Laporan Penelitian Komprehensif dan Dokumen Justifikasi Teknis Rehabilitasi Daerah Irigasi Gintu, Kabupaten Poso
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
| Bendung D.I Gintu by Pilot Drone Nawar Syarif |
Pembangunan infrastruktur sumber daya air merupakan pilar fundamental dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional dan kedaulatan ekonomi daerah. Dalam konteks Provinsi Sulawesi Tengah, sektor pertanian memegang peranan strategis sebagai penyumbang utama Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta penyerap tenaga kerja terbesar. Kabupaten Poso, dengan topografi yang beragam mulai dari pesisir hingga dataran tinggi, memiliki potensi agraris yang signifikan namun belum teroptimalisasi sepenuhnya akibat degradasi kinerja infrastruktur irigasi. Salah satu simpul krusial dalam jaringan pangan regional ini adalah Daerah Irigasi (DI) Gintu yang terletak di Kecamatan Lore Selatan, tepatnya di kawasan lembah dataran tinggi yang dikenal sebagai Lembah Bada.
Daerah Irigasi Gintu, dengan luas baku areal persawahan mencapai 1.136 Hektar, merupakan aset vital bagi ketahanan pangan lokal masyarakat Lore Selatan dan Kabupaten Poso secara umum. Kawasan ini, yang meliputi desa-desa sentra produksi seperti Gintu, Bulili, dan Bewa, secara historis merupakan lumbung padi yang mengandalkan kesuburan tanah vulkanik dan ketersediaan air dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Lariang. Namun, fenomena perubahan iklim global yang bermanifestasi pada anomali cuaca seperti El Nino, dipadukan dengan penurunan kondisi fisik infrastruktur jaringan irigasi yang telah dimakan usia, telah menyebabkan penurunan drastis pada keandalan layanan air irigasi.
Evaluasi kinerja sistem irigasi terkini menunjukkan bahwa DI Gintu berada pada status kinerja yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data Indeks Kinerja Sistem Irigasi (IKSI) tahun anggaran 2024, sistem ini hanya mencatatkan nilai kinerja sebesar 60,28%. Angka ini secara teknis mengklasifikasikan DI Gintu dalam kondisi "Kurang" dan mendekati ambang batas kritis yang memerlukan intervensi rehabilitasi berat. Implikasi dari rendahnya kinerja ini sangat nyata di lapangan: kegagalan panen yang berulang, penurunan Indeks Pertanaman (IP), dan ketidakmampuan air untuk menjangkau petak sawah fungsional meskipun debit sungai di sumber (intake) tersedia secara melimpah.
Kesenjangan antara potensi hidrologi DAS Lariang yang besar—dengan debit andalan segmen hulu mencapai 85,4 m³/detik —dan realitas kekeringan di lahan pertanian menunjuk pada satu kesimpulan teknis: adanya kegagalan fungsi pada bangunan utama (bendung/intake) dan inefisiensi parah pada jaringan saluran pembawa. Elevasi muka air di intake yang seringkali berada di bawah elevasi lahan sawah fungsional pada musim kemarau mengindikasikan degradasi dasar sungai atau desain intake yang tidak lagi kompatibel dengan morfologi sungai terkini.
Sebagai respons terhadap urgensi tersebut, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melalui Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air telah memasukkan rehabilitasi DI Gintu ke dalam rencana strategis prioritas dengan alokasi anggaran konstruksi fisik indikatif sebesar Rp 14.154.000.000,- dan anggaran perencanaan (SID) sebesar Rp 913.000.000,- untuk periode anggaran 2024-2025. Laporan ini disusun untuk memberikan justifikasi teknis yang mendalam, komprehensif, dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai kelayakan investasi tersebut, dengan meninjau aspek hidrologi, hidraulika, struktur, ekonomi teknik, serta dampak sosial-lingkungan.
1.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari penyusunan laporan ini adalah untuk menyajikan sebuah dokumen teknis yang komprehensif (feasibility study) sebagai landasan pengambilan keputusan dalam pelaksanaan program rehabilitasi DI Gintu.
Adapun tujuan spesifik dari penelitian dan justifikasi teknis ini adalah:
Evaluasi Kondisi Eksisting: Melakukan penilaian mendalam terhadap kinerja infrastruktur irigasi DI Gintu saat ini, mengidentifikasi titik-titik kerusakan kritis pada bangunan utama, saluran primer, sekunder, dan bangunan pelengkap berdasarkan standar IKSI.
Analisis Hidrologi dan Ketersediaan Air: Menghitung neraca air (water balance) dengan membandingkan ketersediaan debit andalan Sungai Lariang (segmen hulu) dengan kebutuhan air irigasi (Net Field Requirement) berdasarkan pola tanam optimal, guna memastikan jaminan pasokan air pasca-rehabilitasi.
Perumusan Desain Penanganan: Menyusun skenario penanganan teknis yang paling efektif untuk mengatasi masalah elevasi intake dan inefisiensi saluran, termasuk opsi perbaikan mercu bendung, pembangunan free intake baru, atau lining saluran.
Analisis Kelayakan Ekonomi: Menghitung kelayakan investasi proyek rehabilitasi senilai Rp 14,15 Miliar melalui pendekatan Cost-Benefit Analysis, dengan memproyeksikan peningkatan produktivitas padi dan stabilitas harga beras regional.
Strategi Implementasi: Menyusun kerangka waktu pelaksanaan fisik dan penguatan kelembagaan petani (P3A) untuk menjamin keberlanjutan fungsi infrastruktur.
1.3 Dasar Hukum dan Standar Teknis
Penyusunan justifikasi teknis ini mengacu pada kerangka regulasi dan standar teknis yang berlaku di Indonesia, antara lain:
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang mengamanatkan negara untuk menjamin hak rakyat atas air.
Peraturan Menteri PUPR Nomor 12/PRT/M/2015 tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi.
Peraturan Menteri PUPR Nomor 14/PRT/M/2015 tentang Kriteria dan Penetapan Status Daerah Irigasi, yang menegaskan kewenangan Pemerintah Provinsi untuk DI dengan luas 1.000 – 3.000 Ha.
Standar Perencanaan Irigasi (Kriteria Perencanaan/KP-01 hingga KP-07) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air.
Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Poso 2021-2026, yang menempatkan ketahanan pangan sebagai isu strategis.
1.4 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode campuran (mixed-method) yang menggabungkan analisis kuantitatif data sekunder dan analisis kualitatif kondisi lapangan.
Analisis Data Sekunder: Pengolahan data hidrologi curah hujan harian, data debit sungai dari pos duga air DAS Lariang, data topografi DEM/SRTM, serta data statistik pertanian dan infrastruktur dari BPS dan Dinas PU Poso.
Evaluasi Kinerja Aset: Menggunakan kerangka e-PAKSI (Elektronik Pengelolaan Aset dan Kinerja Sistem Irigasi) untuk memetakan kerusakan fisik.
- Simulasi Hidraulik: Menggunakan referensi model simulasi DSS-Ribasim untuk analisis alokasi air DAS Lariang.
2. Gambaran Umum Wilayah Studi
2.1 Kondisi Geografis dan Administrasi
Daerah Irigasi Gintu secara administratif terletak di Kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Wilayah ini dikenal dengan sebutan Lembah Bada, sebuah lembah intermontana (antar-pegunungan) yang datar dan luas, dikelilingi oleh pegunungan tinggi yang merupakan bagian dari rangkaian pegunungan tengah Sulawesi. Secara astronomis, wilayah ini berada pada koordinat yang strategis sebagai daerah tangkapan hujan (catchment area) bagi hulu Sungai Lariang.
Wilayah layanan irigasi mencakup beberapa desa utama, yaitu Desa Gintu (sebagai ibukota kecamatan), Desa Bulili, Desa Bewa, Desa Badangkaia, dan sekitarnya. Jarak wilayah ini cukup jauh dari ibukota kabupaten, sekitar 129 km, dengan aksesibilitas yang menantang melewati medan pegunungan. Isolasi geografis ini menjadikan kemandirian pangan lokal sangat krusial; ketergantungan pada pasokan beras dari luar wilayah (seperti dari Poso Pesisir atau Parigi Moutong) akan membebani masyarakat dengan biaya logistik yang tinggi, yang pada akhirnya memicu inflasi harga bahan pokok.
2.2 Topografi dan Geologi
Kecamatan Lore Selatan memiliki karakteristik topografi dataran tinggi dengan ketinggian rata-rata di atas 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Lanskap wilayah didominasi oleh dataran aluvial di dasar lembah yang dimanfaatkan sebagai lahan persawahan, dikelilingi oleh perbukitan terjal yang berfungsi sebagai hutan lindung dan penyangga tata air. Luas wilayah Kecamatan Lore Selatan tercatat sebesar 331,36 km².
Struktur geologi di Lembah Bada umumnya terdiri dari endapan aluvial kuarter yang subur, hasil pelapukan batuan vulkanik dan metamorf dari pegunungan sekitarnya. Jenis tanah didominasi oleh tanah latosol dan andosol yang memiliki fertilitas tinggi dan cocok untuk tanaman padi sawah serta hortikultura. Namun, tekstur tanah di beberapa segmen saluran irigasi memiliki sifat fisik yang rentan terhadap gerusan (scouring) dan longsoran tebing, terutama pada kondisi jenuh air. Hal ini menjelaskan mengapa banyak saluran irigasi tanah (non-teknis) di wilayah Poso mengalami kerusakan berat , dan menjustifikasi perlunya lining beton pada saluran primer dan sekunder DI Gintu.
2.3 Klimatologi
Sebagai wilayah tropis yang berada di zona konvergensi antar-tropik, Poso memiliki pola curah hujan yang dipengaruhi oleh angin muson. Namun, topografi Lembah Bada menciptakan iklim lokal (micro-climate) yang khas. Curah hujan di daerah tangkapan DAS Lariang tergolong tinggi, mencapai lebih dari 2.500 mm per tahun di beberapa stasiun pengamatan. Pola hujan ini umumnya bertipe ekuatorial dengan dua puncak hujan, namun anomali iklim seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) memiliki dampak signifikan.
Pada fase El Nino kuat, seperti yang terjadi pada tahun 2023, wilayah ini mengalami defisit curah hujan yang ekstrem. Kondisi ini memperparah kerentanan sistem irigasi yang hanya mengandalkan run-off sungai tanpa adanya waduk penyimpanan (storage dam). Ketergantungan pada debit sesaat (run-of-river) membuat DI Gintu sangat sensitif terhadap fluktuasi iklim; saat hujan berkurang, debit sungai turun, dan tanpa bendung yang memadai, air tidak dapat masuk ke intake.
2.4 Demografi dan Sosial Ekonomi
Masyarakat di Kecamatan Lore Selatan sangat agraris, dengan mayoritas penduduk menggantungkan mata pencaharian pada sektor pertanian tanaman pangan. Struktur sosial masyarakat sangat erat kaitannya dengan siklus tanam padi. "Panen raya" bukan sekadar peristiwa ekonomi, melainkan juga peristiwa budaya.
Kondisi ekonomi petani di wilayah ini sangat fluktuatif dan rentan terhadap guncangan eksternal. Harga beras di pasar lokal Poso sangat sensitif terhadap keberhasilan panen di sentra-sentra produksi seperti Gintu. Data pasar menunjukkan bahwa harga eceran beras dapat melonjak hingga Rp 13.000 per kg saat pasokan terganggu. Di sisi lain, petani sering terjebak dalam dilema harga gabah; saat panen raya harga jatuh, namun saat paceklik mereka harus membeli beras dengan harga tinggi. Rehabilitasi DI Gintu diharapkan dapat menstabilkan siklus produksi ini, memungkinkan petani untuk melakukan indeks pertanaman (IP) 200 atau bahkan 300, sehingga pasokan beras stabil sepanjang tahun.
3. Analisis Hidrologi dan Sumber Daya Air
3.1 Karakteristik DAS Lariang
Sumber air utama bagi Daerah Irigasi Gintu adalah sistem sungai di hulu DAS Lariang. DAS Lariang merupakan salah satu daerah aliran sungai terbesar dan paling kompleks di Sulawesi, melintasi batas administrasi Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat. Kompleksitas ini menuntut pengelolaan sumber daya air yang terpadu, namun juga memberikan keuntungan berupa baseflow (debit dasar) yang besar dan relatif stabil dibandingkan DAS-DAS kecil lainnya di Sulawesi.
Luas daerah tangkapan hujan (catchment area) di hulu intake Gintu meliputi area pegunungan yang luas dengan tutupan hutan yang masih relatif baik, termasuk sebagian kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Tutupan hutan ini berperan penting dalam fungsi hidrologis intersepsi dan infiltrasi, menjaga kontinuitas aliran sungai pada musim kemarau.
3.2 Analisis Ketersediaan Air (Water Availability)
Berdasarkan studi pola pengelolaan sumber daya air Wilayah Sungai (WS) Palu-Lariang yang menggunakan simulasi model DSS-Ribasim, potensi debit air permukaan Sungai Lariang sangat melimpah. Data debit rerata pada berbagai segmen sungai menunjukkan tren peningkatan debit yang konsisten dari hulu ke hilir:
Segmen Paato – Watutau (Hulu): 26,3 m³/detik.
Segmen Rompo – Doda: 79,1 m³/detik.
Segmen Gintu – Tuare: 85,4 m³/detik.
Angka 85,4 m³/detik pada segmen Gintu ini merupakan indikator hidrologis yang sangat positif. Untuk mengairi lahan sawah seluas 1.136 Ha, dengan asumsi kebutuhan air irigasi maksimum (pada fase penyiapan lahan) sebesar 1,5 hingga 2,0 liter/detik/hektar, total debit yang dibutuhkan di intake hanyalah sekitar 1,7 m³/detik hingga 2,3 m³/detik.
Analisis Neraca Air (Water Balance):
Supply (Q andalan 80%): Estimasi konservatif debit andalan pada musim kemarau, anggaplah 10% dari debit rerata, masih berada di kisaran 8,5 m³/detik.
Demand (Kebutuhan Irigasi): Maksimum 2,3 m³/detik.
Surplus: Terdapat surplus air yang sangat besar (> 6 m³/detik) bahkan pada kondisi kering sekalipun.
Paradoks Hidrologis: Fakta adanya surplus air yang masif ini bertolak belakang dengan laporan lapangan mengenai kekeringan dan gagal panen di DI Gintu. Paradoks ini mengonfirmasi bahwa permasalahan utama di DI Gintu bukanlah kelangkaan air meteorologis atau hidrologis (hydrological scarcity), melainkan kelangkaan air teknis/infrastruktur (infrastructural scarcity). Air tersedia di sungai, namun infrastruktur yang ada gagal menyadap dan mengalirkannya ke lahan pertanian.
3.3 Kualitas Air dan Sedimen
Meskipun data laboratorium spesifik kualitas air tidak tersaji, secara visual dan observasi lingkungan, air Sungai Lariang di segmen hulu (Lembah Bada) masih tergolong baik dan bebas dari pencemaran industri berat, sehingga memenuhi baku mutu air untuk irigasi pertanian. Isu utama terkait kualitas air adalah kandungan sedimen suspensi. Erosi lahan di daerah hulu akibat pembukaan lahan ladang berpindah dapat meningkatkan beban sedimen yang masuk ke intake. Tanpa kantong lumpur (sand trap) yang berfungsi baik, sedimen ini akan mengendap di saluran primer dan sekunder, mengurangi kapasitas penampang basah saluran dan menyebabkan pendangkalan, sebuah fenomena yang umum terjadi pada jaringan irigasi di Poso.
4. Evaluasi Kondisi Infrastruktur Irigasi Eksisting
4.1 Tinjauan Umum Sistem Jaringan
Daerah Irigasi Gintu didesain sebagai sistem irigasi teknis/semi-teknis yang terdiri dari bangunan utama (bendung tetap/free intake), saluran induk (primer), saluran sekunder, dan saluran tersier. Total luas baku yang dilayani adalah 1.136 Hektar.
Berdasarkan inventarisasi data infrastruktur irigasi Kabupaten Poso secara agregat, terdapat pola kerusakan yang sangat signifikan pada jaringan irigasi. Data menunjukkan bahwa panjang jaringan irigasi dalam kondisi "Rusak Berat" jauh mendominasi dibandingkan kondisi "Baik".
Total Panjang Saluran Primer Rusak Berat (Kab. Poso): 17.984 meter.
Total Panjang Saluran Sekunder Rusak Berat (Kab. Poso): 36.490 meter.
Total Panjang Saluran Non-Teknis Rusak Berat (Kab. Poso): 66.531 meter.
Kondisi DI Gintu mencerminkan statistik daerah tersebut. Infrastruktur yang dibangun puluhan tahun lalu kini mengalami degradasi material akibat usia, gerusan air, dan minimnya pemeliharaan berkala.
4.2 Analisis Kinerja Sistem Irigasi (IKSI)
Indeks Kinerja Sistem Irigasi (IKSI) merupakan parameter komposit yang menilai kesehatan suatu daerah irigasi berdasarkan enam kriteria utama sesuai Permen PUPR No. 12/2015: Prasarana Fisik, Produktivitas Tanam, Sarana Penunjang, Organisasi Personalia, Dokumentasi, dan P3A.
Untuk DI Gintu, nilai IKSI tahun 2024 tercatat sebesar 60,28%.
Interpretasi: Nilai 60,28% berada di zona "Kinerja Kurang" (Range 55-69%). Jika nilai ini turun di bawah 55%, sistem akan dianggap rusak berat/tidak berfungsi. Posisi DI Gintu saat ini sangat kritis dan berada di ambang kolaps fungsional.
Kontributor Penurunan Kinerja: Faktor dominan yang menurunkan nilai IKSI kemungkinan besar adalah aspek Prasarana Fisik (bobot terbesar 45%). Kerusakan pada bendung dan saluran menyebabkan efisiensi penyaluran air (conveyance efficiency) turun drastis, jauh di bawah standar teknis 90% untuk saluran primer dan 80% untuk sekunder.
4.3 Identifikasi Kerusakan Spesifik
Berdasarkan sintesis data lapangan dan laporan masyarakat, berikut adalah kerusakan spesifik yang teridentifikasi di DI Gintu:
Kegagalan Elevasi Intake: Masalah paling krusial adalah elevasi muka air di bangunan sadap (intake) yang lebih rendah dari elevasi lahan sawah, terutama saat debit sungai surut. Hal ini disebabkan oleh degradasi dasar sungai (riverbed degradation) atau kerusakan pada mercu bendung yang seharusnya berfungsi menaikkan elevasi muka air. Akibatnya, air tidak dapat masuk ke intake secara gravitasi (gravity flow), memaksa petani hanya mengandalkan air hujan atau pompa air yang mahal.
Kerusakan Saluran Pembawa (Primer & Sekunder):
Kebocoran (Seepage): Banyak segmen saluran yang mengalami keretakan pada lining beton atau bahkan belum di-lining (saluran tanah), menyebabkan kehilangan air yang besar akibat rembesan.
Sedimentasi: Pendangkalan saluran akibat endapan lumpur yang tidak dikeruk, mengurangi kapasitas debit.
Kerusakan Tanggul: Longsoran tebing saluran akibat gerusan air hujan dan instabilitas tanah, seringkali memutus aliran air total ke blok sawah tertentu.
Vegetasi Liar: Pertumbuhan tanaman liar dan akar pohon di dinding saluran merusak struktur pasangan batu/beton, mempercepat pelapukan.
Bangunan Bagi dan Sadap: Banyak pintu air (gates) yang macet, berkarat, atau hilang, sehingga pengaturan pembagian air (water management) tidak dapat dilakukan. Ini memicu ketidakadilan distribusi air: petani di hulu mengambil air berlebih, sementara petani di hilir (Desa Bewa/Bulili ujung) tidak kebagian air.
5. Analisis Kebutuhan Air dan Pola Tanam
5.1 Pola Tanam Eksisting dan Rencana
Saat ini, akibat keterbatasan air irigasi, pola tanam di DI Gintu cenderung tidak teratur dan oportunistik (mengikuti hujan). Indeks Pertanaman (IP) realisasi diperkirakan masih di bawah 150%.
Pola Tanam Eksisting: Padi - Bero - Bero atau Padi - Palawija - Bero.
Pola Tanam Rencana (Target): Padi - Padi - Palawija (IP 250 - 300).
Pemerintah Dinas Pertanian Kabupaten Poso mendorong diversifikasi tanaman (Padi, Palawija, Hortikultura) terutama saat menghadapi ancaman El Nino. Komoditas palawija seperti jagung dan ubi serta hortikultura seperti cabai memiliki Koefisien Tanaman (Kc) yang lebih rendah dibandingkan padi, sehingga lebih hemat air. Namun, padi tetap menjadi prioritas utama untuk ketahanan pangan (beras).
5.2 Perhitungan Kebutuhan Air Irigasi
Kebutuhan air irigasi (Irrigation Requirement/IR) dihitung berdasarkan Kebutuhan Air Bersih di Sawah (Net Field Requirement/NFR) dikurangi curah hujan efektif (Re), ditambah efisiensi irigasi.
Evapotranspirasi Potensial (ETo): Dihitung menggunakan metode Penman-Monteith dengan data klimatologi lokal (suhu, kelembaban, penyinaran matahari). Di dataran tinggi seperti Lembah Bada, ETo cenderung moderat.
Kebutuhan Air Penyiapan Lahan: Ini adalah fase kritis dengan kebutuhan air tertinggi (penggenangan). Tanpa irigasi teknis yang andal, fase ini sering tertunda menunggu hujan, yang mengacaukan jadwal tanam.
Efisiensi Irigasi:
Kondisi Eksisting: Efisiensi diperkirakan sangat rendah, mungkin < 50% akibat saluran rusak (banyak air hilang di perjalanan).
Target Pasca-Rehab: Efisiensi total sistem diharapkan mencapai 65-70% (Efisiensi Primer 90% x Sekunder 80% x Tersier 80%).
Dengan rehabilitasi, kehilangan air dapat ditekan, sehingga debit 2,3 m³/detik yang disadap dari Sungai Lariang dapat efektif mengairi 1.136 Ha sawah secara serentak.
6. Rencana Penanganan dan Justifikasi Teknis
Berdasarkan diagnosis permasalahan di atas, berikut adalah detail rencana penanganan teknis yang diusulkan dalam program rehabilitasi DI Gintu Tahun Anggaran 2025.
6.1 Lingkup Pekerjaan Rehabilitasi
Anggaran konstruksi sebesar Rp 14.154.000.000,- akan dialokasikan untuk komponen-komponen pekerjaan strategis berikut:
6.1.1 Perbaikan Bangunan Utama (Headworks)
Fokus utama adalah pemulihan elevasi muka air sadap.
Opsi Teknis 1 (Rehabilitasi Bendung): Jika struktur bendung eksisting masih kokoh secara struktural, dilakukan peninggian mercu bendung (weir crest raising) dan perbaikan sayap bendung serta kolam olak (stilling basin). Ini akan menaikkan elevasi muka air hulu agar bisa masuk ke intake.
Opsi Teknis 2 (Relokasi Intake): Jika bendung lama rusak berat atau lokasi sungai berpindah (meandering), perlu dibangun free intake baru di lokasi yang lebih hulu untuk mendapatkan head hidraulik yang cukup tanpa perlu membendung sungai secara penuh (biaya lebih efisien).
Pengerukan Sedimen: Normalisasi area di depan intake untuk menjamin aliran air tidak terhalang pulau sedimen.
6.1.2 Rehabilitasi Saluran Primer dan Sekunder
Alokasi anggaran terbesar akan terserap untuk pekerjaan saluran.
Lining Beton (Concrete Lining): Penggunaan beton K-175 atau K-225 untuk melapisi dinding dan dasar saluran primer sepanjang segmen kritis. Lining beton memiliki koefisien kekasaran (Manning's n) yang rendah (0,013-0,015) dibandingkan saluran tanah (0,025-0,030), sehingga memperlancar aliran air dan mencegah rembesan.
Perkuatan Tebing: Pemasangan pasangan batu kali atau bronjong pada tebing-tebing saluran yang rawan longsor.
6.1.3 Rehabilitasi Bangunan Bagi/Sadap
Penggantian pintu-pintu air (steel gates) yang rusak dengan pintu baru berbahan tahan korosi atau fiberglass reinforced plastic (moderenisasi irigasi).
Pemasangan mistar ukur debit pada bangunan ukur untuk memantau distribusi air secara kuantitatif.
6.1.4 Pekerjaan SID (Survey, Investigation, Design)
Sebelum konstruksi dimulai, anggaran Rp 913.000.000,- akan digunakan untuk jasa konsultansi SID. Output SID meliputi:
Pengukuran topografi terestris detail (Long Section & Cross Section) saluran.
Investigasi geoteknik (sondir/boring) di lokasi bangunan utama.
Analisis hidrologi pemutakhiran data debit banjir dan andalan.
Produk DED (Detailed Engineering Design) dan RAB yang presisi.
6.2 Justifikasi Teknis dan Urgensi
Mengapa proyek ini harus dilaksanakan sekarang?
Pencegahan Kegagalan Struktur Total: Nilai IKSI 60,28% adalah peringatan dini. Penundaan rehabilitasi 1-2 tahun lagi akan menyebabkan kerusakan eksponensial, di mana struktur yang retak akan runtuh total, meningkatkan biaya perbaikan menjadi berlipat ganda (rekonstruksi vs rehabilitasi).
Solusi Permanen untuk Gagal Panen: Bantuan sosial atau subsidi benih saat gagal panen hanya bersifat kuratif sementara. Rehabilitasi irigasi adalah solusi preventif permanen yang menyelesaikan akar masalah (ketersediaan air).
Adaptasi Perubahan Iklim: Infrastruktur yang baik meningkatkan resiliensi petani terhadap El Nino. Dengan saluran yang efisien, sedikit air pun dapat dimanfaatkan maksimal. Tanpa rehabilitasi, kerentanan pangan Poso terhadap perubahan iklim akan semakin parah.
7. Analisis Kelayakan Ekonomi dan Dampak Sosial
7.1 Analisis Manfaat Ekonomi (Cost-Benefit Analysis)
Investasi negara sebesar Rp 14,15 Miliar (Fisik) + Rp 0,9 Miliar (SID) = Rp 15,05 Miliar harus memberikan pengembalian ekonomi yang layak.
Simulasi Manfaat Langsung (Direct Tangible Benefit):
Luas Layanan: 1.136 Ha.
Peningkatan IP: Dari 100% (1x tanam/tahun) menjadi 200% (2x tanam/tahun).
Tambahan Luas Panen: 1.136 Ha/tahun.
Produktivitas Padi: Rata-rata 5 ton Gabah Kering Giling (GKG)/Ha.
Total Tambahan Produksi: 1.136 Ha x 5 ton/Ha = 5.680 ton GKG/tahun.
Nilai Ekonomi:
Harga Gabah (GKP/GKG) di tingkat petani saat ini cukup tinggi, berkisar Rp 6.000 - Rp 7.000/kg (asumsi konservatif).
Nilai Tambahan = 5.680.000 kg x Rp 6.000 = Rp 34.080.000.000,- (34 Miliar Rupiah) per tahun.
Analisis Payback Period: Dengan tambahan nilai produksi sebesar Rp 34 Miliar per tahun, biaya investasi Rp 15 Miliar dapat tertutup dalam waktu kurang dari 6 bulan (satu musim tanam).
Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio): Sangat tinggi (> 2,0).
Internal Rate of Return (IRR): Sangat tinggi. Secara ekonomi teknik, proyek ini sangat layak (highly feasible) dan sangat menguntungkan bagi ekonomi daerah.
7.2 Dampak Sosial dan Pengurangan Kemiskinan
Stabilitas Harga Beras: Dengan tambahan produksi 5.000+ ton gabah, pasokan beras di pasar Poso akan membanjir, menekan harga dari Rp 13.000/kg menjadi lebih terjangkau bagi konsumen umum.
Peningkatan Kesejahteraan Petani: Pendapatan petani akan meningkat dua kali lipat seiring dengan peningkatan intensitas tanam. Ini berdampak langsung pada daya beli masyarakat desa dan penurunan angka kemiskinan di Kecamatan Lore Selatan.
Reduksi Konflik: Air yang cukup dan terbagi merata melalui pintu air yang berfungsi akan menghilangkan gesekan sosial antar petani yang berebut air.
Pelestarian Budaya: Lembah Bada adalah kawasan situs megalitikum yang bernilai wisata. Lanskap persawahan yang hijau dan terawat merupakan bagian integral dari daya tarik wisata tersebut. Sistem irigasi yang baik mendukung pelestarian lanskap budaya ini.
8. Manajemen Risiko dan Mitigasi
Setiap proyek konstruksi memiliki risiko. Berikut adalah identifikasi risiko utama dan strategi mitigasinya:
Tabel 8.1: Matriks Risiko dan Mitigasi Proyek Rehabilitasi DI Gintu
9. Kesimpulan dan Rekomendasi
9.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis komprehensif terhadap aspek teknis, hidrologis, dan ekonomi, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Urgensi Rehabilitasi Mutlak: Daerah Irigasi Gintu saat ini berada dalam kondisi kritis (IKSI 60,28%) dengan kerusakan infrastruktur yang menyebabkan ketidakmampuan melayani target area 1.136 Ha, berdampak pada gagal panen dan instabilitas pangan regional.
Potensi Alam Mendukung: Sumber air Sungai Lariang memiliki debit yang sangat surplus (85,4 m³/detik) dibandingkan kebutuhan. Masalah utama adalah infrastruktur penyadapan (intake) dan distribusi, bukan ketersediaan air alamiah.
Investasi Sangat Menguntungkan: Biaya rehabilitasi Rp 14,15 Miliar memberikan manfaat ekonomi langsung senilai estimasi Rp 34 Miliar per tahun melalui peningkatan produktivitas padi. Proyek ini sangat layak secara ekonomi (economically viable).
Kesesuaian Strategis: Proyek ini sejalan dengan RPJMD Kabupaten Poso dan prioritas Provinsi Sulawesi Tengah dalam menjaga kedaulatan pangan dan pengendalian inflasi daerah.
9.2 Rekomendasi
Guna menjamin keberhasilan program rehabilitasi ini, direkomendasikan langkah-langkah tindak lanjut sebagai berikut:
Percepatan Dokumen SID: Dinas Cipta Karya dan SDA Provinsi Sulawesi Tengah agar segera menuntaskan dokumen SID dan DED Rehabilitasi DI Gintu dengan kualitas data yang akurat (terutama data topografi dan hidrologi terbaru).
Desain Intake Adaptif: Konsultan perencana disarankan untuk merancang bangunan intake yang adaptif terhadap fluktuasi dasar sungai, misalnya dengan teknologi bendung gerak atau intake dengan ambang yang dapat disesuaikan, serta dilengkapi kantong lumpur yang memadai.
Integrasi Hulu-Hilir: Pelaksanaan rehabilitasi irigasi sebaiknya disinkronkan dengan program perbaikan jalan akses Gintu-Bulili-Bewa untuk memastikan hasil panen yang melimpah nanti dapat didistribusikan dengan lancar ke pasar.
Revitalisasi P3A: Alokasi anggaran non-fisik untuk pembentukan dan pelatihan kembali kelompok P3A di Desa Gintu, Bulili, dan Bewa harus menjadi bagian tak terpisahkan dari paket proyek ini, guna menjamin keberlanjutan pemeliharaan jaringan tersier.
Monitoring Kualitas Konstruksi: Pengawasan ketat selama fase konstruksi fisik (2025-2026) mutlak diperlukan untuk memastikan spesifikasi beton dan pasangan batu sesuai standar, mengingat lokasi proyek yang jauh dan menantang.
Demikian laporan penelitian dan justifikasi teknis ini disusun. Diharapkan dokumen ini dapat menjadi acuan akademik dan teknis yang solid bagi para pengambil kebijakan dalam menyetujui dan mengawal pelaksanaan Rehabilitasi Daerah Irigasi Gintu demi kesejahteraan masyarakat Poso.
Poso, 2025
Tim Penyusun Kajian Teknis Sumber Daya Air
Komentar
Posting Komentar