya teori tektonik lempeng sudah muncul ketika gagasan mengenai hipotesa Pengapungan Benua (Continental Drift) diperkenalkan pertama kalinya oleh Alfred Wegener (1915) dalam bukunya “The Origins of Oceans and Continents”. Pada hakekatnya hipotesa pengapungan benua adalah suatu hipotesa yang menganggap bahwa benua-benua yang ada saat ini dahulunya bersatu yang dikenal sebagai super-kontinen yang bernama Pangaea. Super-kontinen Pangea ini diduga terbentuk pada 200 juta tahun yang lalu yang kemudian terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang kemudian bermigrasi (drifted) ke posisi seperti saat ini.

Bukti bukti tentang adanya super-kontinen Pangaea pada 200 juta tahun yang lalu didukung oleh fakta fakta sebagai berikut:
Kecocokan / kesamaan Garis Pantai :
Adanya kecocokan garis pantai yang ada di benua Amerika Selatan bagian timur dengan garis pantai benua Afrika bagian barat. Kedua garis pantai ini apabila dicocokan atau dihimpitkan satu dengan lainnya akan berhimpit. Wegener menduga bahwa kedua benua tersebut pada awalnya adalah satu. Berdasarkan adanya kecocokan bentuk garis pantai inilah kemudian Wegener mencoba untuk mencocokkan semua benua-benua yang ada di muka bumi.
Persebaran Fosil :
Diketemukannya fosil-fosil yang berasal dari binatang dan tumbuhan yang tersebar luas dan terpisah di beberapa benua :
  1. Fosil Cynognathus, suatu reptil yang hidup sekitar 240 juta tahun yang lalu dan ditemukan di benua Amerika Selatan dan benua Afrika.
  2. Fosil Mesosaurus, suatu reptil yang hidup di danau air tawar dan sungai yang hidup sekitar 260 juta tahun yang lalu, ditemukan di benua Amerika Selatan dan benua Afrika.
  3. Fosil Lystrosaurus, suatu reptil yang hidup di daratan sekitar 240 juta tahun yang lalu, ditemukan di benua benua Afrika, India, dan Antartika.
  4. Fosil Clossopteris, suatu tanaman yang hidup 260 juta tahun yang lalu, dijumpai di benua benua Afrika, Amerika Selatan, India, Australia, dan Antartika.
Pertanyaannya adalah, bagaimana binatang-binatang darat tersebut dapat bermigrasi menyeberangi lautan yang sangat luas serta di laut yang terbuka? Boleh jadi jawabannya adalah bahwa benua-benua yang ada sekarang pada waktu itu bersatu yang kemudian pecah dan terpisah-pisah seperti posisi saat ini.
Kesamaan Jenis Batuan :
Jalur pegunungan Appalachian yang berada di bagian timur benua Amerika Utara dengan sebaran berarah timur laut dan secara tiba-tiba menghilang di pantai Newfoundlands. Pegunungan yang umurnya sama dengan pegunungan Appalachian juga dijumpai di British Isles dan Scandinavia. Kedua pegunungan tersebut apabila diletakkan pada lokasi sebelum terjadinya pemisahan / pengapungan, kedua pegunungan ini akan membentuk suatu jalur pegunungan yang menerus. Dengan cara mempersatukan / mencocokan kenampakan bentuk-bentuk geologi yang dipisahkan oleh suatu lautan memang diperlukan, akan tetapi data-data tersebut belum cukup untuk membuktikan hipotesa pengapungan benua (continental drift). Dengan kata lain, jika suatu benua telah mengalami pemisahan satu dan lainnya, maka mutlak diperlukan bukti-bukti bahwa struktur geologi dan jenis batuan yang cocok/sesuai. Meskipun bukti-bukti dari kenampakan geologinya cocok antara benua-benua yang dipisahkan oleh lautan, namun belum cukup untuk membuktikan bahwa daratan/benua tersebut telah mengalami pengapungan.
Bukti Paleoclimatic (Iklim Purba) :
Para ahli kebumian juga telah mempelajari mengenai ilklim purba, di mana pada 250 juta tahun yang lalu diketahui bahwa belahan bumi bagian selatan pada zaman itu terjadi iklim dingin, di mana belahan bumi bagian selatan ditutupi oleh lapisan es yang sangat tebal, seperti benua Antartika, Australia, Amerika Selatan, Afrika, dan India. Wilayah yang terkena glasiasi di daratan Afrika ternyata menerus hingga ke wilayah ekuator. Akan tetapi argumentasi ini kemudian ditolak oleh para ahli kebumian, karena selama perioda glasiasi di belahan bumi bagian selatan, di belahan bumi bagian utara beriklim tropis yang ditandai dengan berkembangnya hutan rawa tropis yang sangat luas dan merupakan material asal dari endapan batu bara yang dijumpai di Amerika bagian timur, Eropa dan Asia.
Pada saat ini, para ahli kebumian baru percaya bahwa daratan yang mengalami glasiasi berasal dari satu daratan yang dikenal dengan super-kontinen Pangaea yang terletak jauh di bagian selatan dari posisi saat ini. Bukti-bukti dari Wegener dalam mendukung hipotesa Pengapungan Benua baru diperoleh setelah 50 tahun sebelum masyarakat ahli kebumian mempercayai kebenaran tentang hipotesa Pengapungan Benua.
Pengapungan Benua dan Paleomagnetisme :
Ketika pertama kali hipotesa Pengapungan Benua dikemukakan oleh Wegener, yaitu pada periode 1930 hingga awal tahun 1950-an, bukti-bukti yang mendukung hipotesa ini sangat minim sekali. Adapun perhatian terhadap hipotesa ini baru terjadi ketika penelitian mengenai penentuan Intensitas dan Arah medan magnet bumi. Setiap orang yang pernah menggunakan kompas tahu bahwa medan magnet bumi mempunyai kutub, yaitu kutub utara dan kutub selatan yang arahnya hampir berimpit dengan arah kutub geografis bumi. Medan magnet bumi juga mempunyai kesamaan dengan yang dihasilkan oleh suatu batang magnet, yaitu menghasilkan garis-garis imaginer yang berasal dari gaya magnet bumi yang bergerak melalui bumi dan menerus dari satu kutub ke kutub lainnya. Jarum kompas itu sendiri berfungsi sebagai suatu magnet kecil yang bebas bergerak di dalam medan magnet bumi dan akan ditarik ke arah kutub-kutub magnet bumi. Suatu metoda yang dipakai untuk mengetahui medan magnet purba adalah dengan cara menganalisa beberapa batuan yang mengandung mineral-mineral yang kaya unsur besinya yang dikenal sebagai fosil kompas. Mineral yang kaya akan unsur besi, seperti magnetite banyak terdapat dalam aliran lava yang berkomposisi basaltis. Saat suatu lava yang berkomposisi basaltis mendingin (menghablur) dibawah temperatur Curie (± 5800 C), maka butiran butiran yang kaya akan unsur besi akan mengalami magnetisasi dengan arah medan magnet yang ada pada saat itu. Sekali batuan tersebut membeku maka arah kemagnetan (magnetisasi) yang dimilikinya akan tertinggal di dalam batuan tersebut. Arah kemagnetan ini akan bertindak sebagai suatu kompas ke arah kutub magnet yang ada. Jika batuan tersebut berpindah dari tempat asalnya, maka kemagnetan batuan tersebut akan tetap pada arah aslinya. Batuan batuan yang terbentuk jutaan tahun yang lalu akan merekam arah kutub magnet pada saat dan tempat di mana batuan tersebut terbentuk, dan hal ini dikenal sebagai Paleomagnetisme.
Penelitian mengenai arah kemagnetan purba pada aliran lava yang diambil di Eropa dan Asia pada tahun 1950-an menunjukkan bahwa arah kemagnetan untuk batuan batuan yang berumur muda cocok dengan arah medan magnet bumi saat ini, akan tetapi arah kemagnetan (magnetic alignment) pada aliran lava yang lebih tua ternyata menunjukkan arah kemagnetan yang sangat bervariasi dengan perbedaan yang cukup besar. Berdasarkan hasil ploting dari posisi yang terlihat sebagai kutub magnet utara untuk benua Eurasia mengindikasikan bahwa selama 500 juta tahun yang lalu, lokasi-lokasi dari kutub utara magnet bumi secara berangsur berpindah-pindah. Hal ini merupakan bukti kuat bahwa kutub magnet bumi telah mengalami berpindahan / bermigrasi. Perpindahan arah kutub magnet ini dikenal sebagai “Pole Magnetic Wandering” yaitu arah kutub magnet yang berkelana / berpindah pindah.
Sebaliknya apabila arah kutub magnet dianggap tetap pada posisi seperti saat ini maka penjelasannya adalah bahwa benua yang mengalami perpindahan atau pengapungan.
Semua bukti-bukti ilmiah tersebut mengindikasikan bahwa posisi rata-rata dari kutub kutub magnet erat kaitannya dengan posisi kutub geografis bumi. Dengan demikian, jika posisi kutub-kutub magnet relatif tetap pada posisinya, maka kutub-kutub yang terlihat berpindah pindah dapat dijelaskan dengan hipotesa Pengapungan Benua. Beberapa tahun kemudian, suatu kurva dari kenampakan kutub-kutub magnet yang berpindah pindah juga dilakukan untuk benua Amerika Utara. Apabila diperbandingkan hasil dari kedua jalur perpindahan kutub magnet bumi, baik yang ada di Amerika Utara dan Eurasia memperlihatkan kesamaan dan kemiripan dari jalur perpindahan kutub kutub magnet bumi tersebut yang terpisah dengan sudut 30 derajat.
Menurut teori  lempeng Tektonik oleh Le Pichon (1968), kulit bumi atau yang disebut dengan lithosfera termasuk bagian paling luar yaitu kerak bumi (Continental crust) dan kerak samudra (Oceanic Crust) terdiri atas lempeng – lempang tegar atau kaku dan saling bergerak satu sama lain.
Teori Tektonik Lempeng berawal dari pengamatan Alfred Wagener pada tahun 1915 yang menjelaskan bahwa adanya kesimetrisan bentuk antara pantai timur Amerika Selatan dengan pantai barat Afrika yang kalau didekatkan melekat menjadi satu kesatuan benua besar. Dari pengamatan tersebut lahirlah ”Continental Drift Theory” yang menyatakan bahwa sekitar 250 juta tahun yang lalu benua-benua ini pernah menjadi dua benua besar yang disebut Pangea dan Gondwana. Kemudian kedua benua tersebut seiring dengan waktu pecah menjadi benua-benua kecil dan bergerak ke posisi seperti yang ada sekarang dan akan terus bergerak secara dinamis. Teori tektonik mengasumsikan bahwa interior bumi kita tersusun dari media yang berlapis-lapis. Teori ini juga mengasumsikan bahwa kerak bumi yang bersifat padat dan rigid seolah-olah mengapung diatas lapisan mantel bumi yang terdiri dari fluida kental. Dengan demikian kerak bumi akan berada pada keadaan tidak stabil.
Lempeng – lempeng tersebut merupakan bongkah – bongkah lithosfera yang bersifat tidak kaku (lunak, plastis, mudah berubah) dan dalam keadaan bergerak yang dinamakan ‘Asthenosfera‘. Sedangkan mengenai mekanisme pergerakan itu sendiri karena adanya arus konveksi yang terdapat di dalam mantel bumi. Namun akhir ini para peneliti berpendapat bahwa gerak utama dari lempeng–lempang ini karena pengaruh dari perbedaan densitas atau kepadatan dan ketebalan kerak bumi yang menonjol kearah lateral akibat dari pendinginan bumi.
Pola Mekanisme terjadinya gempabumi di atas tergantung pada keadaan struktur kulit bumi dan distribusi gaya atau stress yang bekerja. Stress yang bekerja pada gempa tektonik yang terjadi umumnya adalah seragam atau uniform. Sehingga perbedaan keadaan struktur atau medium daerah bersangkutan.
Teori Gempabumi
Gempabumi  merupakan peristiwa alamiah yang tidak dapat dipisahkan dengan fenomena-fenomena alamiah lainya terutama aktivitas gunung berapi (vulkanic). Kedua fenomena ini berkaitan erat dengan proses- proses internal yang terjadi dalam bumi. Secara fisis fenomena ini merupakan peristiwa pelepasan energi yang dikumpulkan sebelum akibat tegangan yang bekerja di dalam bumi. Energi yang dilepaskan pada saat terjadi nya gempabumi dapat berupa deformasi, energi gelombang atau energi–energi lainya.
Energi deformasi yang dilepaskan suatu gempa bumi dapat dilihat dari bentuk topografi suatu daerah.Perubahan bentuk ini dapt dilihat dari bentuk topografi suatu daerah. Perubahan bentuk ini di sebabkan oleh pergeseran – pergeseran lempeng tektonik (tektonik plates) atau dapat juga disebabkan aktivitas gunung berapi serta menuasia yang menyebabkan naik turunya lapisan bumi. Studi yang mendalam tentang proses gempa bumi disertai analis–analisis catatan penyabaran daerah gempa menunjukan bahwa energi gelombang yang dipancarkan oleh suatu gempa akan menjalar dan menggetarkan medium elastik yang dilewatinya.
Besar kecilnya akibat yang dirasakan karena gempa bumi berkorelasi fositif dengan jarak suatu daerah dengan hiposenter suatu gempa. Hiposenter adalah lokasi nyata terjadinya gempa bumi sedangkan episenter adalah proyeksi hiposenter di permungkaan bumi (guttenber, 1954)
Jenis Gempabumi
Gempabumi merupakan fenomena alam yang bersifat merusak dan menimbulkan bencana dapat digolongkan menjadi empat jenis, yait
1.      Gempabumi Vulkanik ( Gunung Api )
Gempa bumi ini terjadi akibat adanya aktivitas magma, yang biasa terjadi sebelum gunung api meletus. Apabila keaktifannya semakin tinggi maka akan menyebabkan timbulnya ledakan yang juga akan menimbulkan terjadinya gempabumi. Gempabumi tersebut hanya terasa di sekitar gunung api tersebut.
2.      Gempabumi Tektonik
Gempabumi ini disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik, yaitu pergeseran lempeng  lempeng tektonik mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar. Gempabumi ini banyak menimbulkan  kerusakan atau bencana alam dibumi, getaran gempa bumi yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian bumi
3.      Gempabumi Runtuhan
Gempabumi ini biasanya terjadi pada daerah kapur ataupun pada daerah pertambangan,  gempabumi ini jarang terjadi dan bersifat lokal.

Teori Tektonik Lempeng

Hipotesis Apungan Benua

Saat perkembangan pembuatan peta dunia pada awal tahun 1900-an, seorang ahli meteorologi dari Jerman, Alfred Wegener mengemukakan sebuah hipotesis tentang Apungan Benua (Hypothesis of Continental Drift). Dia mengemukakan bahwa dulunya ada sebuah super-kontinen, disebut Pangaea, yang pecah jutaan tahun yang lalu, kemudian benua-benua pecahannya perlahan bergerak menuju posisinya saat ini dan masih terus bergerak perlahan.

Bukti-bukti dari Wegener
Bukti pertama yang diajukan oleh Wegener adalah adanya kesamaan garis pantai antara Benua Amerika Selatan dengan Benua Afrika. Apabila kedua benua tersebut disatukan, maka garis pantainya akan serasi satu sama lain. Kemudian ia juga mengajukan bukti dokumentasi fosil Mesosaurus yang sejenis dan hanya ditemukan di kedua sisi benua tersebut. Diyakini bahwa Mesosaurus ini ketika hidupnya tidak akan dapat melintasi samudera yang luas di antara kedua benua ini. Sisa-sisa organisme yang ditemukan tampaknya menjadi bukti menyatunya dua benua ini selama Masa Paleozoikum dan Awal Mesozoikum. Lihat gambar di bawah ini.

Bukti selanjutnya, jajaran pegunungan yang terpotong oleh samudera. Gambar di bawah menunjukkan jajaran pegunungan pada kedua sisi Samudera Atlantik. Pegunungan Appalachia yang terpotong oleh pantai Newfoundland serupa dengan jajaran pegunungan di Kepulauan Inggris dan Scandinavia dalam hal struktur dan juga umurnya.

Bukti terakhir yang diajukan oleh Wegener, untuk mendukung hipotesisnya, adalah iklim masa lampau (ancient climates). Ketika benua-benua disusun menjadi satu untuk membentuk Pangaea, sisa dari material glasial menyatu membentuk pola seperti hamparan es yang menutupi kutub bumi kita hari ini. Lihat gambar di bawah ini.
Teori Tektonik Lempeng
Sepanjang tahun 1960-an, banyak penemuan teknologi yang kemudian mendorong revisi Hipotesis Apungan Benua ini menjadi Teori Tektonik Lempeng (Plate Tectonic Theory). Pada teori ini, dijelaskan bahwa permukaan bumi dibentuk oleh kepingan-kepingan litosfer, yaitu lapisan padat dari kerak bumi dan mantel bumi bagian atas, yang mengapung di atas astenosfer. Astenosfer adalah lapisan plastis di bawah litosfer yang memiliki sifat seperti fluid yang dapat mengalir.

Masing-masing kepingan litosfer ini disebut lempeng. Gambar di atas ini menunjukkan batas-batas utama lempeng tektonik dan bagaimana mereka saling berinteraksi satu sama lain. Gambar di samping menunjukkan pergerakan relatif dan kenampakan yang berasosiasi dengan tiga tipe batas lempeng.
Gambar A adalah batas divergen, yaitu masing-masing lempeng saling menjauhi satu sama lain. Terbentuk rekahan pada lantai samudera dan keluarnya magma yang berasal dari mantel bumi. Gambar B adalah batas konvergen, yaitu ketika dua lempeng bertemu dan bertabrakan satu sama lain. Terbentuk busur gunungapi pada lempeng benua. Gambar C adalah batas transform, dimana dua lempeng saling bergesekan satu sama lain.
Daerah timurlaut Afrika adalah contoh yang bagus untuk batas divergen. Disini, magma yang keluar merekahkan lempeng litosfer. Ketika rekah pada litosfer semakin melebar, batuan di atasnya runtuh dan membentuk zona rekahan. Semakin melebar dan membentuk laut yang dangkal, seperti Laut Merah.

Kemudian gambar dibawah ini adalah contoh yang bagus bagi benturan antar lempeng benua. Benturan yang terus berlangsung antara India dan Asia, yang dimulai sejak 45 juta tahun yang lalu, membentuk Pegunungan Himalaya.

Apabila benturan yang terjadi antara sesama lempeng benua akan membentuk busur kepulauan vulkanik. Sedangkan bila benturan yang terjadi antara lempeng benua dan lempeng samudera, akan membentuk busur pegunungan vulkanik pada lempeng benua.
Sesar geser Mendonico yang menghubungkan zona penunjaman dan zona pemekaran menyebabkan landas samudera yang dihasilkan di pematang lempeng Juan De Fuca bergerak relatif ke selatan dan menyusup di bawah Lempeng Amerika Utara.

Menguji Model
Pada tahun 1950-an, diketahui bahwa ketika mineral kaya-Fe pada lava membeku, mereka akan termagnetisasi dengan arah yang paralel dengan medan magnet yang ada saat itu.
Plotting posisi semu dari kutub utara magnetik sejak 500 juta tahun menunjukkan bahwa kutub magnetik bergerak sepanjang waktu, atau dapat dikatakan bahwa lava tersebut bergerak dan begitu juga lempeng benua. Lihat gambar di bawah ini.

Diketahui pula bahwa polaritas magnetik bumi selalu berarah bolak-balik sepanjang periode magnetisasinya. hal ini merupakan bukti yang sangat penting bagi Teori Tektonik Lempeng.

Ketika kita memperhatikan polaritas magnetik batuan di lantai samudera. Polaritasnya akan terlihat berarah bolak-balik pada lapisan batuan secara bergantian, membentuk image seperti cermin pada kedua sisi pematang tengah samudera.
Bukti lainnya adalah penyebaran titik pusat gempa dangkal, menengah dan dalam. Kalau diperhatikan lebih teliti, akan dijumpai titik pusat gempa dalam hanya berasosiasi dengan zona penunjaman. Lihat gambar penyebaran titik pusat gempa di bawah ini.

Terakhir, bukti lainnya yang mendukung teori ini adalah informasi yang didapatkan oleh para ilmuwan dari hot spot. Sebagai contoh, Kepulauan Hawaii dan gunungapi tengah laut yang merupakan kepanjangan dari Hawaii menuju Palung Aleutia, menunjukkan pergerakan Lempeng Pasifik searah deretan hot spot. Lihat gambar di bawah ini.

Pentarikhan radiometrik menunjukkan aktivitas vulkanik semakin muda menuju Kepulauan Hawaii, yang sekarang berada tepat di atas hot spot.
Pangaea
Gambar di bawah menunjukkan bagaimana Pangaea terpecah dan benua hasil pecahannya bergerak ke posisi mereka saat ini.

Mekanisme Penggerak
Satu hal yang mengganjal hipotesis Wegener tentang Apungan Benua adalah dia tidak dapat menjelaskan mekanisme seperti apa yang menyebabkan pergerakan lempeng. Saat ini, ada tiga ide yang dikemukakan oleh para ilmuwan terkait mekanisme penggerak tersebut.
Pertama, ide tentang adanya arus konveksi yang besar di dalam mantel bumi yang menggerakkan lempeng seperti sabuk konveyor.
Kedua, ide yang menjelaskan bahwa lempeng yang menunjam lebih berat daripada lempeng di atasnya, karenanya akan menarik lempeng ini ke bawah. Hal ini disebut slab-pull. Juga karena gravitasi, bagian atas dari lempeng di lokasi pematang terdorong ke atas. Ini disebut slab-push.
Ketiga, ide tentang adanya plume (aliran magma yang membumbung) yang bergerak ke atas. Ide ini memjelaskan bahwa hanya ada beberapa plume yang sangat besar yang menggerakkan arus konveksi ke arah atas di dalam mantel bumi, sedangkan lempeng yang menunjam menggerakkan arus konveksi ke arah bawah dan menyempurnakan perputaran arus konveksi tersebut.
Kesimpulannya, Teori Tektonik Lempeng adalah teori terbaru dan hingga kini sangat bagus digunakan oleh para ilmuwan dalam menjelaskan berbagai proses tektonik yang terjadi dalam sejarah bumi.
Terjemahan secara bebas dari Plate Tectonic Mini Lecture

Petunjuk Baru Mengenai Benua yang Bergerak

Kamis, 5 April 2012 - Sebuah lapisan batuan lelehan parsial sekitar 35 hingga 120 km di bawah tanah bukan satu-satunya mekanisme yang memungkinkan benua bergeser bertahap dalam jutaan tahun, menurut peneliti yang disponsori NASA. Hasil penelitiannya memberi petunjuk apa yang memungkinkan tektonik lempeng – gerakan lempeng kerak Bumi – terjadi.
“Lapisan kaya lelehan ini sesungguhnya cukup jelas di bawah lembah Samudera Pasifik dan mengelilingi daerah tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh analisis saya pada data seismometer,” kata   Dr. Nicholas Schmerr, seorang fellow program pasca doctoral NASA. “Karena ia hanya ada di tempat tertentu, ia tidak mungkin satu-satunya alas an mengapa lempeng kerak kaku yang membawa benua dapat bergeser di atas batuan yang lebih lembut di bawahnya.” Schmerr, yang berada di Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA di Greenbelt, Md., adalah perangarang sebuah makalah mengenai penelitian ini yang hadir dalam jurnal Science edisi 23 Maret.
 Lengseran lambat benua Bumi dihasilkan lewat tektonik lempeng. Planet kita lebih dari 4 miliar tahun usianya, dan seiring waktu, gaya tektonik lempeng telah membawa benua-benua beribu-ribu kilometer, memahat pegunungan ketika mereka bertabrakan dan lembah-lembah yang kadang terisi samudera ketika mereka tercabik. Apungan benua ini dapat juga mengubah iklim dengan mengarahkan arus di samudera dan atmosfer.
 Lapisan terluar Bumi, litosfer, pecah menjadi sejumlah lempeng tektonik. Litosfer terdiri dari kerak dan lapisan bawah mantel yang dingin dan kaku. Dibawah samudera, litosfer relative tipis (sekitar 104 km), di bawah benua, ia dapat setebal 321 km. Terbaring di bawah litosfer adalah astenosfer, sebuah lapisan batuan yang perlahan berubah bentuk dan mengalir bertahap seperti adonan. Panas di inti Bumi yang dihasilkan dari peluruhan radioaktif unsur-unsur lepas dan menghangatkan batuan mantel di atasnya, membuatnya lebih lembut lagi dan kurang kental, serta menyebabkan mereka berkonveksi. Batuan dalam mantel naik ketika ia lebih hangat dari sekitarnya, dan tenggelam ketika ia lebih dingin. Hal ini menggerakkan lempeng benua di atasnya.
Lokasi Astenosfer
Walaupun proses dasar yang mengendalikan tektonik lempeng telah dimengerti, banyak detailnya masih berupa misteri. “Sesuatu harus menyelaraskan lempeng kerak dari astenosfer sehingga mereka dapat bergeser di atasnya,” kata Schmerr. “Sejumlah teori telah diajukan, an salah satunya adalah lapisan kaya lelehan melumas perbatasan antara litosfer dan astenosfer, memungkinkan lempeng kerak bergeser. Walau begitu, karena lapisan ini hanya ada di beberapa daerah di bawah lempeng Pasifik, ia tidak mungkin satu-satunya mekanisme yang memungkinkan tektonik lempeng terjadi di sana. Sesuatu harus mendorong lempeng bergeser di daerah dimana lelehan tidak ada.”
 Mekanisme lain yang mungkin yang dapat membuat perbatasan antara litosfer dan astenosfer mengalir mudah mencakup penambahan bahan mudah menguap seperti air pada batuan dan perbedaan dalam komposisi, suhu, dan ukuran butiran mineral di daerah ini. Walau begitu, data yang ada saat ini tidak memiliki resolusi yang cukup untuk membedakannya.
 Schmerr membuat penemuan dengan menganalisis waktu datang gelombang gempa pada seismometer di penjuru dunia. Gempa bumi menghasilkan berbagai jenis gelombang; satu tipe memiliki gerakan maju-mundur dan disebut gelombang sobek, atau gelombang-S. Gelombang-S bergerak menembus Bumi akan memantulkan tatap muka material di dalam Bumi, tiba pada waktu berbeda tergantung dimana mereka berinteraksi dengan tatap muka ini.
 Satu tipe gelombang-S memantul dari permukaan Bumi separuh jalan antara sebuah gempa dan sebuah seismometer. Sebuah gelombang-S bertemu pada lapisan lelehan yang lebih dalam di perbatasan litosfer-astenosfer pada lokasi ini akan mengambil jalur yang sedikit lebih pendek ke seismometer dan karenanya datang beberapa puluh detik lebih awal. Dengan membandingkan waktu datang, ketinggian, dan bentuk gelombang primer dan gelombang yang dipantulkan lapisan lelehan pada berbagai lokasi, Schmerr dapat memperkirakan kedalaman dan sifat seismic dari lapisan lelehan di bawah cekungan Samudera Pasifik.
 “Sebagian besar lapisan lelehan dimana anda menduga akan menemukannya, seperti di bawah wilayah vulkanis seperti Hawaii dan berbagai gunung api bawah laut aktif atau disekitar zona subduksi – daerah pada tepian lempeng benua dimana lempeng samudera tenggelam ke interior dalam dan menghasilkan lelehan,” kata Schmerr. “Walau begitu, hasil menariknya adalah lapisan tersebut tidak ada dimanapun, menunjukkan sesuatu selain lelehan dibutuhkan untuk menjelaskan sifat dari astenosfer.”
 Memahami bagaimana lempeng tektonik bekerja di Bumi dapat membantu kita memahami bagaimana planet batuan lainnya berevolusi, menurut Schmerr. Sebagai contoh, Venus tidak punya samudera, dan tidak ada bukti tektonik lempeng pula. Ini mungkin jadi petunjuk kalau air dibutuhkan bagi tektonik lempeng untuk bekerja. Satu teori mengajukan kalau tanpa air, astenosfer Venus akan lebih kaku dan tidak mampu mempertahankan lempeng, menunjukkan panas internal dilepaskan dengan cara lain, mungkin lewat erupsi periodic vulkanisme global.
 Schmerr berencana menganalisis data dari jaringan seismometer lainnya untuk melihat apakah pola jejak yang sma dari lapisan lelehan ada di bawah samudera dan benua lain. Penelitian ini didukung oleh program pascadoktoral NASA dan Fellowship Pascadoktoral Jurusan Magnetisme Kebumian Lembaga Carnegie Washington.
Sumber berita:
Referensi jurnal :
Nicholas Schmerr. The Gutenberg Discontinuity: Melt at the Lithosphere-Asthenosphere Boundary. Science, 23 March 2012: 1480-1483 DOI: 10.1126/science.1215433