Bab I: Pendahuluan dan Latar Belakang Filosofis
1.1 Konteks Geopolitik dan Urgensi Regulasi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri di atas fondasi geografis yang unik sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia. Posisi silang yang strategis di antara dua benua dan dua samudra tidak hanya menempatkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, tetapi juga sebagai poros dirgantara yang krusial bagi lalu lintas udara global. Dalam paradigma pertahanan dan ekonomi modern, ruang udara (airspace) tidak lagi dipandang sekadar sebagai ruang kosong (vacuum) tempat berlalunya pesawat, melainkan sebagai sumber daya alam terbatas yang bernilai strategis tinggi, menyangkut kedaulatan, pertahanan, dan kemakmuran ekonomi.
Dokumen "RUU Pengelolaan Ruang Udara" (selanjutnya disebut UU PRU, merujuk pada pengesahannya menjadi Undang-Undang pada akhir tahun 2025 sesuai data parlemen) hadir sebagai respons konstitusional dan strategis terhadap kekosongan serta ketidaklengkapan kerangka hukum yang sebelumnya ada. Sebelumnya, pengaturan ruang udara tersebar secara fragmentaris dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan regulasi sektoral lainnya. Fragmentasi ini sering kali menimbulkan ambiguitas dalam penegakan hukum, terutama terkait ancaman non-tradisional, teknologi nirawak, dan delimitasi batas kedaulatan vertikal.
Urgensi pembentukan UU PRU didorong oleh dinamika lingkungan strategis global dan regional. Perkembangan teknologi kedirgantaraan yang pesat, seperti munculnya wahana High Altitude Platform Stations (HAPS), pesawat hipersonik, dan komersialisasi penerbangan suborbital, menuntut negara untuk memiliki kendali hukum yang pasti. Konsiderans "Menimbang" dalam naskah UU PRU secara eksplisit menyatakan bahwa ruang udara harus dikelola secara "tepat guna, berhasil guna, dan berkelanjutan" untuk melindungi segenap bangsa. Hal ini menandai pergeseran paradigma dari pendekatan yang murni berorientasi transportasi (transportation-oriented) menuju pendekatan keamanan nasional dan pengelolaan sumber daya terintegrasi (comprehensive security and resource management approach).
1.2 Landasan Filosofis: Kedaulatan Penuh dan Eksklusif
Secara filosofis, UU PRU berakar kuat pada amanat Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3) yang mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Meskipun UUD 1945 tidak secara eksplisit menyebut "ruang udara", interpretasi progresif menempatkan ruang udara sebagai bagian tak terpisahkan dari "kekayaan alam" tersebut. Prinsip ini diperkuat oleh doktrin hukum internasional Cujus est solum, ejus est usque ad coelum (barang siapa menguasai tanah, ia juga menguasai ruang di atasnya sampai ke langit), yang kemudian diadopsi dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944.
UU PRU menegaskan kembali doktrin "kedaulatan penuh dan eksklusif" (complete and exclusive sovereignty). Frasa "penuh" bermakna bahwa kekuasaan negara di ruang udara bersifat total tanpa celah, sedangkan "eksklusif" bermakna bahwa hanya negara Indonesia yang berhak melakukan tindakan hukum di wilayah tersebut, menolak intervensi entitas asing tanpa izin. Filosofi ini menjadi jiwa dari seluruh pasal dalam UU PRU, yang dirancang untuk menutup celah pelanggaran kedaulatan yang selama ini sering terjadi akibat "grey area" dalam regulasi lama, seperti insiden penerbangan gelap (black flights) dan aktivitas surveilans asing yang tidak terdeteksi.
1.3 Landasan Sosiologis dan Kebutuhan Masyarakat
Dari perspektif sosiologis, masyarakat dan pelaku industri membutuhkan kepastian hukum. Pertumbuhan industri penerbangan sipil, maraknya penggunaan drone oleh masyarakat sipil, hingga kebutuhan akan konektivitas internet di daerah terpencil yang dapat dilayani oleh wahana stratosfer, memerlukan aturan main yang jelas. Ketiadaan aturan yang spesifik mengenai "Wahana Udara" (non-pesawat) sebelumnya menciptakan risiko keselamatan penerbangan dan keamanan privasi. UU PRU hadir untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi (kesejahteraan) dengan kepentingan pertahanan (keamanan), menciptakan ekosistem dirgantara yang tertib dan berdaya saing. Dukungan publik dan parlemen terhadap pengesahan RUU ini mencerminkan kesadaran kolektif akan pentingnya "pagar udara" bagi kedaulatan NKRI.
Bab II: Definisi dan Konsep Fundamental Ruang Udara
Analisis terhadap Bab I (Ketentuan Umum) UU PRU mengungkapkan adanya redefinisi dan klasifikasi terminologi yang sangat fundamental, yang menjadi basis bagi operasionalisasi undang-undang ini.
2.1 Dikotomi Ruang Udara dan Wilayah Udara
UU PRU membedakan secara tajam antara "Ruang Udara" sebagai konsep fisik dan "Wilayah Udara" sebagai konsep yuridis-politis.
Ruang Udara (Airspace): Didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 sebagai "ruang di atas permukaan bumi yang mengandung udara bersifat gas". Definisi ini bersifat saintifik, merujuk pada lapisan atmosfer bumi. Implikasinya, yurisdiksi pengelolaan UU ini terikat pada keberadaan materi "udara", yang secara implisit membedakannya dengan ruang angkasa (outer space) yang hampa udara.
Wilayah Udara (Sovereign Airspace): Didefinisikan dalam Pasal 1 angka 3 sebagai "wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia". Ini adalah ruang di mana hukum nasional berlaku mutlak. Batas lateralnya mengikuti batas teritorial darat dan laut (12 mil laut dari garis pangkal). Pembedaan ini krusial karena UU PRU memberikan mandat kepada pemerintah untuk tidak hanya mengelola Wilayah Udara kedaulatan, tetapi juga memperluas jangkauan pengelolaan ke "Ruang Udara Internasional" tertentu demi kepentingan nasional.
2.2 Taksonomi Objek Terbang: Pesawat vs. Wahana
Salah satu inovasi hukum terbesar dalam UU PRU adalah pemisahan definisi objek terbang, yang mengatasi keterbatasan definisi dalam UU Penerbangan sebelumnya dan KUHP.
| Kategori | Definisi (UU PRU Pasal 1) | Karakteristik Utama | Contoh Objek |
| Pesawat Udara | Mesin/alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara (aerodinamis), bukan reaksi terhadap permukaan bumi. | Mengandalkan prinsip Bernoulli/Aerodinamika. Digunakan untuk penerbangan konvensional. | Boeing 737, F-16, Cessna, Helikopter. |
| Wahana Udara | Setiap mesin/alat selain Pesawat Udara, yang menggunakan Ruang Udara sebagai tempat dan/atau media gerak. | Definisi sapu jagat (catch-all) untuk objek yang mungkin menggunakan prinsip aerostatik, balistik, atau propulsi roket di atmosfer. | Balon Stratosfer, Drone (UAV) tertentu, Peluru Kendali, Roket peluncur, Glider hipersonik. |
Pemisahan ini menutup celah hukum (loophole) yang selama ini ada. Sebelumnya, objek seperti balon mata-mata atau drone non-standar sering kali sulit dikategorikan sebagai "pesawat udara" dalam konteks regulasi penerbangan sipil (ICAO Annexes). Dengan kategori "Wahana Udara", UU PRU memastikan bahwa setiap objek buatan manusia yang bergerak di ruang udara Indonesia tunduk pada rezim perizinan dan sanksi yang sama, tanpa terkecuali.
2.3 Asas Pengelolaan
Pasal 2 UU PRU menjabarkan dua belas asas pengelolaan, mulai dari kedaulatan, keselamatan, hingga keberlanjutan lingkungan. Yang menarik adalah dimasukkannya asas "keterpaduan" dan "keserasian". Ini menyiratkan kritik terhadap praktik masa lalu di mana pengelolaan ruang udara sering terkotak-kotak antara otoritas sipil (Kemenhub) dan militer (TNI AU/Kemenhan). Asas ini mewajibkan adanya Civil-Military Cooperation (CMAC) yang tidak hanya bersifat koordinatif tetapi terintegrasi dalam sistem tata kelola tunggal nasional.
Bab III: Ruang Lingkup, Batas Wilayah, dan Delimitasi Vertikal
Bab ini membahas salah satu aspek paling kontroversial dan strategis dari UU PRU: penetapan batas fisik kedaulatan negara di dimensi vertikal.
3.1 Penetapan Batas Vertikal 110 Kilometer
Pasal 6 ayat (2) UU PRU menetapkan norma hukum yang berani dan bersejarah: "Batas vertikal Wilayah Udara... setinggi 110 (seratus sepuluh) kilometer yang diukur dari permukaan laut."
Analisis Teoretis:
Penetapan angka 110 km ini menandakan bahwa Indonesia secara resmi menganut Teori Spasial (Spatial Theory) dalam delimitasi ruang udara vs. antariksa. Selama berdekade-dekade, dunia internasional terbelah antara:
Teori Fungsional: Tidak ada batas ketinggian tetap; hukum yang berlaku ditentukan oleh fungsi wahana (apakah itu pesawat atau satelit).
Teori Spasial: Harus ada garis demarkasi fisik yang tegas. Garis Karman (100 km) adalah referensi umum.
Dengan memilih angka 110 km, Indonesia mengambil posisi yang sedikit lebih tinggi dari Garis Karman. Penjelasan UU PRU menyebutkan bahwa angka ini selaras dengan posisi Indonesia di forum PBB (UNCOPUOS) dan UU Keantariksaan No. 21 Tahun 2013. Alasannya adalah untuk memberikan kepastian hukum (legal certainty) dan melindungi kepentingan nasional dari ancaman wahana sub-orbital atau Nearspace yang beroperasi di lapisan stratosfer dan mesosfer.
Implikasi Strategis:
Kedaulatan Subantariksa: Wilayah antara ketinggian jelajah pesawat sipil (sekitar 20 km) hingga 110 km kini secara hukum positif adalah wilayah kedaulatan mutlak Indonesia. Pasal 39 menamai wilayah ini sebagai "Subantariksa Indonesia".
Kontrol Teknologi Masa Depan: Segala aktivitas di ketinggian ini—seperti peluncuran wahana HAPS untuk internet, wisata luar angkasa sub-orbital, atau transit peluru kendali—wajib mendapat izin Pemerintah Indonesia.
Potensi Friksi Internasional: Mengingat belum adanya konsensus global tentang batas ini, klaim unilateral Indonesia mungkin akan diuji secara diplomatik. Satelit orbit sangat rendah (Very Low Earth Orbit) yang melintas di perigee 105 km, misalnya, secara teknis dapat dianggap melanggar wilayah udara Indonesia menurut UU ini. Namun, langkah ini penting sebagai bargaining position Indonesia dalam diplomasi antariksa global.
3.2 Batas Lateral dan Wilayah Delegasi
Pasal 6 ayat (3) menegaskan batas lateral mengikuti batas negara di darat dan laut. Namun, UU PRU juga mengatur yurisdiksi di luar batas tersebut:
Ruang Udara Internasional di Atas Wilayah Yurisdiksi (Pasal 8): Meliputi ruang udara di atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen. Di sini, Indonesia tidak memiliki kedaulatan wilayah, tetapi memiliki Hak Berdaulat (Sovereign Rights) untuk mengelola sumber daya alam dan melindungi instalasi vital (misalnya anjungan migas).
Ruang Udara Delegasi (Pasal 9): UU PRU memberikan kerangka hukum bagi fenomena pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan (Flight Information Region - FIR). Pasal ini melegitimasi posisi Indonesia baik sebagai pemberi delegasi (jika ada wilayah kita yang dilayani negara lain karena alasan teknis) maupun penerima delegasi (melayani wilayah internasional di atas laut bebas). Poin kuncinya adalah: pendelegasian navigasi tidak menghapus kedaulatan.
Bab IV: Tata Kelola Penyelenggaraan: Perencanaan dan Pemanfaatan
Pengelolaan ruang udara diselenggarakan melalui empat tahapan siklus: Perencanaan, Pemanfaatan, Pengendalian, dan Pengawasan (Pasal 10).
4.1 Perencanaan Terintegrasi Sipil-Militer
UU PRU mengamanatkan penyusunan Rencana Tata Kelola Ruang Udara yang terdiri dari Rencana Umum dan Rencana Rinci (Pasal 14-16), yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Ini adalah mandat integrasi yang kuat.
Analisis Masalah: Sebelumnya, sering terjadi konflik pemanfaatan di mana rute penerbangan sipil terhambat oleh area latihan militer yang kaku, menyebabkan inefisiensi bahan bakar dan waktu (ekonomi biaya tinggi).
Solusi UU PRU: Dengan rencana terintegrasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (Pasal 12), UU ini melembagakan konsep Flexible Use of Airspace (FUA). Ruang udara tidak lagi dikavling secara permanen dan kaku, tetapi dikelola secara dinamis berdasarkan prioritas nasional yang dituangkan dalam dokumen perencanaan legal.
4.2 Dimensi Pemanfaatan (Pasal 17-25)
Pemanfaatan ruang udara dibagi ke dalam lima sektor kepentingan nasional:
Penerbangan: Mengakomodasi pertumbuhan penerbangan sipil dan kebutuhan operasi militer secara berdampingan.
Pertahanan dan Keamanan: Termasuk pembangunan sistem pertahanan udara (Air Defense System) dan pembinaan potensi dirgantara.
Perekonomian Nasional: Pemanfaatan ruang udara untuk logistik, pariwisata, dan konektivitas daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
Sosial Budaya: Pendidikan, olahraga dirgantara, dan pelestarian cagar budaya.
Lingkungan Hidup: Ini aspek progresif. Pemanfaatan ruang udara mencakup modifikasi cuaca (hujan buatan) dan pengendalian pencemaran udara.
Teknologi Keudaraan (Pasal 23-24):
UU PRU secara spesifik menyoroti pentingnya penguasaan teknologi. Pemanfaatan ruang udara harus didukung kemandirian teknologi, mulai dari navigasi satelit, roket peluncur, hingga aplikasi sistem informasi. Ini memberikan mandat kepada pemerintah untuk tidak hanya menjadi "pengatur" tetapi juga "fasilitator" ekosistem industri kedirgantaraan nasional.
Bab V: Pengendalian dan Zonasi Ruang Udara
Aspek pengendalian dalam UU PRU diwujudkan melalui penetapan status dan jenis kawasan udara yang sangat rinci (Pasal 26-39). Sistem zonasi ini adalah alat utama negara dalam menegakkan kedaulatan dan menjamin keselamatan.
5.1 Klasifikasi Status Kawasan (Pasal 27-32)
Tabel berikut merangkum klasifikasi status kawasan udara berdasarkan UU PRU:
| Status Kawasan | Sifat Pembatasan | Larangan & Izin | Contoh Implementasi |
| Terlarang (Prohibited) | Tetap & Menyeluruh | Dilarang mutlak bagi seluruh pesawat sipil/asing. Pengecualian sangat terbatas untuk militer/negara Indonesia. | Istana Negara, Kilang Nuklir, Markas Komando Strategis. |
| Terbatas (Restricted) | Tidak Tetap (Fleksibel) | Dilarang bagi sipil/asing kecuali memiliki izin khusus. Jika tidak aktif, dapat dibuka untuk umum (konsep FUA). | Area Latihan Tempur (Training Area), Area Uji Coba Rudal. |
| Berbahaya (Danger) | Peringatan | Tidak dilarang secara hukum, tetapi diberikan peringatan risiko tinggi. | Area aktivitas vulkanik, area peluncuran roket sipil. |
5.2 Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ)
Pasal 33 ayat (1) huruf d dan Pasal 37 secara formal menetapkan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) dalam legislasi nasional. Ini adalah langkah geopolitik besar.
Definisi: Kawasan di ruang udara internasional tertentu yang diperuntukkan bagi identifikasi pesawat/wahana yang akan memasuki wilayah udara Indonesia.
Implikasi Hukum: Pesawat asing yang terbang di ruang udara internasional (misal di atas laut bebas) tetapi menuju ke arah Indonesia wajib melapor dan mengidentifikasi diri. Jika tidak, mereka dianggap ancaman (unknown/bogey).
Kontroversi: Pengaturan ADIZ sering menjadi perdebatan dalam hukum internasional karena bersinggungan dengan kebebasan penerbangan (freedom of overflight) di atas laut bebas. Namun, Indonesia berargumen bahwa demi pertahanan (Pasal 37 ayat 1), identifikasi dini (early warning) adalah hak negara berdaulat. UU PRU memberikan landasan legal bagi TNI AU untuk melakukan intersepsi di luar batas teritorial jika prosedur ADIZ dilanggar.
5.3 Kawasan Udara di Atas Objek Vital Nasional
Pasal 38 memberikan perlindungan ekstra bagi Objek Vital Nasional (Obvitnas). Yang menarik, UU PRU memungkinkan penetapan "Kawasan Udara Keselamatan" di atas Obvitnas yang berada di ruang udara internasional (wilayah yurisdiksi), seperti kilang minyak lepas pantai di ZEE. Ini memberikan wewenang kepada aparat keamanan untuk menindak ancaman drone atau pesawat asing yang membahayakan aset ekonomi negara di laut bebas, sebuah perluasan yurisdiksi penegakan hukum yang signifikan.
5.4 Subantariksa Indonesia (Pasal 39)
Kawasan ini (ketinggian ~18 km s.d. 110 km) ditetapkan untuk kepentingan nasional.
Fungsi: Penempatan wahana sipil (HAPS untuk internet), wahana negara (surveilans), atau wahana asing (dengan izin).
Tanggung Jawab: Pasal 39 ayat (3) menerapkan prinsip tanggung jawab ketat. Operator bertanggung jawab penuh atas kerugian pihak ketiga akibat jatuhnya wahana dari subantariksa. Ini mengantisipasi risiko puing (debris) dari teknologi eksperimental di lapisan stratosfer.
Bab VI: Sistem Perizinan dan Kepatuhan
UU PRU memperketat rezim perizinan untuk memasuki dan beraktivitas di wilayah udara Indonesia.
6.1 Izin Masuk (Flight Clearance)
Pasal 41 mewajibkan izin masuk bagi:
Pesawat/Wahana Udara Sipil Asing (Berjadwal & Tidak Berjadwal).
Pesawat/Wahana Udara Negara Asing (Militer/Pemerintah).
Pelanggaran terhadap ketentuan ini bukan lagi sekadar masalah administratif, tetapi dapat memicu tindakan pertahanan (intersepsi, force down) dan protes diplomatik, serta sanksi pidana.
6.2 Izin Aktivitas Khusus
Pasal 42 mengatur izin untuk aktivitas spesifik di wilayah udara, seperti:
Survei udara, pemetaan, pemotretan udara.
Modifikasi cuaca.
Penginderaan jauh (remote sensing).
Ketentuan ini dirancang untuk melindungi data geospasial sensitif. Pesawat sipil (bahkan milik Indonesia) yang melakukan pemetaan tanpa izin khusus dapat dipidana. Ini menutup celah spionase berkedok penelitian atau survei komersial.
Bab VII: Rezim Penegakan Hukum dan Ketentuan Pidana
Bab ini menganalisis perubahan paling drastis dalam UU PRU: pergeseran dari sanksi administratif ke sanksi pidana berat dan militerisasi penegakan hukum tertentu.
7.1 Aparat Penegak Hukum: Peran Sentral TNI AU
Pasal 46 merombak struktur penyidikan tindak pidana penerbangan/ruang udara. Penyidikan kini dilakukan oleh tiga pilar:
Penyidik Perwira TNI AU: Diberikan wewenang penyidikan pro-justitia untuk tindak pidana spesifik yang mengancam kedaulatan dan pertahanan.
Yurisdiksi TNI AU: Pelanggaran Kawasan Terlarang, Kawasan Terbatas Militer, Kawasan Keselamatan Lanud, dan Pesawat Asing Tanpa Izin (setelah koordinasi).
Penyidik Polri: Sebagai koordinator umum penyidik sipil.
PPNS (Kemenhub): Untuk pelanggaran regulasi sipil teknis.
Pemberian wewenang penyidikan kepada TNI AU adalah terobosan hukum. Sebelumnya, TNI AU hanya berwenang melakukan tindakan fisik (penangkapan/pemaksaan mendarat), namun proses hukum selanjutnya harus diserahkan ke PPNS atau Polri, yang sering kali tidak memiliki keahlian spesifik pertahanan udara atau terkendala birokrasi. Dengan UU ini, rantai penegakan hukum kedaulatan menjadi lebih ringkas dan berwibawa (deterrent).
7.2 Analisis Sanksi Pidana (Ketentuan Pasal 51-56)
UU PRU menerapkan sanksi pidana kumulatif (penjara dan denda) dengan nominal yang fantastis, mencerminkan nilai strategis kedaulatan yang dilanggar.
Tabel Analisis Ketentuan Pidana:
| Jenis Tindak Pidana | Pasal Referensi | Sanksi Penjara Maksimal | Sanksi Denda Maksimal | Analisis Berat Ringan & Sasaran |
| Pelanggaran Kawasan Terlarang (Prohibited Area) | Pasal 51 | 15 Tahun | Rp 7.000.000.000 (7 Miliar) | Sanksi terberat. Sasaran: Spionase, ancaman terorisme udara, penerbangan yang mengancam VVIP/Instalasi Nuklir. Angka 15 tahun setara dengan kejahatan berat lainnya. |
| Pesawat/Wahana Asing Tanpa Izin Masuk (Illegal Entry) | Pasal 54 | 12 Tahun | Rp 7.000.000.000 (7 Miliar) | Sangat berat. Menargetkan black flights, pelanggaran kedaulatan oleh militer/sipil asing. Pesan tegas (deterrence) kepada negara/operator asing. |
| Aktivitas Tanpa Izin (Survei/Pemetaan Ilegal) | Pasal 55 | 8 Tahun | Rp 3.000.000.000 (3 Miliar) | Menengah-Berat. Sasaran: Pencurian data geospasial, survei ilegal. Melindungi kerahasiaan data negara. |
| Pelanggaran Kawasan Terbatas (Restricted Area) | Pasal 52 | 5 Tahun | Rp 2.000.000.000 (2 Miliar) | Menengah. Sasaran: Penerbangan yang mengganggu latihan militer atau area sensitif non-permanen. |
| Membahayakan Keselamatan di Pangkalan Udara | Pasal 53 | 5 Tahun | Rp 2.000.000.000 (2 Miliar) | Menengah. Sasaran: Penggunaan drone liar di sekitar bandara militer, serangan laser, atau obstruksi fisik. |
Pidana Korporasi (Pasal 56):
Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi (misalnya maskapai penerbangan atau perusahaan survei), pidana denda diperberat 1/3 (sepertiga) dari denda maksimal. Pengurus korporasi juga dapat dipidana. Ini mencegah perusahaan berlindung di balik entitas badan hukum untuk melakukan pelanggaran demi keuntungan ekonomi.
Bab VIII: Analisis Kritis, Tantangan Implementasi, dan Harmonisasi
Meskipun UU PRU menawarkan kerangka kerja yang kokoh, terdapat sejumlah tantangan dalam tataran implementasi dan harmonisasi internasional.
8.1 Kompatibilitas dengan Hukum Internasional
Isu ADIZ: Sebagaimana disinggung oleh pengamat hukum udara, penerapan ADIZ di ruang udara internasional berpotensi memicu protes jika prosedurnya menghambat hak lintas damai atau kebebasan penerbangan di atas laut bebas. Pemerintah perlu menyusun aturan pelaksana (PP/Perpres) yang hati-hati dalam mendefinisikan Rules of Engagement (ROE) intersepsi di ADIZ agar tidak melanggar Konvensi Chicago atau UNCLOS.
Batas 110 Km: Klaim unilateral ini mungkin tidak serta merta diakui oleh negara-negara antariksa (Space-faring nations) seperti AS, Rusia, atau Tiongkok. Satelit orbit rendah mereka yang melintas di ketinggian 100-110 km bisa menjadi subjek sengketa diplomatik. Indonesia harus aktif di forum UNCOPUOS untuk memperjuangkan pengakuan internasional atas batas ini.
8.2 Kapabilitas Pertahanan dan Pengawasan
Hukum yang kuat tanpa penegakan yang efektif hanya akan menjadi "macan kertas".
Celah Pengawasan: Mengawasi ruang udara hingga ketinggian 110 km memerlukan teknologi radar canggih (beyond-line-of-sight radar) dan sistem pemantauan satelit yang saat ini mungkin belum sepenuhnya dimiliki Indonesia secara merata di seluruh pelosok nusantara.
Interseptor: Kesiapan pesawat tempur TNI AU untuk merespon pelanggaran di wilayah perbatasan yang jauh dari pangkalan induk menjadi tantangan logistik dan operasional.
8.3 Kesiapan Sumber Daya Manusia
Pemberian wewenang penyidikan kepada Perwira TNI AU menuntut peningkatan kapasitas SDM militer dalam bidang hukum acara pidana. Penyidik militer harus mampu menyusun Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang memenuhi standar pembuktian di pengadilan umum agar kasus tidak gugur demi hukum. Koordinasi antara penyidik TNI, Polri, dan PPNS juga berpotensi mengalami gesekan ego sektoral jika tidak diatur mekanisme kerjanya secara rinci.
Bab IX: Kesimpulan dan Rekomendasi
9.1 Kesimpulan Strategis
Undang-Undang Pengelolaan Ruang Udara merupakan tonggak sejarah (milestone) dalam evolusi sistem hukum nasional Indonesia. Dokumen ini berhasil menerjemahkan konsep abstrak kedaulatan udara menjadi norma hukum positif yang operasional dan memiliki daya paksa.
Kepastian Hukum: UU ini mengakhiri perdebatan tentang batas vertikal kedaulatan dengan menetapkan angka 110 km dan mendefinisikan Subantariksa sebagai aset nasional.
Kedaulatan yang Tegas: Melalui instrumen ADIZ, Kawasan Terlarang, dan sanksi pidana berat, Indonesia mengirimkan sinyal kuat ke dunia internasional bahwa ruang udaranya tertutup bagi aktivitas ilegal.
Integrasi Sipil-Militer: UU ini memaksa terwujudnya sinergi pengelolaan ruang udara, menghapus sekat-sekat sektoral demi efisiensi ekonomi dan kekuatan pertahanan.
Antisipasi Masa Depan: Pengaturan Wahana Udara (non-pesawat) dan Subantariksa menunjukkan visi jauh ke depan (visionary) untuk mengakomodasi perkembangan teknologi dirgantara abad ke-21.
9.2 Rekomendasi Tindak Lanjut
Untuk memastikan efektivitas UU PRU, langkah-langkah berikut direkomendasikan:
Percepatan Regulasi Turunan: Pemerintah harus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Rencana Tata Kelola Ruang Udara, Penetapan ADIZ, dan Prosedur Penegakan Hukum. Kekosongan aturan teknis akan menghambat implementasi.
Modernisasi Alutsista: Prioritas anggaran pertahanan harus diarahkan pada pengadaan radar pertahanan udara jarak jauh, sistem hanud titik (point defense), dan peningkatan kesiapan pesawat tempur sergap.
Diplomasi Internasional: Kementerian Luar Negeri perlu melakukan sosialisasi intensif mengenai batas 110 km dan ADIZ kepada negara tetangga dan ICAO untuk meminimalisir potensi konflik diplomatik.
Edukasi Publik: Sosialisasi aturan zonasi dan perizinan drone kepada masyarakat luas sangat mendesak untuk mencegah kriminalisasi warga negara akibat ketidaktahuan atas sanksi pidana yang berat.
Secara keseluruhan, UU PRU menempatkan Indonesia pada posisi yang lebih bermartabat dan berdaulat di kancah global, dengan syarat pelaksanaannya didukung oleh komitmen politik, anggaran, dan profesionalisme aparat yang konsisten.
Komentar
Posting Komentar