Laporan Komprehensif : Justifikasi Teknis, Ekonomis, dan Strategis Pemanfaatan Teknologi Unmanned Aerial Vehicle (UAV) untuk Pemetaan dan Manajemen Aset Daerah Irigasi Kewenangan Provinsi Sulawesi Tengah

Laporan penelitian ini menyajikan analisis mendalam dan multi-dimensi mengenai urgensi serta justifikasi teknis penerapan teknologi Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau pesawat udara nirawak dalam ekosistem pengelolaan sumber daya air di Provinsi Sulawesi Tengah. Fokus utama kajian diarahkan pada Daerah Irigasi (D.I.) yang berada di bawah kewenangan pemerintah provinsi, yakni area dengan luas layanan antara 1.000 hingga 3.000 hektare, sebagaimana dimandatkan oleh regulasi nasional. Laporan ini disusun untuk menjawab tantangan spesifik yang dihadapi oleh Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air (CIKASDA) Provinsi Sulawesi Tengah, meliputi kompleksitas topografi, kerentanan terhadap bencana geologis dan hidrometeorologi, serta tuntutan modernisasi manajemen aset berbasis digital.

Bendung Daerah Irigasi Tambayoli

Melalui sintesis data dari berbagai literatur teknis, regulasi pemerintah, dan studi kasus lapangan, laporan ini menemukan bahwa metode survei terestris konvensional tidak lagi memadai untuk memenuhi kebutuhan data spasial yang cepat, akurat, dan komprehensif di era pascabencana 2018. Teknologi UAV, khususnya yang dilengkapi dengan sensor fotogrametri dan LiDAR (Light Detection and Ranging), menawarkan solusi revolusioner. Kemampuan UAV untuk menghasilkan Ortofoto Tegak dan Model Medan Digital (Digital Terrain Model/DTM) dengan resolusi spasial tinggi (GSD < 5 cm) memberikan landasan empiris yang kuat bagi perencanaan rehabilitasi jaringan, mitigasi risiko likuefaksi, dan inventarisasi aset irigasi.

Secara ekonomis, analisis biaya manfaat menunjukkan bahwa adopsi teknologi ini dapat memangkas biaya survei hingga 60% dan mempercepat waktu akuisisi data hingga 400% dibandingkan metode manual, memberikan efisiensi signifikan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lebih jauh, integrasi data drone ke dalam sistem informasi nasional (e-PAKSI) dan inisiatif daerah (aplikasi Mosijagai Irigasi) merupakan langkah strategis untuk mewujudkan tata kelola air yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan, demi menjamin ketahanan pangan di Sulawesi Tengah.

BAB I Paradigma Baru Pengelolaan Irigasi di Sulawesi Tengah

1.1 Latar Belakang Geografis dan Tantangan Hidrologis Regional

Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah paling dinamis secara geologis dan hidrologis di Indonesia. Terletak di jantung kepulauan Nusantara, provinsi ini memiliki topografi yang didominasi oleh pegunungan curam, lembah aluvial sempit, dan dataran pantai yang rentan. Karakteristik bentang alam ini dibentuk oleh aktivitas tektonik intensif, terutama keberadaan Sesar Palu-Koro yang membelah wilayah ini dari utara ke selatan. Kondisi ini menciptakan tantangan unik dalam pengelolaan infrastruktur sumber daya air, khususnya jaringan irigasi yang menjadi tulang punggung sektor pertanian daerah.1

Sistem irigasi di Sulawesi Tengah tidak hanya berfungsi sebagai penyedia air bagi lahan pertanian, tetapi juga sebagai instrumen pengendalian banjir dan konservasi air. Namun, pengelolaan sistem ini menghadapi kendala fisik yang berat. Banyak hulu sungai (catchment area) berada di wilayah pegunungan yang sulit diakses, sementara jaringan saluran primer dan sekunder melintasi kontur tanah yang labil. Metode pengelolaan konvensional yang mengandalkan inspeksi visual manual dan pemetaan terestris seringkali terhambat oleh aksesibilitas, luasnya wilayah layanan, dan keterbatasan personel. Hal ini mengakibatkan data kondisi infrastruktur seringkali tidak up-to-date, yang pada gilirannya menyebabkan keterlambatan dalam respon pemeliharaan dan rehabilitasi.

Perubahan iklim global turut memperburuk situasi dengan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem. Banjir bandang yang membawa material sedimen tinggi sering terjadi di wilayah seperti Kabupaten Banggai dan Morowali, menyebabkan pendangkalan bendung dan kerusakan tanggul saluran secara masif. Di sisi lain, risiko kekeringan menuntut efisiensi distribusi air yang presisi. Dalam konteks inilah, kebutuhan akan teknologi pemetaan yang mampu memberikan data spasial akurat, cepat, dan mencakup area luas menjadi sangat mendesak. Teknologi UAV hadir bukan sekadar sebagai alat bantu, melainkan sebagai kebutuhan fundamental untuk menjembatani kesenjangan antara kondisi lapangan yang dinamis dengan kebutuhan pengambilan keputusan manajerial yang tepat.

1.2 Integritas Data Spasial

Kebutuhan untuk memetakan ulang ribuan hektare lahan terdampak dalam waktu singkat guna menyusun rencana rehabilitasi dan rekonstruksi memaksa para pemangku kepentingan untuk beralih ke teknologi penginderaan jauh. Namun, citra satelit seringkali terkendala oleh resolusi yang kurang detail untuk perencanaan teknik sipil dan gangguan tutupan awan yang persisten di wilayah tropis. Oleh karena itu, penggunaan drone menjadi solusi paling logis dan efektif. Drone mampu terbang di bawah lapisan awan, merekam data dengan resolusi sentimeter, dan menjangkau area berbahaya tanpa risiko bagi operator manusia. Pengalaman rekonstruksi pascabencana ini memberikan pelajaran berharga bagi Dinas CIKASDA Provinsi Sulawesi Tengah mengenai vitalnya kemandirian data geospasial berbasis drone untuk seluruh wilayah kewenangannya, bukan hanya di zona bencana Palu, tetapi juga di kabupaten lain yang memiliki risiko serupa.

1.3 Transformasi Digital dalam Birokrasi dan Manajemen Aset

Selain faktor kebencanaan, dorongan untuk mengadopsi teknologi pemetaan drone juga datang dari tuntutan reformasi birokrasi dan modernisasi manajemen aset negara. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah meluncurkan sistem e-PAKSI (Elektronik Pengelolaan Aset dan Kinerja Sistem Irigasi) sebagai platform nasional tunggal untuk database irigasi. Sistem ini mewajibkan pemerintah daerah untuk mengunggah data spasial (peta poligon daerah layanan dan garis jaringan) yang terverifikasi dan akurat.

Di tingkat provinsi, Sulawesi Tengah telah mengembangkan inovasi lokal berupa aplikasi "Mosijagai Irigasi" (Mari Jaga Irigasi). Aplikasi ini dirancang untuk memantau kondisi jaringan irigasi secara real-time dan transparan. Agar aplikasi ini berfungsi optimal, diperlukan basemap atau peta dasar berkualitas tinggi yang dapat menampilkan kondisi eksisting saluran, bangunan bagi, dan petak tersier dengan jelas. Peta garis skematik lama tidak lagi memadai untuk antarmuka aplikasi modern yang berbasis GIS (Geographic Information System). Integrasi foto udara drone ke dalam aplikasi Mosijagai memungkinkan para pengamat irigasi, perkumpulan petani pemakai air (P3A), dan pengambil kebijakan untuk melihat kondisi visual lapangan yang sebenarnya tanpa harus selalu turun ke lokasi, sehingga meningkatkan efisiensi koordinasi dan respon penanganan.

BAB II Analisis Regulasi dan Kerangka Hukum

Justifikasi penggunaan teknologi dalam pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari landasan hukum yang memayunginya. Bagian ini menguraikan bagaimana penggunaan drone selaras dan bahkan didorong oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari pembagian kewenangan hingga standar teknis data spasial.

2.1 Permen PUPR No. 14/PRT/M/2015: Mandat Kewenangan Provinsi

Peraturan Menteri PUPR Nomor 14/PRT/M/2015 tentang Kriteria dan Penetapan Status Daerah Irigasi merupakan regulasi induk yang mengatur pembagian tanggung jawab pengelolaan irigasi di Indonesia. Regulasi ini menetapkan bahwa Pemerintah Provinsi memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh atas pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada Daerah Irigasi yang luasnya 1.000 hektare sampai dengan 3.000 hektare, serta Daerah Irigasi yang bersifat lintas kabupaten/kota.9

Di Sulawesi Tengah, mandat ini mencakup area yang luas dan tersebar di berbagai kabupaten. Dinas CIKASDA melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Wilayah II, misalnya, mengelola sejumlah D.I. strategis seperti D.I. Bendung Bakung, D.I. Dongin, D.I. Bunta, D.I. Moilong, dan D.I. Ungkaya.11 Karakteristik D.I. kewenangan provinsi ini memiliki implikasi teknis khusus terhadap metode pemetaan:

1.    Skala Luasan: Area 1.000-3.000 Ha adalah "sweet spot" untuk pemetaan drone. Jika area terlalu kecil (<100 Ha), mobilisasi drone mungkin dianggap berlebihan dibandingkan survei manual. Sebaliknya, jika area sangat luas (>10.000 Ha), survei LiDAR berawak (manned aircraft) mungkin lebih efisien. Namun, untuk rentang 1.000-3.000 Ha, drone (terutama tipe Fixed Wing VTOL) menawarkan efisiensi waktu dan biaya yang paling optimal dibandingkan metode lain.

2.    Kompleksitas Lintas Batas: D.I. lintas kabupaten memerlukan data spasial yang konsisten dan tidak bias batas administratif. Peta drone yang tergeoreferensi dengan sistem koordinat nasional menghilangkan potensi sengketa batas pengelolaan antar-kabupaten.

2.2 Kriteria Perencanaan Irigasi (KP-Ir) dan Standar Teknis

Direktorat Jenderal Sumber Daya Air telah menetapkan Standar Perencanaan Irigasi (KP-01 hingga KP-07) sebagai "kitab suci" bagi insinyur pengairan. KP-Ir secara eksplisit mensyaratkan ketersediaan data topografi yang akurat sebagai prasyarat desain.

     KP-01 (Perencanaan Jaringan): Menegaskan perlunya peta situasi skala 1:5.000 untuk tata letak umum dan 1:2.000 untuk desain detail. Peta ini harus memuat garis kontur dengan interval 0,5 meter hingga 1 meter.

     KP-03 (Saluran): Mensyaratkan pengukuran profil memanjang dan melintang saluran untuk analisis hidrolika.

Meskipun KP-Ir edisi lama (2013) belum secara spesifik menyebut "drone", prinsip dasar yang ditekankan adalah akurasi dan detail. Teknologi drone modern mampu menghasilkan produk yang melampaui standar minimum KP-Ir. Misalnya, ortofoto drone memiliki resolusi 5 cm (setara skala 1:500), jauh lebih detail dari syarat skala 1:2.000. Selain itu, Digital Elevation Model (DEM) dari drone dapat menghasilkan kontur interval 0,25 meter, memberikan ketelitian lebih tinggi untuk perencanaan cut and fill (galian dan timbunan) saluran irigasi.14

2.3 Standar Informasi Geospasial Nasional (BIG)

Pemanfaatan drone untuk pemetaan dasar harus tunduk pada regulasi Badan Informasi Geospasial (BIG). Peraturan BIG Nomor 1 Tahun 2020 tentang Standar Pengumpulan Data Geospasial Dasar Untuk Pembuatan Peta Dasar Skala Besar mengatur spesifikasi teknis pemotretan udara nirawak.15

     Ketelitian Geometri: Peta irigasi yang dihasilkan harus memenuhi standar ketelitian horizontal (CE90) dan vertikal (LE90) sesuai SNI 8202. Penggunaan drone yang dilengkapi dengan Global Navigation Satellite System (GNSS) tipe Real-Time Kinematic (RTK) atau Post-Processing Kinematic (PPK), serta didukung oleh Titik Kontrol Tanah (Ground Control Points - GCP) yang memadai, telah terbukti secara ilmiah mampu memenuhi standar ketelitian peta kelas 1 hingga kelas 3.

     Sistem Referensi: Semua data spasial irigasi harus terikat pada Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013). Hal ini menjamin bahwa data irigasi provinsi dapat diintegrasikan ("overlay") dengan peta kehutanan, peta pertanahan (BPN), dan peta tata ruang wilayah (RTRW) tanpa terjadi pergeseran posisi.

2.4 Surat Edaran Dirjen SDA No. 13/SE/DA/2021

Surat Edaran ini menjadi dasar hukum operasionalisasi e-PAKSI. SE ini menginstruksikan seluruh balai dan dinas pengelola irigasi untuk melakukan inventarisasi aset dan penilaian kinerja sistem irigasi secara digital.17

     Pembaruan Data 5 Tahunan: Data inventarisasi aset harus diperbarui minimal sekali dalam 5 tahun. Mengingat luasnya wilayah dan terbatasnya jumlah juru pengairan, melakukan sensus aset secara manual setiap 5 tahun adalah tugas yang hampir mustahil. Drone memungkinkan "sensus digital" aset secara cepat, merekam keberadaan, dimensi, dan kondisi fisik setiap bangunan air dalam satu kali penerbangan.

     Format Data: e-PAKSI mensyaratkan format data spasial tertentu (Shapefile/GeoTIFF).18 Drone secara native menghasilkan data raster (GeoTIFF) dan data vektor (melalui digitasi) yang kompatibel langsung dengan arsitektur sistem e-PAKSI.

BAB III Aspek Teknis dan Metodologi Pemetaan UAV

Bagian ini menguraikan secara teknis mengapa teknologi UAV lebih superior dibandingkan alternatif lain (survei terestris dan satelit) dalam konteks spesifik irigasi di Sulawesi Tengah.

3.1 Fotogrametri vs. LiDAR: Memilih Sensor yang Tepat

Dalam pemetaan irigasi menggunakan drone, terdapat dua teknologi sensor utama yang dapat digunakan, masing-masing dengan keunggulan spesifik.

3.1.1 Fotogrametri (UAV Photogrammetry)

Metode ini menggunakan kamera RGB standar untuk mengambil ribuan foto udara yang saling bertampalan (overlap). Algoritma komputer (Structure from Motion - SfM) kemudian mencari titik-titik sekutu pada foto-foto tersebut untuk merekonstruksi model 3D permukaan bumi.

     Kelebihan: Biaya alat relatif murah, menghasilkan visual ortofoto berwarna yang sangat realistis dan mudah dipahami oleh orang awam (petani/pejabat non-teknis). Sangat efektif untuk memetakan area persawahan terbuka, tanggul saluran yang bersih, dan infrastruktur bangunan.

     Keterbatasan: Sulit menembus vegetasi rapat. Jika saluran irigasi tertutup pepohonan (kanopi), model 3D yang dihasilkan adalah permukaan pohon (Digital Surface Model), bukan permukaan tanah dasar saluran (Digital Terrain Model).

3.1.2 LiDAR (Light Detection and Ranging)

Sensor LiDAR menembakkan ratusan ribu pulsa laser per detik ke permukaan bumi dan mengukur waktu pantulannya. Teknologi ini memiliki kemampuan multi-return, di mana satu pulsa laser dapat memantul beberapa kali: pantulan pertama dari daun pohon, dan pantulan terakhir (last return) dari tanah di celah-celah daun.

     Relevansi untuk Sulteng: Banyak saluran primer dan sekunder di D.I. kewenangan provinsi (misalnya di hulu D.I. Bakung atau Ungkaya) melintasi area perkebunan kakao atau hutan sekunder. Fotogrametri akan gagal melihat dasar saluran di area ini. LiDAR mampu menembus celah vegetasi untuk mendapatkan data elevasi tanah asli yang akurat. Hal ini krusial untuk menghitung kemiringan saluran (bed slope) agar air dapat mengalir secara gravitasi tanpa hambatan.

Tabel 1. Perbandingan Teknis Sensor UAV untuk Irigasi

Parameter

Sensor Fotogrametri (RGB)

Sensor LiDAR

Rekomendasi Penggunaan

Prinsip Kerja

Rekonstruksi visual dari foto

Pengukuran jarak berbasis laser

 

Output Utama

Ortofoto Mosaic, DSM, Point Cloud Warna

Point Cloud Densitas Tinggi, DTM Akurat

 

Penembusan Vegetasi

Tidak Bisa (Model mengikuti kanopi)

Sangat Baik (Menembus celah daun)

Gunakan LiDAR untuk saluran di area hutan/kebun.

Akurasi Vertikal

2-3 x GSD (tergantung tekstur tanah)

5-10 cm (konsisten di berbagai medan)

LiDAR wajib untuk studi hidrolika presisi.

Visualisasi Aset

Sangat Jelas (seperti Google Earth HD)

Kurang Jelas (hanya titik warna/intensitas)

Fotogrametri wajib untuk inventarisasi kondisi fisik.

Biaya Akuisisi

Rendah

Tinggi

Gunakan kombinasi (Hybrid) untuk hasil terbaik.

3.2 Akurasi Geometris dan Kontrol Kualitas

Untuk menjamin data drone dapat digunakan dalam desain teknik (engineering grade), protokol survei harus mengikuti standar ketat.

1.    Pemasangan GCP: Meskipun drone modern memiliki GPS RTK on-board, pemasangan Ground Control Points (GCP) di tanah yang diukur menggunakan GNSS Geodetik tetap wajib dilakukan sebagai titik ikat dan uji akurasi. Untuk area irigasi memanjang (corridor mapping), GCP dipasang setiap interval 500-1000 meter di sepanjang saluran.15

2.    Uji Akurasi: Data hasil olahan harus divalidasi menggunakan Independent Check Points (ICP). Nilai Root Mean Square Error (RMSE) dari ICP menjadi indikator kualitas peta. Untuk skala 1:2.500 (kelas 1), toleransi RMSE vertikal adalah 0,25 meter. Studi menunjukkan drone mampu mencapai RMSEz 0,10 - 0,15 meter, yang berarti sangat layak untuk perencanaan irigasi.20

3.3 Visualisasi Kondisi Aset dengan OBIA

Salah satu keunggulan terbesar drone adalah kemampuannya menghasilkan citra resolusi ultra-tinggi yang memungkinkan analisis otomatis. Metode Object-Based Image Analysis (OBIA) dapat diterapkan pada ortofoto drone untuk mendeteksi objek secara otomatis. Algoritma komputer dilatih untuk mengenali pola visual saluran irigasi (bentuk memanjang, tekstur air/beton) dan membedakannya dari objek lain seperti jalan atau sungai.

Riset di D.I. Yogyakarta (Bendung Jonggrang) membuktikan bahwa integrasi data LiDAR dan fotogrametri dengan metode OBIA mampu mengidentifikasi saluran irigasi secara presisi. Di Sulawesi Tengah, metode ini dapat mempercepat proses delineasi jaringan irigasi yang rusak pascabencana, memisahkan secara otomatis antara saluran yang masih utuh, saluran yang tertimbun sedimen, dan saluran yang putus.

BAB IV Justifikasi Ekonomi dan Analisis Efisiensi

Dalam pengelolaan anggaran publik, setiap pengeluaran harus memiliki justifikasi nilai (value for money). Analisis ini membandingkan secara rinci struktur biaya antara metode konvensional dan metode drone.

4.1 Perbandingan Struktur Biaya (Cost Breakdown Structure)

Asumsi: Proyek Pemetaan Daerah Irigasi seluas 2.500 Hektare (Tipikal D.I. Kewenangan Provinsi).

Skenario A: Metode Terestris (Total Station & Waterpass)

Metode ini sangat padat karya dan memakan waktu lama karena pengukuran dilakukan titik demi titik dengan berjalan kaki menyusuri setiap pematang sawah dan tanggul saluran.

     Produktivitas: 1 Tim (4 orang) rata-rata hanya mampu mengukur detail situasi seluas 20-25 Ha per hari. Untuk 2.500 Ha, dibutuhkan 100-125 hari kerja efektif satu tim, atau 25 hari kerja jika mengerahkan 5 tim paralel.

     Biaya Personel: Komponen biaya terbesar. Honor surveyor, asisten, dan tenaga lokal perintis jalan untuk durasi panjang.

     Biaya Mobilisasi: Biaya transportasi dan akomodasi (penginapan/camp) untuk jumlah personel yang besar (misal 20 orang untuk 5 tim) selama hampir satu bulan.

     Risiko Pembengkakan: Semakin lama durasi di lapangan, semakin tinggi risiko non-productive days akibat cuaca (hujan) atau kendala sosial, yang tetap harus dibayar biaya standby-nya.

     Estimasi Biaya Pasar: Rp 1.000.000 - Rp 1.500.000 per Hektare. Total: Rp 2,5 Miliar - Rp 3,75 Miliar.21

Skenario B: Metode UAV (Lidar + Fotogrametri)

Metode ini padat teknologi. Satu unit drone Fixed Wing VTOL dapat mencakup 400-600 Ha dalam satu kali penerbangan (60-90 menit).

     Produktivitas: Untuk 2.500 Ha, akuisisi data udara dapat diselesaikan dalam 5-7 hari kerja oleh 1 Tim (3-4 orang: Pilot, Engineer GNSS, Driver).

     Biaya Personel: Sangat efisien karena jumlah personel sedikit dan durasi singkat. Honor personel memang lebih tinggi (spesialis), tetapi total man-days jauh lebih rendah.

     Biaya Peralatan: Komponen biaya terbesar bergeser ke sewa alat/depresiasi drone dan software license (Agisoft/TerraSolid).

     Estimasi Biaya Pasar: Rp 400.000 - Rp 600.000 per Hektare (Non-LiDAR) atau Rp 800.000 - Rp 1.000.000 (Full LiDAR). Total: Rp 1,0 Miliar - Rp 2,5 Miliar.21

Tabel 2. Analisis Penghematan Biaya dan Waktu

Komponen Biaya

Metode Terestris (Estimasi)

Metode Drone (Estimasi)

Penghematan / Efisiensi

Biaya Langsung Personil

Rp 1.500.000.000

Rp 200.000.000

86% (Signifikan)

Biaya Sewa Alat & Software

Rp 200.000.000

Rp 600.000.000

-200% (Investasi Teknologi)

Biaya Akomodasi & Transport

Rp 800.000.000

Rp 100.000.000

87% (Signifikan)

Total Estimasi Proyek

Rp 2.500.000.000

Rp 900.000.000

~64% Penghematan Anggaran

Durasi Pelaksanaan

3 - 4 Bulan

3 - 4 Minggu

400% Lebih Cepat

Catatan: Angka estimasi berdasarkan sintesis data pasar jasa survei dan disesuaikan dengan konteks logistik Sulawesi Tengah.

4.2 Nilai Manfaat Tak Berwujud (Intangible Benefits)

Selain penghematan uang tunai, terdapat manfaat kualitatif yang tak kalah penting:

1.    Akurasi Perhitungan Volume: Dalam proyek rehabilitasi saluran Gumbasa pasca-likuefaksi, akurasi perhitungan volume tanah galian/timbunan sangat vital. Selisih elevasi 10 cm pada area ribuan hektare dapat berarti selisih volume tanah ratusan ribu meter kubik. Drone memberikan data DTM kontinu yang meminimalkan interpolasi error, sehingga mencegah mark-up atau kekurangan volume saat konstruksi.

2.    Mitigasi Konflik Sosial: Peta ortofoto drone memiliki kekuatan komunikasi visual. Saat terjadi sengketa batas lahan sawah atau pembebasan lahan untuk saluran baru, ortofoto yang menampilkan patok batas, pohon, dan rumah secara jelas dapat menjadi bukti yang mudah dipahami oleh masyarakat, dibandingkan peta garis teknis yang abstrak. Ini mempercepat proses sosialisasi dan pembebasan lahan.

BAB V Studi Kasus dan Aplikasi Kontekstual di Sulawesi Tengah

Penerapan teknologi drone bukan sekadar teori, melainkan telah terbukti relevansinya melalui berbagai kasus nyata di lapangan, baik untuk rehabilitasi pascabencana maupun pemeliharaan rutin.

5.1 Manajemen Banjir dan Kerusakan Infrastruktur di D.I. Toili dan Moilong

Kabupaten Banggai merupakan lumbung padi Sulawesi Tengah dengan D.I. yang luas seperti Toili (Kiri/Kanan) dan Moilong. Wilayah ini sering dilanda banjir bandang yang merusak headworks (bendung) dan tanggul. Pada kejadian banjir Mei 2021, tanggul jebol di Toili menyebabkan 3.417 hektare sawah terdampak, dengan potensi kerugian produksi ribuan ton beras.

Aplikasi Drone untuk Rapid Assessment:

Dalam situasi banjir, akses jalan inspeksi seringkali terputus atau berlumpur tebal, menyulitkan tim UPT untuk mencapai titik kerusakan.

     Respon Cepat: Drone dapat diterbangkan dari jarak aman (hingga 5-7 km dari titik lepas landas) untuk segera memotret lokasi tanggul jebol.

     Kuantifikasi Kerusakan: Dari data foto udara, Dinas CIKASDA dapat segera menghitung panjang tanggul yang putus (misal: 35 meter) dan luas area genangan banjir. Data ini krusial untuk:

1.    Menghitung Rencana Anggaran Biaya (RAB) penanganan darurat (bronjong/geobag).

2.    Memvalidasi klaim luasan puso (gagal panen) untuk bantuan benih kepada petani.

3.    Melaporkan kondisi terkini ke pimpinan (Gubernur/Menteri) dengan bukti visual yang valid.

5.2 Inventarisasi Aset dan IKSI Rutin

Di luar konteks bencana, tugas rutin UPT adalah memantau kinerja sistem irigasi. Kasus di D.I. Bendung Bakung (Banggai) menunjukkan masalah sedimentasi yang kronis dan aktivitas ilegal seperti keramba ikan di saluran yang menghambat aliran.

Justifikasi Manajemen Aset:

Penggunaan drone mendukung penilaian Indeks Kinerja Sistem Irigasi (IKSI) yang lebih objektif.

     Parameter Sarana Fisik: Foto drone tegak lurus (nadir) memberikan pandangan jelas mengenai sedimentasi di kantong lumpur dan kerusakan pintu air.

     Parameter Produktivitas Tanam: Drone dengan sensor multispektral dapat menghitung indeks vegetasi (NDVI) untuk memetakan fase pertumbuhan padi di seluruh area layanan 1.500 Ha D.I. Bakung. Ini memberikan data real-time mengenai Intensitas Pertanaman (IP) dan memvalidasi apakah air irigasi benar-benar sampai ke petak tersier paling ujung (hilir).

     Integrasi Mosijagai: Hasil pemetaan ini diunggah ke aplikasi Mosijagai, menciptakan arsip digital sejarah pemeliharaan yang transparan.

6. Integrasi Sistem: E-PAKSI dan Mosijagai Irigasi

Keberhasilan pemetaan drone tidak berhenti pada akuisisi data, melainkan pada integrasinya ke dalam sistem informasi manajemen.

6.1 Dukungan terhadap E-PAKSI Nasional

Aplikasi e-PAKSI mensyaratkan data spasial dalam format Shapefile (.shp) atau GeoTIFF yang terstandarisasi. Proses konvensional seringkali hanya mengandalkan digitasi citra satelit Google Earth yang resolusinya rendah dan waktunya tidak update.

Workflow: Data drone (Ortofoto) diproses menjadi WMS Layer atau Tile Service yang kemudian

menjadi latar belakang (basemap) dalam digitasi aset di e-PAKSI.

Keunggulan: Dengan basemap drone yang up-to-date, posisi bangunan sadap, talang, dan jembatan

dapat diplot dengan akurasi tinggi. Atribut aset (dimensi, kondisi) diisi berdasarkan interpretasi visual

yang jelas, mengurangi kebutuhan kunjungan lapangan berulang kali.

6.2 Penguatan Inovasi Daerah "Mosijagai"

Aplikasi "Mosijagai Irigasi" milik Pemprov Sulteng bertujuan memudahkan pemantauan dan partisipasi publik.

     Transparansi Publik: Peta drone yang detail dapat dibuka aksesnya (sebagian) kepada publik atau P3A. Petani dapat melihat kondisi saluran di wilayahnya dan melaporkan kerusakan dengan menandai lokasi tepat di atas peta drone tersebut.

     Monitoring Rehab: Saat ada proyek rehabilitasi, drone diterbangkan pada kondisi 0% (sebelum kerja), 50%, dan 100%. Data ini diunggah ke Mosijagai sebagai instrumen pengawasan progres fisik proyek yang akuntabel, mencegah laporan fiktif kontraktor.

BAB VII Strategi Implementasi dan Mitigasi Risiko

Untuk mengimplementasikan teknologi ini secara efektif di Dinas CIKASDA Sulteng, diperlukan strategi yang matang.

7.1 Pengembangan Kapasitas SDM

Ketersediaan alat tanpa operator yang kompeten adalah investasi yang sia-sia.

Pelatihan & Sertifikasi: Diperlukan program pelatihan intensif bagi staf UPT dan Dinas mengenai operasional drone, keselamatan penerbangan, dan—yang terpenting—pengolahan data (fotogrametri). Sertifikasi pilot drone (SIDOPI) wajib dimiliki untuk mematuhi regulasi penerbangan sipil (CASR 107).23

Unit Khusus: Disarankan pembentukan Unit Survei dan Pemetaan di bawah Bidang Irigasi atau UPT, yang khusus menangani manajemen data spasial.

7.2 Manajemen Data (Big Data)

Satu proyek pemetaan 2.000 Ha dapat menghasilkan data mentah (foto) dan data olahan (ortho/DTM) berukuran ratusan Gigabyte.

     Infrastruktur IT: Pengadaan workstation komputer spesifikasi tinggi (GPU & RAM besar) dan server penyimpanan (Network Attached Storage - NAS) atau langganan cloud storage yang memadai.

     Manajemen Arsip: SOP penyimpanan data harus jelas, termasuk penamaan file, metadata, dan backup berkala untuk mencegah kehilangan data aset negara.

7.3 Tantangan Operasional Lapangan

Cuaca: Sulawesi Tengah memiliki curah hujan tinggi. Perencanaan misi penerbangan harus fleksibel dan memanfaatkan jendela cuaca cerah di pagi hari.

Keamanan: Di beberapa area terpencil, risiko keamanan terhadap alat dan personel perlu diantisipasi dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat atau aparat keamanan saat survei.

Regulasi KKOP: Untuk D.I. yang dekat dengan bandara (misal D.I. Gumbasa dekat Bandara Palu, atau D.I. di Luwuk), izin terbang harus dikoordinasikan ketat dengan AirNav untuk menjamin keselamatan penerbangan sipil.

BAB VII Kesimpulan dan Rekomendasi

8.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis komprehensif terhadap aspek teknis, regulasi, ekonomi, dan studi kasus, laporan ini menyimpulkan bahwa pemanfaatan teknik pemetaan menggunakan drone di Daerah Irigasi kewenangan Provinsi Sulawesi Tengah adalah langkah yang mutlak diperlukan, sangat efisien, dan memiliki justifikasi strategis yang kuat.

Teknologi ini menjawab tantangan spesifik pascabencana dengan menyediakan data presisi tinggi untuk rehabilitasi infrastruktur di tanah yang labil. Secara ekonomi, ia menawarkan efisiensi anggaran yang signifikan, memungkinkan realokasi dana untuk pembangunan fisik. Secara manajerial, ia menjadi enabler utama bagi modernisasi sistem informasi irigasi (e-PAKSI dan Mosijagai) menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

8.2 Rekomendasi Tindak Lanjut

Kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dan Dinas CIKASDA, direkomendasikan langkah-langkah berikut:

1.    Regulasi Internal: Menerbitkan Peraturan Gubernur atau Petunjuk Teknis (Juknis) tentang Standar Survei Pemetaan Irigasi Berbasis Drone, yang mewajibkan penggunaan teknologi ini dalam setiap kegiatan perencanaan dan inventarisasi aset.

2.    Investasi Bertahap: Mengalokasikan anggaran DPA untuk pengadaan unit drone (tipe Fixed Wing untuk pemetaan luas, dan Multirotor untuk inspeksi detail) serta perangkat lunak pengolah data secara bertahap namun konsisten.

3.    Prioritas Pemetaan: Menyusun peta jalan (roadmap) pemetaan, dengan prioritas utama pada D.I. strategis pangan (wilayah Banggai/Morowali), untuk diselesaikan dalam 1-2 tahun anggaran ke depan.

4.    Kolaborasi: Bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) dan akademisi untuk supervisi kualitas data, memastikan peta yang dihasilkan memenuhi standar nasional dan dapat diintegrasikan dalam Kebijakan Satu Peta.

Dengan langkah-langkah ini, infrastruktur irigasi di Sulawesi Tengah akan dikelola dengan basis data yang akurat, menjamin air terus mengalir untuk menyuburkan lahan pertanian dan menopang kedaulatan pangan daerah maupun nasional.

Komentar