Kamis, 5 April 2012 - Sebuah
lapisan batuan lelehan parsial sekitar 35 hingga 120 km di bawah tanah
bukan satu-satunya mekanisme yang memungkinkan benua bergeser bertahap
dalam jutaan tahun, menurut peneliti yang disponsori NASA. Hasil
penelitiannya memberi petunjuk apa yang memungkinkan tektonik lempeng –
gerakan lempeng kerak Bumi – terjadi.
“Lapisan
kaya lelehan ini sesungguhnya cukup jelas di bawah lembah Samudera
Pasifik dan mengelilingi daerah tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh
analisis saya pada data seismometer,” kata Dr. Nicholas Schmerr,
seorang fellow program pasca doctoral NASA. “Karena ia hanya ada di
tempat tertentu, ia tidak mungkin satu-satunya alas an mengapa lempeng
kerak kaku yang membawa benua dapat bergeser di atas batuan yang lebih
lembut di bawahnya.” Schmerr, yang berada di Pusat Penerbangan Antariksa
Goddard NASA di Greenbelt, Md., adalah perangarang sebuah makalah
mengenai penelitian ini yang hadir dalam jurnal Science edisi 23 Maret.
Lengseran
lambat benua Bumi dihasilkan lewat tektonik lempeng. Planet kita lebih
dari 4 miliar tahun usianya, dan seiring waktu, gaya tektonik lempeng
telah membawa benua-benua beribu-ribu kilometer, memahat pegunungan
ketika mereka bertabrakan dan lembah-lembah yang kadang terisi samudera
ketika mereka tercabik. Apungan benua ini dapat juga mengubah iklim
dengan mengarahkan arus di samudera dan atmosfer.
Lapisan
terluar Bumi, litosfer, pecah menjadi sejumlah lempeng tektonik.
Litosfer terdiri dari kerak dan lapisan bawah mantel yang dingin dan
kaku. Dibawah samudera, litosfer relative tipis (sekitar 104 km), di
bawah benua, ia dapat setebal 321 km. Terbaring di bawah litosfer adalah
astenosfer, sebuah lapisan batuan yang perlahan berubah bentuk dan
mengalir bertahap seperti adonan. Panas di inti Bumi yang dihasilkan
dari peluruhan radioaktif unsur-unsur lepas dan menghangatkan batuan
mantel di atasnya, membuatnya lebih lembut lagi dan kurang kental, serta
menyebabkan mereka berkonveksi. Batuan dalam mantel naik ketika ia
lebih hangat dari sekitarnya, dan tenggelam ketika ia lebih dingin. Hal
ini menggerakkan lempeng benua di atasnya.
Walaupun
proses dasar yang mengendalikan tektonik lempeng telah dimengerti,
banyak detailnya masih berupa misteri. “Sesuatu harus menyelaraskan
lempeng kerak dari astenosfer sehingga mereka dapat bergeser di
atasnya,” kata Schmerr. “Sejumlah teori telah diajukan, an salah satunya
adalah lapisan kaya lelehan melumas perbatasan antara litosfer dan
astenosfer, memungkinkan lempeng kerak bergeser. Walau begitu, karena
lapisan ini hanya ada di beberapa daerah di bawah lempeng Pasifik, ia
tidak mungkin satu-satunya mekanisme yang memungkinkan tektonik lempeng
terjadi di sana. Sesuatu harus mendorong lempeng bergeser di daerah
dimana lelehan tidak ada.”
Mekanisme
lain yang mungkin yang dapat membuat perbatasan antara litosfer dan
astenosfer mengalir mudah mencakup penambahan bahan mudah menguap
seperti air pada batuan dan perbedaan dalam komposisi, suhu, dan ukuran
butiran mineral di daerah ini. Walau begitu, data yang ada saat ini
tidak memiliki resolusi yang cukup untuk membedakannya.
Schmerr
membuat penemuan dengan menganalisis waktu datang gelombang gempa pada
seismometer di penjuru dunia. Gempa bumi menghasilkan berbagai jenis
gelombang; satu tipe memiliki gerakan maju-mundur dan disebut gelombang
sobek, atau gelombang-S. Gelombang-S bergerak menembus
Bumi akan memantulkan tatap muka material di dalam Bumi, tiba pada waktu
berbeda tergantung dimana mereka berinteraksi dengan tatap muka ini.
Satu
tipe gelombang-S memantul dari permukaan Bumi separuh jalan antara
sebuah gempa dan sebuah seismometer. Sebuah gelombang-S bertemu pada
lapisan lelehan yang lebih dalam di perbatasan litosfer-astenosfer pada
lokasi ini akan mengambil jalur yang sedikit lebih pendek ke seismometer
dan karenanya datang beberapa puluh detik lebih awal. Dengan
membandingkan waktu datang, ketinggian, dan bentuk gelombang primer dan
gelombang yang dipantulkan lapisan lelehan pada berbagai lokasi, Schmerr
dapat memperkirakan kedalaman dan sifat seismic dari lapisan lelehan di
bawah cekungan Samudera Pasifik.
“Sebagian
besar lapisan lelehan dimana anda menduga akan menemukannya, seperti di
bawah wilayah vulkanis seperti Hawaii dan berbagai gunung api bawah
laut aktif atau disekitar zona subduksi – daerah pada
tepian lempeng benua dimana lempeng samudera tenggelam ke interior dalam
dan menghasilkan lelehan,” kata Schmerr. “Walau begitu, hasil
menariknya adalah lapisan tersebut tidak ada dimanapun, menunjukkan
sesuatu selain lelehan dibutuhkan untuk menjelaskan sifat dari
astenosfer.”
Memahami bagaimana
lempeng tektonik bekerja di Bumi dapat membantu kita memahami bagaimana
planet batuan lainnya berevolusi, menurut Schmerr. Sebagai contoh, Venus
tidak punya samudera, dan tidak ada bukti tektonik lempeng pula. Ini
mungkin jadi petunjuk kalau air dibutuhkan bagi tektonik lempeng untuk
bekerja. Satu teori mengajukan kalau tanpa air, astenosfer Venus akan
lebih kaku dan tidak mampu mempertahankan lempeng, menunjukkan panas
internal dilepaskan dengan cara lain, mungkin lewat erupsi periodic
vulkanisme global.
Schmerr berencana
menganalisis data dari jaringan seismometer lainnya untuk melihat apakah
pola jejak yang sma dari lapisan lelehan ada di bawah samudera dan
benua lain. Penelitian ini didukung oleh program pascadoktoral NASA dan
Fellowship Pascadoktoral Jurusan Magnetisme Kebumian Lembaga Carnegie
Washington.
Sumber berita:
Referensi jurnal :
Nicholas Schmerr. The Gutenberg Discontinuity: Melt at the Lithosphere-Asthenosphere Boundary. Science, 23 March 2012: 1480-1483 DOI: 10.1126/science.1215433
No comments:
Post a Comment