Dinamika Reklamasi dan Transformasi Ruang Pesisir Teluk Palu : Studi Komprehensif tentang Ekonomi Politik, Kerentanan Bencana, dan Rekonstruksi Pasca-Likuefaksi (2010–2025)

Ringkasan Eksekutif

Laporan penelitian ini menyajikan analisis forensik dan multidisiplin yang mendalam mengenai evolusi pesisir Teluk Palu, Sulawesi Tengah, selama satu setengah dekade terakhir. Fokus utama studi ini adalah menelusuri lintasan sejarah reklamasi pantai yang bermula dari ambisi komersial waterfront city pada periode 2010–2018, kehancuran katastropik akibat bencana ganda (gempa-tsunami-likuefaksi) pada 28 September 2018, hingga transformasi radikal menuju rezim mitigasi bencana struktural di bawah kerangka kerja sama internasional (JICA) pada periode 2019–2025. Melalui sintesis data geoteknik, dokumen kebijakan tata ruang (RTRW), laporan advokasi lingkungan, dan observasi lapangan, penelitian ini mengungkap bahwa Teluk Palu merupakan mikrokosmos dari ketegangan global antara pembangunan ekonomi pesisir yang agresif dan realitas geologis yang tak terelakkan.

Temuan kunci menunjukkan bahwa reklamasi komersial pra-2018 dilaksanakan dalam kekosongan regulasi zonasi pesisir (RZWP3K) dan mengabaikan kerentanan seismik Sesar Palu-Koro, yang pada akhirnya memperburuk dampak bencana melalui fenomena coastal collapse dan likuefaksi aliran. Pasca-bencana, paradigma pembangunan bergeser dari orientasi profit menuju keselamatan publik melalui proyek Palu Coastal Protection. Namun, laporan ini mengidentifikasi bahwa pendekatan teknokratis hard engineering (tanggul laut dan revetment) yang diterapkan, meskipun beralasan secara hidrodinamika, telah memicu residu konflik sosial baru. Marginalisasi nelayan tradisional akibat hilangnya akses fisik ke laut dan perubahan ekosistem perairan menjadi isu kritis yang belum terselesaikan, menciptakan paradoks di mana infrastruktur pelindung justru mengancam ketahanan ekonomi komunitas yang dilindunginya. Laporan ini merekomendasikan reorientasi strategi rekonstruksi yang lebih inklusif, integrasi solusi berbasis alam, dan penegakan zonasi rawan bencana yang ketat untuk mencegah terulangnya tragedi di masa depan.

BAB I Pendahuluan dan Konteks Lingkungan Strategis

1.1 Latar Belakang Geografis dan Tektonik

Teluk Palu merupakan sebuah bentang alam unik yang terletak di pantai barat Pulau Sulawesi, memanjang dari utara ke selatan dan diapit oleh pegunungan curam. Secara geomorfologi, teluk ini menyerupai kanal atau fjord tropis dengan batimetri yang curam dan kedalaman yang signifikan dekat dengan garis pantai. Posisi strategis Kota Palu sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah menjadikan wilayah pesisir teluk ini sebagai pusat gravitasi bagi aktivitas ekonomi, pemerintahan, dan pariwisata. Namun, di balik potensi ekonominya, Teluk Palu menyimpan ancaman geologis yang ekstrem. Wilayah ini dilintasi langsung oleh Sesar Palu-Koro, sebuah sistem patahan geser (strike-slip fault) sinistral yang bergerak aktif dengan laju geser sekitar 30-40 mm per tahun.

Kondisi geologi ini diperparah oleh stratigrafi tanah di wilayah Lembah Palu dan pesisir teluk yang didominasi oleh endapan aluvial muda. Lapisan tanah ini terdiri dari pasir berkerikil (gravelly sand) yang lepas dan jenuh air, yang merupakan produk dari proses sedimentasi sungai-sungai yang bermuara ke teluk. Karakteristik tanah sedimen yang tebal dan belum terkompaksi dengan baik ini menjadikan wilayah pesisir Palu sangat rentan terhadap amplifikasi gelombang gempa dan fenomena likuefaksi, sebuah fakta yang sering kali diabaikan dalam perencanaan pembangunan kota sebelum tahun 2018.

1.2 Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Reklamasi

Dalam diskursus pembangunan di Teluk Palu, istilah "reklamasi" telah mengalami evolusi makna yang signifikan, yang menjadi fokus analisis dalam laporan ini. Penelitian ini membedakan dua rezim reklamasi yang berbeda secara fundamental dalam hal tujuan, aktor, dan dampak:

  1. Reklamasi Komersial (Rezime Pra-2018): Merujuk pada upaya penciptaan lahan baru (land creation) melalui penimbunan laut yang dimotivasi oleh kepentingan properti dan komersial. Aktor utamanya adalah pengembang swasta yang bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membangun kawasan bisnis, hotel, dan pusat perbelanjaan di sepanjang Pantai Talise. Karakteristik utamanya adalah orientasi profit dan minimnya pertimbangan mitigasi bencana. 

  2. Reklamasi Protektif/Rehabilitasi (Rezime Pasca-2018): Merujuk pada intervensi fisik di garis pantai yang melibatkan penimbunan dan konstruksi struktur keras (coastal protection) seperti tanggul laut (sea wall), revetment, dan jalan layang (elevated road). Aktor utamanya adalah pemerintah pusat (Kementerian PU) dengan dukungan pendanaan dan teknis dari lembaga internasional seperti JICA dan ADB. Tujuan utamanya adalah perlindungan terhadap abrasi, banjir rob, dan tsunami.

1.3 Permasalahan Penelitian

Meskipun terjadi pergeseran paradigma dari komersial ke protektif, penelitian ini mengidentifikasi adanya kontinuitas masalah yang persisten. Proyek tanggul laut pasca-bencana, yang dirancang untuk keselamatan, ironisnya menghadapi resistensi sosial yang serupa dengan proyek reklamasi komersial masa lalu. Nelayan mengeluhkan hilangnya akses ke laut, sementara aktivis lingkungan mempertanyakan efektivitas jangka panjang dari solusi hard structure di zona tektonik aktif. Pertanyaan mendasar yang diajukan adalah: Sejauh mana transformasi fisik pesisir Teluk Palu melalui berbagai bentuk reklamasi ini mampu menyeimbangkan kebutuhan keamanan bencana dengan keberlanjutan sosio-ekologis masyarakat lokal?

BAB II: Ekonomi Politik Reklamasi Komersial (2010–2018): Ambisi di Atas Patahan

2.1 Visi "Waterfront City" dan Aktor Dominan

Pada awal dekade 2010-an, Pemerintah Kota Palu di bawah kepemimpinan saat itu menggagas visi Palu Waterfront City sebagai strategi branding kota untuk menarik investasi dan pariwisata. Pesisir Teluk Palu, khususnya kawasan Pantai Talise, diproyeksikan menjadi etalase modernitas kota dengan deretan hotel berbintang, pusat perbelanjaan, dan ruang publik yang megah. Untuk merealisasikan visi ini, pemerintah daerah memberikan izin prinsip dan rekomendasi teknis kepada pihak swasta untuk melakukan reklamasi pantai.

Data forensik dokumen menunjukkan dua entitas korporasi utama yang mendominasi lanskap reklamasi pada periode ini:

  • PT Yauri Properti Investama: Perusahaan ini mendapatkan konsesi untuk mereklamasi area seluas kurang lebih 38,33 hektare. Rencana peruntukannya meliputi kawasan bisnis terpadu, perhotelan, dan pusat perbelanjaan (disebut-sebut akan mencakup gerai ritel raksasa Carrefour). 

  • PT Palu Prima Mahajaya: Menguasai konsesi seluas sekitar 24,4 hektare dengan rencana pengembangan serupa yang berorientasi pada properti komersial. 

Analisis terhadap struktur kepemilikan dan dinamika di balik layar mengindikasikan adanya keterlibatan elit bisnis nasional. Laporan investigasi dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebutkan dugaan kuat adanya "tangan-tangan kuat" pengusaha besar dari Jakarta di balik operasi PT Yauri Properti Investama. Indikasi ini diperkuat oleh ketidakberdayaan Pemerintah Kota Palu dalam menghentikan aktivitas penimbunan meskipun protes warga terus mengalir deras dan persyaratan administratif belum terpenuhi sepenuhnya.  

2.2 Anomali Hukum dan Cacat Prosedural

Salah satu aspek paling kontroversial dari era reklamasi komersial ini adalah lemahnya landasan hukum yang memayunginya. Analisis kebijakan mengungkapkan serangkaian pelanggaran dan kekosongan regulasi yang fundamental:

2.2.1 Ketiadaan RZWP3K dan Izin Lingkungan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap kegiatan pemanfaatan ruang laut, termasuk reklamasi, wajib didasarkan pada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Namun, fakta hukum menunjukkan bahwa pada saat proyek-proyek ini berjalan (2010-2016), Provinsi Sulawesi Tengah belum memiliki Perda RZWP3K yang definitif.   

Lebih jauh, investigasi KIARA dan WALHI menemukan bahwa aktivitas fisik reklamasi (penimbunan material) sering kali mendahului penerbitan dokumen lingkungan yang sah. PT Yauri Properti Investama dilaporkan beroperasi hanya dengan bekal "rekomendasi" dari Dinas Tata Ruang Kota Palu, padahal izin pelaksanaan reklamasi skala besar memerlukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang komprehensif dan izin lokasi yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sesuai hierarki perundang-undangan. Hal ini menciptakan situasi fait accompli di mana kerusakan lingkungan terjadi lebih cepat daripada proses legalisasi.  

2.2.2 Sengketa Kewenangan dan Intervensi Pusat

Ketegangan regulasi memuncak ketika Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) turun tangan. Kementerian menyatakan bahwa reklamasi Teluk Palu tidak dapat dilanjutkan karena tidak sesuai dengan tata ruang nasional dan daerah yang berlaku. Pemasangan papan larangan oleh kementerian di lokasi proyek menjadi simbol delegitimasi pusat terhadap kebijakan daerah. Wali Kota Palu saat itu, Hidayat, akhirnya mengakui bahwa kewenangan reklamasi telah beralih ke Gubernur Sulawesi Tengah, namun di lapangan, ketidakjelasan status hukum lahan hasil timbunan terus berlanjut hingga bencana 2018 menghapus segalanya.  

2.3 Dampak Sosio-Ekologis Pra-Bencana

Jauh sebelum tsunami menghantam, reklamasi komersial telah menimbulkan jejak kerusakan ekologis dan konflik sosial yang nyata:

  • Degradasi Ekosistem Lamun dan Terumbu Karang: Proses penimbunan material tanah urug ke laut menyebabkan peningkatan kekeruhan air (turbidity) yang ekstrem. Sedimentasi ini menutupi padang lamun dan terumbu karang di sekitar Teluk Palu, mematikan habitat pemijahan ikan dan merusak rantai makanan pesisir.  

  • Banjir Pesisir dan Perubahan Arus: Perubahan morfologi pantai akibat reklamasi mengubah pola arus laut lokal. Warga di Kelurahan Tipo melaporkan peningkatan frekuensi banjir rob dan genangan air laut pasca-dimulainya aktivitas pengerukan dan penimbunan.  

  • Marginalisasi Nelayan Tradisional: Nelayan di Talise, Lere, dan Kampung Nelayan merasakan dampak langsung berupa penurunan hasil tangkapan. Ikan-ikan pelagis yang biasanya mendekat ke teluk bermigrasi menjauh akibat perubahan kualitas air. Selain itu, akses fisik ke pantai semakin tertutup oleh pagar-pagar proyek, memaksa nelayan memarkir perahu jauh dari pemukiman mereka. Dampak kesehatan juga dilaporkan, di mana debu dari aktivitas truk pengangkut material menyebabkan peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan iritasi kulit pada warga sekitar.

BAB III: Analisis Forensik Bencana 2018: Kegagalan Lahan dan Keruntuhan Pesisir
3.1 Mekanisme Ganda: Gempa, Tsunami, dan Longsoran Bawah Laut

Peristiwa 28 September 2018 menjadi "uji beban" alami yang mengungkap kerapuhan fundamental dari ambisi pembangunan di Teluk Palu. Gempa berkekuatan Mw 7.5 yang berpusat di darat (Sesar Palu-Koro) memicu serangkaian fenomena geologis yang saling terkait dan mematikan. Studi pemodelan tsunami mutakhir menunjukkan bahwa tsunami di Teluk Palu tidak semata-mata disebabkan oleh deformasi vertikal dasar laut akibat gempa tektonik (karena sesar geser biasanya tidak memicu tsunami besar), melainkan oleh mekanisme ganda (dual source mechanism).  

Faktor amplifikasi utama adalah longsoran bawah laut (submarine landslides). Guncangan gempa yang kuat menyebabkan ketidakstabilan pada tebing-tebing curam di dasar Teluk Palu. Material sedimen dalam volume masif longsor ke kedalaman teluk, memindahkan massa air secara tiba-tiba dan membangkitkan gelombang tsunami lokal dengan run-up yang sangat tinggi dan waktu kedatangan (arrival time) yang sangat singkat (3-8 menit setelah gempa). 

3.2 Kerentanan Geoteknik dan Likuefaksi Lahan Reklamasi

Salah satu temuan forensik terpenting adalah perilaku tanah di wilayah pesisir dan area reklamasi. Analisis geoteknik pasca-bencana memberikan wawasan mendalam mengapa kerusakan di area ini begitu total:

3.2.1 Komposisi Tanah dan Likuefaksi Aliran

Tanah di pesisir Teluk Palu, termasuk material timbunan reklamasi, diklasifikasikan sebagai pasir berkerikil lepas (loose gravelly sand) yang diselingi lapisan lanau. Pengujian Dynamic Cone Penetration Test (DCPT) di lokasi terdampak seperti Petobo dan pesisir menunjukkan resistensi tanah yang sangat rendah. Saat gempa terjadi, tekanan air pori dalam tanah meningkat drastis (excess pore water pressure), menyebabkan tanah kehilangan kekuatan gesernya dan berubah sifat menjadi fluida (cair). Di wilayah dengan kemiringan lahan yang landai (1-3%) seperti Petobo dan Balaroa, hal ini memicu likuefaksi aliran (flow liquefaction), di mana massa tanah mengalir seperti bubur lumpur sejauh ratusan meter hingga kilometer, menyeret bangunan dan infrastruktur di atasnya. 

3.2.2 Coastal Collapse (Keruntuhan Pantai)

Di area reklamasi seperti di sekitar Jembatan Palu IV (Jembatan Ponulele) dan Pantai Talise, terjadi fenomena keruntuhan pantai (coastal collapse). Timbunan tanah reklamasi yang tidak dipadatkan dengan standar rekayasa gempa tinggi mengalami kegagalan daya dukung. Massa tanah di tepi pantai meluncur ke arah laut (lateral spreading), menyebabkan garis pantai mundur secara drastis. Fenomena ini juga berkontribusi pada penambahan volume material longsoran bawah laut yang memperkuat energi tsunami. Infrastruktur ikonik seperti Jembatan Ponulele runtuh bukan hanya karena guncangan gempa, tetapi karena fondasi jembatan bergeser akibat pergerakan tanah lateral (lateral spreading) pada sedimen penyangga di mulut sungai. 

3.3 Analisis Kuantitatif Perubahan Garis Pantai (Metode DSAS)

Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh menggunakan citra satelit Sentinel-1 dan Sentinel-2 dengan metode Digital Shoreline Analysis System (DSAS) memberikan gambaran kuantitatif tentang perubahan morfologi Teluk Palu pasca-bencana. Data menunjukkan dominasi abrasi yang ekstrem dibandingkan akresi:

Tabel 3.1: Statistik Perubahan Garis Pantai Teluk Palu Pasca-Tsunami 2018

Lokasi (Kecamatan)Transek SampelNilai Perubahan Maksimum (Meter)Status DominanMekanisme Penyebab Utama
MantikuloreTransek 309-167,53 m (Mundur)Abrasi BeratTsunami Scouring & Coastal Collapse
Palu BaratTransek 105+47,27 m (Maju)AkresiSedimentasi Puing & Material Timbunan
UlujadiTransek 242-0,43 m (Mundur)Stabil/Abrasi RinganDampak gelombang lebih rendah
Layana-Jarak Inundasi 488 mInundasiTopografi landai & Run-up tinggi

Sumber: Diolah dari Analisis Sentinel-1 & DSAS  

Data di atas mengkonfirmasi bahwa wilayah reklamasi di Mantikulore dan Talise mengalami penggerusan lahan yang masif. Lahan yang sebelumnya telah "diciptakan" dengan biaya mahal oleh pengembang, hilang kembali ke laut dalam hitungan menit, menegaskan kesia-siaan melawan kekuatan alam tanpa basis mitigasi yang benar.

BAB IV: Paradigma Rekonstruksi Pasca-Bencana: Intervensi JICA dan Master Plan Baru

4.1 Pergeseran ke "Build Back Better"

Pasca-bencana, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) menyusun Reconstruction Master Plan untuk Sulawesi Tengah. Filosofi utamanya adalah Build Back Better, yang memprioritaskan pengurangan risiko bencana (DRR) di atas kepentingan komersial. Dalam konteks Teluk Palu, ini berarti menghentikan seluruh proyek reklamasi properti dan menggantinya dengan infrastruktur perlindungan pantai. 

4.2 Proyek Perlindungan Pantai Palu (Palu Coastal Protection)

Proyek ini merupakan komponen fisik terbesar dalam rehabilitasi pesisir Palu, didanai melalui skema pinjaman dan hibah internasional (Loan JICA IP-580).

  • Ruang Lingkup: Meliputi pembangunan tanggul laut (seawall dan revetment) sepanjang kurang lebih 7 km yang membentang dari Silae, Lere, Besusu, hingga Talise. 

  • Spesifikasi Teknis: Tanggul dirancang dengan elevasi puncak (crest elevation) +3.00 meter hingga +5.00 meter di atas permukaan laut rata-rata (MSL). Struktur ini menggunakan batu-batu besar (armour stone) dan beton bertulang untuk menahan gaya tumbuk gelombang dan mencegah abrasi lanjut. 

  • Jalan Layang (Elevated Road) sebagai Barikade: Salah satu inovasi desain yang diusulkan JICA adalah pembangunan jalan layang di segmen pesisir tertentu. Jalan ini tidak hanya berfungsi sebagai arteri logistik untuk memulihkan konektivitas, tetapi juga didesain sebagai struktur pemecah gelombang tsunami. Ketinggian jalan diatur sedemikian rupa sehingga jika tsunami melebihi tinggi tanggul, air dapat meluap (overflow) melewati jalan namun energinya tereduksi signifikan sebelum mencapai pemukiman di belakangnya. Pendekatan ini dipilih untuk menghindari pembangunan tembok beton raksasa setinggi 10-12 meter (seperti di Jepang) yang akan mematikan pemandangan dan akses total ke laut. 

4.3 Rekonstruksi Jembatan Palu IV (Jembatan Ponulele II)

Sebagai simbol kebangkitan, Jembatan Palu IV dibangun kembali dengan desain yang sama sekali baru menggunakan dana hibah JICA senilai 2,5 miliar Yen (sekitar Rp 200 miliar).

  • Mitigasi Likuefaksi: Belajar dari kegagalan jembatan lama, jembatan baru ini didesain dengan fondasi tiang pancang yang sangat dalam (hingga menembus lapisan tanah keras di bawah zona likuefaksi) dan dilengkapi teknologi base isolation atau damper untuk meredam energi gempa. 

  • Status Terkini (2024-2025): Hingga akhir 2024, progres fisik jembatan telah mencapai tahap akhir (lebih dari 80%). Namun, peresmiannya mengalami penundaan karena proses audit keselamatan (safety audit) dan uji beban (loading test) yang sangat ketat untuk memastikan tidak ada kompromi terhadap standar keamanan. 

BAB V: Dampak Sosio-Ekologis Rekonstruksi: Konflik "Green vs Grey"

5.1 Resistensi Masyarakat Terhadap Infrastruktur "Grey"

Meskipun diberi label "perlindungan", proyek tanggul laut JICA menuai resistensi yang signifikan dari komunitas lokal, menciptakan babak baru konflik agraria pesisir.

  • Isu Aksesibilitas Nelayan: Masalah paling mendesak adalah desain tanggul laut yang memutus akses fisik nelayan dari darat ke laut. Tanggul setinggi 3 meter berupa tumpukan batu besar (rip-rap) menyulitkan nelayan untuk menaik-turunkan perahu dan peralatan tangkap. Di Kelurahan Lere dan Talise, nelayan memprotes ketiadaan jalur akses (boat ramp) dan tambatan perahu yang aman dalam desain awal proyek.   

  • Protes Baliho 2024: Pada pertengahan 2024, ketegangan memuncak dengan aksi pemasangan baliho protes oleh nelayan di sekitar lokasi proyek, menuntut penghentian pekerjaan penimbunan yang merusak area parkir perahu tradisional mereka. Hal ini menunjukkan bahwa konsultasi publik yang dilakukan (seperti klaim dalam dokumen AMDAL/LARAP) mungkin tidak menyentuh aspirasi teknis mikro para pengguna pesisir. 

5.2 Analisis Kerugian Ekonomi Mikro

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melakukan studi dampak ekonomi yang menyoroti potensi kerugian sektor perikanan skala kecil akibat proyek tanggul laut.

  • Estimasi Kerugian: Berdasarkan perhitungan nilai manfaat bersih (net benefit value), setiap pengolah hasil perikanan diperkirakan mengalami potensi kerugian sebesar Rp 97,8 juta per tahun akibat gangguan pasokan bahan baku dan akses. Secara agregat, potensi kerugian ekonomi bagi komunitas pengolah ikan (472 orang) mencapai Rp 46,1 miliar per tahun. Angka ini menantang narasi bahwa infrastruktur fisik selalu membawa keuntungan ekonomi. 

  • Gangguan Aktivitas: Kebisingan proyek yang beroperasi siang-malam dan lalu lintas truk pengangkut material juga dilaporkan mengganggu operasional warung-warung wisata dan kenyamanan pemukiman pesisir yang tersisa. 

5.3 Kritik Akademis: "False Safety" dan Tsunami 10 Meter

Para ahli kebencanaan memberikan kritik konseptual terhadap ketergantungan pada tanggul laut.

  • Ilusi Keamanan: Tsunami 2018 memiliki ketinggian run-up hingga 10-11 meter di beberapa titik. Tanggul setinggi 3-5 meter secara fisika tidak akan mampu menahan volume air sebesar itu. Kritik utamanya adalah keberadaan tanggul dapat menciptakan false safety (rasa aman palsu), yang membuat masyarakat lengah dan enggan melakukan evakuasi mandiri saat gempa terjadi, karena merasa "sudah dilindungi tanggul". 

  • Pelajaran dari Tohoku: Pengalaman Tsunami Jepang 2011 menunjukkan bahwa tanggul laut raksasa sekalipun bisa gagal (overtopped) dan justru memperlambat evakuasi visual karena warga tidak bisa melihat datangnya gelombang. Oleh karena itu, para ahli mendesak agar elevated road dan sabuk hijau mangrove lebih diprioritaskan daripada dinding beton masif. 

BAB VI: Reformasi Tata Ruang dan Kepastian Hukum (RTRW 2021-2041)

6.1 Revisi Total RTRW Kota Palu

Respons kebijakan paling fundamental pasca-bencana adalah perombakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Peraturan Daerah Kota Palu Nomor 2 Tahun 2021 tentang RTRW Tahun 2021-2041 diterbitkan untuk menggantikan aturan lama yang sudah usang dan tidak relevan dengan risiko bencana. 

6.2 Penetapan Zona Rawan Bencana (ZRB)

Inti dari RTRW baru ini adalah peta Zonasi Rawan Bencana (ZRB) yang disusun berdasarkan data mikrozonasi gempa dan likuefaksi.

  • ZRB 4 (Zona Terlarang): Meliputi area likuefaksi masif (Petobo, Balaroa) dan sempadan pantai yang terdampak tsunami parah (termasuk bekas area reklamasi Talise). Di zona ini, pembangunan hunian baru dilarang keras. Fungsi ruang diubah menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH), hutan kota, dan monumen peringatan bencana. 

  • ZRB 3 (Zona Terbatas): Area dengan risiko tinggi namun masih boleh ada pembangunan terbatas dengan persyaratan rekayasa teknis yang sangat ketat (standar SNI gempa terbaru).

6.3 Implikasi Hukum bagi Izin Reklamasi Lama

Penerbitan Perda RTRW 2021-2041 memiliki konsekuensi hukum langsung terhadap izin-izin reklamasi komersial pra-2018 (PT Yauri, dll.).

  • Pembatalan Demi Hukum: Karena rencana pengembangan properti komersial di bibir pantai Talise kini bertentangan secara diametral dengan status ZRB 4 (Zona Terlarang/Lindung), maka seluruh izin lokasi atau perjanjian pemanfaatan lahan sebelumnya menjadi tidak dapat dilaksanakan (unenforceable) dan batal demi hukum.

  • Pengambilalihan Kewenangan: Sesuai UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan wilayah laut 0-12 mil telah ditarik ke Pemerintah Provinsi. Hal ini menutup celah bagi Pemerintah Kota Palu untuk menerbitkan izin reklamasi baru secara sepihak di masa depan, memperkuat kontrol tata ruang.

BAB VII: Status Terkini (2024-2025) dan Tantangan Masa Depan

7.1 Progres Fisik Menuju 2025

Hingga awal tahun 2025, wajah Teluk Palu masih didominasi oleh alat berat dan aktivitas konstruksi.

  • Jembatan Palu IV: Struktur jembatan telah tersambung, namun penyelesaian detail arsitektural dan sistem Early Warning System (EWS) tsunami yang terintegrasi pada jembatan masih dalam proses. Pemerintah menargetkan operasional penuh pada pertengahan 2025 sebagai kado pemulihan ekonomi. 

  • Tanggul Laut: Konstruksi tanggul terus berlanjut di segmen Silae dan Besusu. Di beberapa titik, desain telah dimodifikasi untuk mengakomodasi tangga akses nelayan, meskipun jumlahnya masih dianggap kurang oleh komunitas. 

7.2 Isu Lingkungan Baru: Destructive Fishing

Sebuah tren mengkhawatirkan muncul pada tahun 2024. Direktorat Polairud Polda Sulawesi Tengah mencatat peningkatan signifikan kasus destructive fishing (bom ikan dan racun) di perairan Teluk Palu dan sekitarnya. Peningkatan kasus hingga 100% dibandingkan tahun sebelumnya mengindikasikan tekanan ekonomi yang semakin berat bagi nelayan. Hipotesis yang perlu diteliti lebih lanjut adalah korelasi antara penyempitan ruang gerak nelayan akibat proyek tanggul laut dengan keputusan putus asa untuk menggunakan cara tangkap ilegal demi mempertahankan pendapatan.

BAB VIII: Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

8.1 Kesimpulan

Transformasi Teluk Palu dari ambisi Waterfront City menjadi benteng pertahanan bencana adalah cerminan dari pembelajaran mahal sebuah kota terhadap kekuatan alam. Penelitian ini menyimpulkan:

  1. Kegagalan Reklamasi Komersial: Proyek reklamasi 2010-2018 adalah contoh kegagalan tata kelola di mana kepentingan ekonomi jangka pendek mengabaikan realitas geologis, yang pada akhirnya hancur total oleh likuefaksi dan tsunami.

  2. Paradoks Rekonstruksi: Upaya mitigasi struktural pasca-2018 (tanggul laut), meskipun vital untuk perlindungan aset kota, berpotensi menciptakan bencana sosial baru berupa pemiskinan nelayan jika aspek aksesibilitas dan mata pencaharian tidak diintegrasikan secara serius dalam desain teknis.

  3. Kepastian Tata Ruang: RTRW 2021-2041 adalah instrumen hukum terkuat saat ini untuk mencegah kembalinya praktik pembangunan sembrono di zona merah.

8.2 Rekomendasi

Untuk memastikan keberlanjutan Teluk Palu, disarankan:

  1. Desain Tanggul Inklusif: Kementerian PU dan JICA wajib merevisi desain lansekap tanggul dengan memperbanyak boat ramp (jalur perahu) setiap 300-500 meter dan membangun kantong-kantong tambatan perahu (small craft harbor) yang terlindungi.

  2. Integrasi Solusi Berbasis Alam: Percepat restorasi sabuk hijau mangrove di zona intertidal di depan tanggul laut. Mangrove bukan hanya pelindung tambahan, tetapi juga habitat pembibitan ikan untuk memulihkan stok perikanan teluk.

  3. Penegakan Hukum Laut: Intensifkan patroli dan edukasi untuk menekan praktik destructive fishing, dibarengi dengan program kompensasi ekonomi atau alih profesi bagi nelayan yang terdampak proyek konstruksi.

  4. Edukasi Mitigasi Berkelanjutan: Hindari narasi bahwa "Palu sudah aman karena ada tanggul". Kampanye kesiapsiagaan tsunami harus terus menekankan evakuasi mandiri dan pemahaman terhadap tanda-tanda alam, bukan ketergantungan pada infrastruktur fisik.

Penelitian ini disusun untuk memberikan landasan objektif bagi pemangku kepentingan dalam menavigasi kompleksitas pemulihan pasca-bencana di salah satu zona tektonik paling aktif di dunia.

Komentar