Potensi
industri telah memberikan sumbangan bagi perekonomian Indonesia melalui
barang produk dan jasa yang dihasilkan, namun di sisi lain pertumbuhan
industri telah menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius.
Buangan air limbah industri mengakibatkan timbulnya pencemaran air
sungai yang dapat merugikan masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran
sungai, seperti berkurangnya hasil produksi pertanian, menurunnya hasil
tambak, maupun berkurangnya pemanfaatan air sungai oleh penduduk.
Seiring dengan makin tingginya kepedulian akan kelestarian sungai dan kepentingan menjaga keberlanjutan lingkungan dan dunia usaha maka muncul upaya industri untuk melakukan pengelolaan air limbah industrinya melalui perencanaan proses produksi yang effisien sehingga mampu meminimalkan limbah buangan industri dan upaya pengendalian pencemaran air limbah industrinya melalui penerapan installasi pengolahan air limbah. Bagi Industri yang terbiasa dengan memaksimalkan profit dan mengabaikan usaha pengelolaan limbah agaknya bertentangan dengan akal sehat mereka, karena mereka beranggapan bahwa menerapkan instalasi pengolahan air limbah berarti harus mengeluarkan biaya pembangunan dan biaya operasional yang mahal. Di pihak lain timbul ketidakpercayaan masyarakat bahwa industri akan dan mampu melakukan pengelolaan limbah dengan sukarela mengingat banyaknya perusahaan industry yang dibangun di sepanjang aliran sungai, dan membuang air limbahnya tanpa pengolahan. Sikap perusahaan yang hanya berorientasi “Profit motive” dan lemahnya penegakan peraturan terhadap pelanggaran pencemaran ini berakibat timbulnya beberapa kasus pencemaran oleh industry dan tuntutan-tuntutan masyarakat sekitar industry hingga perusahaan harus mengganti kerugian kepada masyarakat yang terkena dampak.
Latar belakang yang menyebabkan terjadinya permasalahan pencemaran tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
(1) Upaya pengelolaan lingkungan yang ditujukan untuk mencegah dan atau memperkecil dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan produksi dan jasa di berbagai sektor industri belum berjalan secara terencana.
(2) Biaya pengolahan dan pembuangan limbah semakin mahal dan dana pembangunan, pemeliharaan fasilitas bangunan air limbah yang terbatas, menyebabkan perusahaan enggan menginvestasikan dananya untuk pencegahan kerusakan lingkungan, dan anggapan bahwa biaya untuk membuat unit IPAL merupakan beban biaya yang besar yang dapat mengurangi keuntungan perusahaan.
(3) Tingkat pencemaran baik kualitas maupun kuantitas semakin meningkat, akibat perkembangan penduduk dan ekonomi, termasuk industri di sepanjang sungai yang tidak melakukan pengelolaan air limbah industrinya secara optimal.
(4) Perilaku sosial masyarakat dalam hubungan dengan industri memandang bahwa sumber pencemaran di sungai adalah berasal dari buangan industri, akibatnya isu lingkungan sering dijadikan sumber konflik untuk melakukan tuntutan kepada industri berupa perbaikan lingkungan, pengendalian pencemaran, pengadaan sarana dan prasarana yang rusak akibat kegiatan industri.
(5) Adanya Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air nomor: 82 Tahun 2001, meliputi standar lingkungan, ambang batas pencemaran yang diperbolehkan, izin pembuangan limbah cair, penetapan sanksi administrasi maupun pidana belum dapat menggugah industri untuk melakukan pengelolaan air limbah.
Permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa ” Penerapan Pengelolaan air Limbah pada industri kurang optimal” dan jawaban terhadap berbagai pertanyaan di atas pada umumnya menyangkut:
(1) Apakah industri telah melakukan upaya minimisasi limbah untuk mencegah/memperkecil dampak negatif yang timbul dari kegiatan produksi?
(2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan penerapan pengolahan air limbah kurang optimal?
(3) Apakah penerapan pengolahan air limbah secara bersama-sama dipengaruhi oleh biaya, beban buangan air limbah, teknologi ipal, perilaku sosial masyarakat, dan peraturan pemerintah?
Pertanyaan ini tentunya dimaksudkan untuk para pelaku usaha agar dalam usaha industrinya dapat melakukan minimisasi air limbahnya pada proses produksi, faktor-faktor yang menyebabkan pengelolaan limbah cair pada industri tidak dilakukan dengan optimal, pengaruh dari investasi terhadap pencemaran lingkungan, tingkat buangan limbah, teknologi Ipal, perilaku sosial masyarakat dan peraturan pemerintah terhadap penerapan pengelolaan air limbah industry termasuk menghitung biaya manfaat penerapan Ipal industri. Berdasarkan dugaan yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia bahwa Penerapan Installasi Pengolahan air limbah industri dipengaruhi oleh biaya investasi, beban buangan limbah, teknologi proses ipal, sosial masyarakat dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan lingkungan, serta menyangkut manfaat penerapan ipal lebih besar daripada biaya investasi ipal.
Dari 350 industri terdapat kelompok jenis industri pengolahan makanan dengan 110 perusahaan, industri kimia/farmasi 70 perusahaan, permesinan 60 perusahaan, tekstil 40 perusahaan, furniture 30 perusahaan dan kelompok jenis industri kemasan dan lain-lain masing-masing 20 perusahaan, yang umumnya telah mengupayakan minimisasi air limbah pada proses produksinya melalui optimalisasi proses (reduce 74,29%), pemakaian kembali sisa air proses (reuse 8,57%), pemanfaatan kembali air limbah (recycle 8,57%), melakukan pengambilan kembali air limbah (recovery 5,71%), sedangkan industri yang melakukan penerapan ipal ( 42,85%) atau sebanyak 150 industri.
Hubungan fungsional antara variabel Y dan X didapat model persamaan regresi berganda Y= 9,132+ 0,935 X1+ 0,694 X2 + 0.081X3+ 0.161X4 – 0,234 X5, diartikan bahwa fungsi penerapan ipal dipengaruhi secara positif oleh biaya investasi, beban buangan air limbah, teknologi proses, sosial masyarakat dan peraturan pemerintah. Tanda koefisien negatif menunjukkan adanya hubungan negatif antara penerapan ipal dengan peraturan pemerintah: semakin tinggi industri menerapkan Ipal maka semakin rendah control pemerintah terhadap industri yang menerapkan ipal.
Perhitungan biaya manfaat diambil dengan asumsi discount faktor 15 % dan umur ekonomis ipal 10 tahun, didapatkan biaya pembuatan ipal per m3 air limbah, yaitu Rp 975 – Rp 1836 untuk kelompok jenis industri makanan, Rp 1450 – Rp 2027,- untuk industri tekstil, Rp 1301,- – Rp 1613,- untuk Industri Farmasi dan Rp 2339 – Rp 2961,- untuk kelompok jenis industri permesinan. Perhitungan nilai manfaat dilihat dari kemampuan Ipal menurunkan kadar BOD, COD dan Suspended solid per m3 air limbah yaitu Rp 1499 – Rp 2764 untuk kelompok industri pengolahan makanan , Rp 2269 – Rp 6217,- untuk industri tekstil, Rp 1613 – Rp 2359,- untuk industri farmasi, dan Rp3427 – Rp 6026,- untuk industri permesinan. Perhitungan rasio manfaat biaya juga menghasilkan nilai perbandingan biaya manfaat ( BCR) penerapan Ipal yaitu 1,01 – 1,57 untuk kelompok industri pengolahan makanan, 1,11 – 4,28 untuk industri tekstil, 1,24 – 1,46 untuk industri farmasi, dan 1,15 – 2,57 untuk industri permesinan.
Kesimpulan dari Penelitian ini adalah :
1. Terdapat 74,29 % industri dari 350 perusahaan yang terbanyak memilih melakukan upaya minimisasi air limbah industrinya melalui optimalisasi pada proses produksi (reduce).
2. Faktor-faktor yang mendorong industri menerapkan instalasi pengolahan air limbah antara lain adalah biaya investasi, beban buangan air limbah, teknologi proses, sosial masyarakat industri, peraturan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan. Hal ini dijelaskan oleh hasil uji F hitung sebesar 788,857 > dari F tabel 2,54 pada taraf signifikansi 5 % yang menunjukkan semua faktor tersebut secara bersama-sama dan signifikan mempengaruhi penerapan Ipal.
3. Manfaat penerapan ipal lebih besar dari biaya instalasi, baik dari nilai bersih sekarang ( Net Present Value), maupun dari rasio manfaat biayanya. Oleh karena itu secara ekonomi dan ekologis ipal layak diterapkan sebagai salah satu upaya mengurangi pencemaran air limbah industri.
Saran yang diberikan berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan adalah:
1. Sebaiknya industri dapat melakukan program minimisasi ke arah cleaner production yang terpadu dijalankan oleh semua bagian terkait baik itu produksi, enginering, maintenance, lingkungan, keuangan dan lainnya.
2. Bagi industri yang limbahnya belum memenuhi baku mutu meskipun telah menerapkan minimisasi limbah perlu menerapkan ipal mengingat ipal merupakan aset perusahaan yang bermanfaat untuk mengurangi beban pencemaran dan untuk kelangsungan industri di masa depan.
3. Bagi industri yang menerapkan ipal dan memenuhi bakumutu buangan air limbah perlu diberikan penghargaan oleh Pemerintah. Keterlibatan pemerintah, masyarakat, dan industri dalam mengusahakan daerah aliran sungai sekitar industri ditata secara berkelanjutan melalui system pengelolaan bersama.
Sumber: Kabarindonesia.com
Seiring dengan makin tingginya kepedulian akan kelestarian sungai dan kepentingan menjaga keberlanjutan lingkungan dan dunia usaha maka muncul upaya industri untuk melakukan pengelolaan air limbah industrinya melalui perencanaan proses produksi yang effisien sehingga mampu meminimalkan limbah buangan industri dan upaya pengendalian pencemaran air limbah industrinya melalui penerapan installasi pengolahan air limbah. Bagi Industri yang terbiasa dengan memaksimalkan profit dan mengabaikan usaha pengelolaan limbah agaknya bertentangan dengan akal sehat mereka, karena mereka beranggapan bahwa menerapkan instalasi pengolahan air limbah berarti harus mengeluarkan biaya pembangunan dan biaya operasional yang mahal. Di pihak lain timbul ketidakpercayaan masyarakat bahwa industri akan dan mampu melakukan pengelolaan limbah dengan sukarela mengingat banyaknya perusahaan industry yang dibangun di sepanjang aliran sungai, dan membuang air limbahnya tanpa pengolahan. Sikap perusahaan yang hanya berorientasi “Profit motive” dan lemahnya penegakan peraturan terhadap pelanggaran pencemaran ini berakibat timbulnya beberapa kasus pencemaran oleh industry dan tuntutan-tuntutan masyarakat sekitar industry hingga perusahaan harus mengganti kerugian kepada masyarakat yang terkena dampak.
Latar belakang yang menyebabkan terjadinya permasalahan pencemaran tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
(1) Upaya pengelolaan lingkungan yang ditujukan untuk mencegah dan atau memperkecil dampak negatif yang dapat timbul dari kegiatan produksi dan jasa di berbagai sektor industri belum berjalan secara terencana.
(2) Biaya pengolahan dan pembuangan limbah semakin mahal dan dana pembangunan, pemeliharaan fasilitas bangunan air limbah yang terbatas, menyebabkan perusahaan enggan menginvestasikan dananya untuk pencegahan kerusakan lingkungan, dan anggapan bahwa biaya untuk membuat unit IPAL merupakan beban biaya yang besar yang dapat mengurangi keuntungan perusahaan.
(3) Tingkat pencemaran baik kualitas maupun kuantitas semakin meningkat, akibat perkembangan penduduk dan ekonomi, termasuk industri di sepanjang sungai yang tidak melakukan pengelolaan air limbah industrinya secara optimal.
(4) Perilaku sosial masyarakat dalam hubungan dengan industri memandang bahwa sumber pencemaran di sungai adalah berasal dari buangan industri, akibatnya isu lingkungan sering dijadikan sumber konflik untuk melakukan tuntutan kepada industri berupa perbaikan lingkungan, pengendalian pencemaran, pengadaan sarana dan prasarana yang rusak akibat kegiatan industri.
(5) Adanya Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air nomor: 82 Tahun 2001, meliputi standar lingkungan, ambang batas pencemaran yang diperbolehkan, izin pembuangan limbah cair, penetapan sanksi administrasi maupun pidana belum dapat menggugah industri untuk melakukan pengelolaan air limbah.
Permasalahan di atas dapat disimpulkan bahwa ” Penerapan Pengelolaan air Limbah pada industri kurang optimal” dan jawaban terhadap berbagai pertanyaan di atas pada umumnya menyangkut:
(1) Apakah industri telah melakukan upaya minimisasi limbah untuk mencegah/memperkecil dampak negatif yang timbul dari kegiatan produksi?
(2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan penerapan pengolahan air limbah kurang optimal?
(3) Apakah penerapan pengolahan air limbah secara bersama-sama dipengaruhi oleh biaya, beban buangan air limbah, teknologi ipal, perilaku sosial masyarakat, dan peraturan pemerintah?
Pertanyaan ini tentunya dimaksudkan untuk para pelaku usaha agar dalam usaha industrinya dapat melakukan minimisasi air limbahnya pada proses produksi, faktor-faktor yang menyebabkan pengelolaan limbah cair pada industri tidak dilakukan dengan optimal, pengaruh dari investasi terhadap pencemaran lingkungan, tingkat buangan limbah, teknologi Ipal, perilaku sosial masyarakat dan peraturan pemerintah terhadap penerapan pengelolaan air limbah industry termasuk menghitung biaya manfaat penerapan Ipal industri. Berdasarkan dugaan yang terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia bahwa Penerapan Installasi Pengolahan air limbah industri dipengaruhi oleh biaya investasi, beban buangan limbah, teknologi proses ipal, sosial masyarakat dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan lingkungan, serta menyangkut manfaat penerapan ipal lebih besar daripada biaya investasi ipal.
Dari 350 industri terdapat kelompok jenis industri pengolahan makanan dengan 110 perusahaan, industri kimia/farmasi 70 perusahaan, permesinan 60 perusahaan, tekstil 40 perusahaan, furniture 30 perusahaan dan kelompok jenis industri kemasan dan lain-lain masing-masing 20 perusahaan, yang umumnya telah mengupayakan minimisasi air limbah pada proses produksinya melalui optimalisasi proses (reduce 74,29%), pemakaian kembali sisa air proses (reuse 8,57%), pemanfaatan kembali air limbah (recycle 8,57%), melakukan pengambilan kembali air limbah (recovery 5,71%), sedangkan industri yang melakukan penerapan ipal ( 42,85%) atau sebanyak 150 industri.
Hubungan fungsional antara variabel Y dan X didapat model persamaan regresi berganda Y= 9,132+ 0,935 X1+ 0,694 X2 + 0.081X3+ 0.161X4 – 0,234 X5, diartikan bahwa fungsi penerapan ipal dipengaruhi secara positif oleh biaya investasi, beban buangan air limbah, teknologi proses, sosial masyarakat dan peraturan pemerintah. Tanda koefisien negatif menunjukkan adanya hubungan negatif antara penerapan ipal dengan peraturan pemerintah: semakin tinggi industri menerapkan Ipal maka semakin rendah control pemerintah terhadap industri yang menerapkan ipal.
Perhitungan biaya manfaat diambil dengan asumsi discount faktor 15 % dan umur ekonomis ipal 10 tahun, didapatkan biaya pembuatan ipal per m3 air limbah, yaitu Rp 975 – Rp 1836 untuk kelompok jenis industri makanan, Rp 1450 – Rp 2027,- untuk industri tekstil, Rp 1301,- – Rp 1613,- untuk Industri Farmasi dan Rp 2339 – Rp 2961,- untuk kelompok jenis industri permesinan. Perhitungan nilai manfaat dilihat dari kemampuan Ipal menurunkan kadar BOD, COD dan Suspended solid per m3 air limbah yaitu Rp 1499 – Rp 2764 untuk kelompok industri pengolahan makanan , Rp 2269 – Rp 6217,- untuk industri tekstil, Rp 1613 – Rp 2359,- untuk industri farmasi, dan Rp3427 – Rp 6026,- untuk industri permesinan. Perhitungan rasio manfaat biaya juga menghasilkan nilai perbandingan biaya manfaat ( BCR) penerapan Ipal yaitu 1,01 – 1,57 untuk kelompok industri pengolahan makanan, 1,11 – 4,28 untuk industri tekstil, 1,24 – 1,46 untuk industri farmasi, dan 1,15 – 2,57 untuk industri permesinan.
Kesimpulan dari Penelitian ini adalah :
1. Terdapat 74,29 % industri dari 350 perusahaan yang terbanyak memilih melakukan upaya minimisasi air limbah industrinya melalui optimalisasi pada proses produksi (reduce).
2. Faktor-faktor yang mendorong industri menerapkan instalasi pengolahan air limbah antara lain adalah biaya investasi, beban buangan air limbah, teknologi proses, sosial masyarakat industri, peraturan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan. Hal ini dijelaskan oleh hasil uji F hitung sebesar 788,857 > dari F tabel 2,54 pada taraf signifikansi 5 % yang menunjukkan semua faktor tersebut secara bersama-sama dan signifikan mempengaruhi penerapan Ipal.
3. Manfaat penerapan ipal lebih besar dari biaya instalasi, baik dari nilai bersih sekarang ( Net Present Value), maupun dari rasio manfaat biayanya. Oleh karena itu secara ekonomi dan ekologis ipal layak diterapkan sebagai salah satu upaya mengurangi pencemaran air limbah industri.
Saran yang diberikan berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan adalah:
1. Sebaiknya industri dapat melakukan program minimisasi ke arah cleaner production yang terpadu dijalankan oleh semua bagian terkait baik itu produksi, enginering, maintenance, lingkungan, keuangan dan lainnya.
2. Bagi industri yang limbahnya belum memenuhi baku mutu meskipun telah menerapkan minimisasi limbah perlu menerapkan ipal mengingat ipal merupakan aset perusahaan yang bermanfaat untuk mengurangi beban pencemaran dan untuk kelangsungan industri di masa depan.
3. Bagi industri yang menerapkan ipal dan memenuhi bakumutu buangan air limbah perlu diberikan penghargaan oleh Pemerintah. Keterlibatan pemerintah, masyarakat, dan industri dalam mengusahakan daerah aliran sungai sekitar industri ditata secara berkelanjutan melalui system pengelolaan bersama.
Sumber: Kabarindonesia.com
No comments:
Post a Comment