Latar
Belakang
Kita terhenyak begitu banyak bencana melanda negeri ini,
dari Sabang sampai ke Merauke telah kebagian bencana. Kita bertanya-tanya,
mengapa begitu banyak bencana, mulai dari longsor, banjir hingga tsunami.
Mari sejenak kita merenung. Adakah kita sebagai manusia yang dipercaya sebagai
khalifah dimuka bumi telah menunaikan amanah itu?. Sudah bukan rahasia
lagi, negeri kita yang dulunya terkenal dengan hutannya, sekarang dimana-mana
telah banyak hutan yang rusak(baca: gundul).
Sebagai
contoh saja kita simak hutan di Propinsi Bengkulu. Dari luasan hutan sebesar
920.964 ha, 394.414,1 ha telah mengalami kerusakan. Selain itu, dari 340.575 ha
kawasan lindung wilayah administrasi Propinsi Bengkulu 123.534,58 ha atau
sekitar 36,27% telah rusak parah (kondisi non-hutan). Penyebab utama kerusakan
hutan diduga dikarenakan illegal logging, perambahan, penambangan, konversi
hutan dll baik oleh pengusaha, masyarakat maupun oknum tak dikenal (Santoso
U, 2007).
Onrizal
(2005) menyatakan bahwa salah satu hutan yang telah rusak adalah hutan
mangrove. Sebagai contoh hutan mangrove di sepanjang pantai barat dan timur
pulau Sumatera telah rusak lebih dari 50%. Propinsi Bengkulu memiliki laut sepanjang
525 km. Sebanyak 50% hutan mangrove yang terdapat di 525 km pantai Bengkulu
telah mengalami kerusakan dan perlu segera direboisasi. Reboisasi hutan
mangrove sangat penting, karena akan menjaga abrasi pantai, mengembalikan
habitat biota laut serta meminimalisasi terjadinya bencana akibat gelombang
tsunami.
Pengertian
Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang berada di daerah tepi
pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga lantai hutannya
selalu tergenang air. Menurut Steenis (dalam Harianto, 1999), hutan
mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut. Hutan
mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu
komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas
atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.
Sedangkan
menurut Soerianegara (dalam Harianto, 1999) mendevinisikan hutan mangrove
adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan
di muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak terpengaruh iklim; 2) dipengaruhi
pasang surut; 3) tanah tergenang air laut; 4) tanah rendah pantai; 5) hutan
tidak mempunyai struktur tajuk; 6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari
api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora
sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah
(Nypa sp.) dll.
Hutan mangrove dibedakan dengan hutan pantai dan hutan rawa. Hutan pantai yaitu
hutan yang tumbuh disepanjang pantai, tanahnya kering, tidak pernah mengalami
genangan air laut ataupun air tawar. Ekosistem hutan pantai dapat
terdapat disepanjang pantai yang curam di atas garis pasang air laut.
Kawasan ekosistem hutan pantai ini tanahnya berpasir dan mungkin berbatu-batu.
Sedangkan hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dalam kawasan yang selalu
tergenang air tawar. Oleh karena itu, hutan rawa terdapat di daerah yang
landai, biasanya terletak di belakang hutan payau.
Fungsi dan Manfaat Hutan
Mangrove
Onrizal, (2006) Fungsi ekosistem mangrove mencakup fungsi fisik
(menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi
laut/abrasi, intrusi air laut, mempercepat perluasan lahan, dan mengolah bahan
limbah), fungsi biologis (tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan
beberapa biota air, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai
jenis biota) dan fungsi ekonomi (sumber bahan bakar, pertambakan, tempat
pembuatan garam, bahan bangunan, makanan, obat-obatan & minuman, asam cuka,
perikanan, pertanian, pakan ternak, pupuk, produksi kertas & tannin dll).
Kusmana
(dalam Onrizal, 2006) menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai: 1)
penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat; 2) pengolah
limbah organik; 3) tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota
laut; 4) habitat berbagai jenis margasatwa; 5) penghasil kayu dan non kayu; 6)
potensi ekoturisme.
Ishyanto
(dalam Onrizal, 2006) Hutan mangrove secara mencolok mengurangi dampak negatif
tsunami di pesisir pantai berbagai Negara di Asia. Hal ini terjadi karena
adanya Rhizophora. Rhizophora memantulkan, meneruskan dan
menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi
gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun Rhizophora (bakau).
Hutan mangrove mengurangi dampak tsunami melalui dua cara, yaitu: kecepatan air
berkurang karena pergesekan dengan hutan mangrove yang lebat, dan volume air
dari gelombang tsunami yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air
tersebar ke banyak saluran (kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.
Permasalahan
Hutan Mangrove
Permasalahan riil yang ada sekarang terhadap hutan
mangrove baik di dunia maupun di Indonesia secara khusus adalah terjadinya
kerusakan akibat pemanfaatan yang melebihi kebutuhan dan meninggalkan asas
keberlanjutan. Faktor penyebab terjadinya kerusakan pada hutan mangrove
diantaranya;
1. Pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan
masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi.
2. Konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan
(perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata dll.) tanpa
mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.
Akibat
Rusaknya Hutan Mangrove
1. Instrusi air
laut
Instrusi air laut adalah masuknya atau merembesnya air laut ke arah daratan
sampai mengakibatkan air tawar sumur/ sungai menurun mutunya, bahkan menjadi
payau atau asin (Harianto, 1999). Dampak instrusi air laut ini sangat penting,
karena air tawar yang tercemar intrusi air laut akan menyebabkan keracunan bila
diminum dan dapat merusak akar tanaman.
2.
Turunnya kemampuan ekosistem mendegradasi (pengikisan) sampah organic, minyak
bumi dll.
3. Menurunnya
keanekaragamanhayati di wilayah pesisir
4. Meningkatnya
abrasi pantai
5.
Turunnya sumber makanan, tempat pemijah & bertelur biota laut. Akibatnya
produksi tangkapan ikan menurun.
6.
Turunnya kemampuan ekosistem flora pesisir pantai dalam menahan tiupan angin,
gelombang air laut dlll.
7.
Meningkatnya pencemaran pantai.
Pemecahan
Masalah Terhadap Rusaknya Mangrove
Untuk konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai, Pemerintah Republik
Indonesia telah menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990. Sempadan pantai adalah
kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan mangrove
adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat hutan mangrove yang
berfungsi memberikan perlindungan kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan
pantai berupa jalur hijau selebar 100 m dari pasang tertinggi ke arah daratan.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki dan melestarikan hutan
mangrove antara lain:
1. Penanaman
kembali hutan mangrove (reboisasi)
Penanaman
mangrove sebaiknya melibatkan masyarakat. Modelnya dapat masyarakat terlibat
dalam pembibitan, penanaman dan pemeliharaan serta pemanfaatan hutan
mangrove berbasis konservasi. Model ini memberikan keuntungan kepada
masyarakat antara lain terbukanya peluang kerja sehingga terjadi
peningkatan pendapatan masyarakat.
2.
Pengaturan kembali tata ruang wilayah pesisir: pemukiman, vegetasi, dll.
Wilayah pantai dapat diatur menjadi kota ekologi sekaligus dapat dimanfaatkan
sebagai wisata pantai (ekoturisme) berupa wisata alam atau bentuk lainnya.
3.
Peningkatan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan memanfaatkan
mangrove secara bertanggungjawab.
4.
Ijin usaha dan lainnya hendaknya memperhatikan aspek konservasi, khususnya di
wilayah pesisir.
5. Peningkatan
pengetahuan dan penerapan kearifan lokal tentang konservasi.
6. Peningkatan
pendapatan masyarakat pesisir.
7. Program
komunikasi konservasi hutan mangrove.
8. Penegakan
hukum.
9.
Perbaikkan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu dan berbasis masyarakat.
Artinya dalam memperbaiki ekosistem wilayah pesisir masyarakat sangat penting
dilibatkan yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pesisir. Selain itu juga mengandung pengertian bahwa konsep-konsep lokal
(kearifan lokal) tentang ekosistem dan pelestariannya perlu ditumbuhkembangkan
kembali sejauh dapat mendukung program tersebut.
Daftar
Pustaka
Harianto, S. P. 1999. Konservasi mangrove dan
potensi pencemaran. Jurnal Manajemen & Kualitas Lingkungan, Volume
1
Onrizal. 2005. Hutan mangrove selamatkan
masyarakat Pesisir Utara Nias Sumatra Utara dari tsunami. Jurnal
Manajemen dan Kualitas Lingkungan, Volume 1
Onrizal. 2006. Hutan mangrove: Bagaimana
memanfaatkannya secara lestari?. Jurnal Manajemen dan Kualitas Lingkungan,
Volume 1
Santoso, U. 2007. Permasalahan dan solusi
pengelolaan lingkungan hidup di Propinsi Bengkulu. Jurnal Perhutani,
Volume 2.
No comments:
Post a Comment