Jalan Beton dan Tulangannya (Rigid Pavement)

Kelihatannya telah menjadi pemahaman umum, sebagaimana sering didengar bahwa yang namanya konstruksi yang memakai material beton adalah identik sama dengan struktur beton bertulang. Bahkan mahasiswa teknik sipilpun juga sering terkecoh tentang hal tersebut. Maklum, dalam kuliah struktur beton selalu diungkapkan bahwa beton hanya kuat terhadap gaya tekan dan tidak kuat terhadap tarik. Oleh karena itu agar dapat bekerja sebagai suatu balok dan kuat memikul lentur maka harus dipasang tulangan baja sebagai konsekuensinya.
Itu benar, karena yang dibahas dalam kuliah struktur beton adalah material beton sebagai komponen untuk struktur balok, struktur kolom atau slab (pondasi). Itu adalah materi struktur beton I dan II di UPH, adapun struktur beton III adalah beton prategang.
Pada mata kuliah struktur beton di UPH yang dipegang oleh Prof. Harianto Hardjasaputra bersama saya, maka dalam silabusnya tidak diajarkan tentang materi jalan beton. Padahal seperti diketahui bahwa jalan beton sekarang relatif cukup populer digunakan di jalan-jalan di ibukota maupun di daerah-daerah. Maklum, kesannya  jalan beton tersebut  lebih kuat, awet dan bebas perawatan.

Gambar 1. Jl. Raya Tajur, typical jalan beton di tanah air
(sumber foto :  My Setiawan Blog)
Alasan terakhir, yaitu bebas perawatan. Alasan itulah yang rasa-rasanya menjadi magnet mengapa jalan tipe tersebut menjadi banyak dipilih akhir-akhir ini. Padahal sebenarnya jika tipe jalan yang terdahulu, yaitu jalan aspal dibangun dengan baik, dilengkapai saluran drainasi yang mencukupi dan sebagainya , maka diyakini akan sama juga kekuatannya dalam memikul beban lalulintas yang ada, bahkan lebih enak (halus) dibanding jalan beton yang kadang jika pembuatannya asal-asalan maka akan sangat terasa adanya siar-siar dilatasi di antaranya.
Pemahaman tentang jalan beton terlihat belum dikenal luas, maklum seperti alasan di atas, di kuliah Struktur Beton yang mempunyai 7 SKS itupun, materi tersebut tidak dimasukkan di silabusnya (itu di UPH lho, mungkin saja di tempat lain diberikan). Mungkin saja materi jalan beton telah diberikan pada mata kuliah Perkerasan Jalan, tetapi mestinya fokusnya pada jalan dan bukan struktur betonnya. Oleh karena itu sangat wajar jika ada pernyataan seperti ini keluar dari pejabat yang tidak memahaminya.
Apalagi, tidak terlihat adanya ikatan besi yang menjadi tulang dari jalan beton. Padahal, di setiap bangunan beton yang patah akan terlihat susunan besi yang menjadi pengikat struktur beton secara keseluruhan.
”Jangan menyalahkan alam atas amblesnya jalan itu. Saya menduga, faktor kelalaian dalam desain atau proses pembangunan merupakan penyebab amblesnya Jalan RE Martadinata. Paling tidak, ada kelalaian dalam mengantisipasi risiko,” kata Sanusi yang pernah berprofesi sebagai kontraktor.
Sanusi meminta Kementerian PU mengevaluasi semua infrastruktur yang dibangun di Jakarta agar jangan mengalami kerusakan serupa.
(Sumber : Kompas Minggu, 19 September 2010)
Pernyataan anggota dewan yang pernah berprofesi sebagai kontraktor itu jika didengar oleh teman-teman dengan latar belakang pengetahuan sebagaimana diungkapkan di atas, pastilah akan di-amini. Apalagi awam yang mendengarnya. Akhirnya yang terjadi di masyarakat adalah opini bahwa kesalahan desain atau pelaksanaanlah yang menyebabkan amblesnya jalan R.E Mardinata tersebut.
Mungkin pendapat anggota dewan itu bisa benar, tetapi kalau melihat argumentasi yang mendukung pernyataannya bahwa “tidak terlihat adanya ikatan besi yang menjadi tulang dari jalan beton“. Maka rasa-rasanya pernyataannya itu masih terlalu dini, pernyataan itu terjadi karena latar belakang pemikirannya adalah struktur beton bertulang gedung tinggi dan bukannya  jalan beton. Bagaimanapun cara kerja keduanya adalah tidak sama, meskipun memakai bahan yang sama, yaitu beton.
Untuk itulah maka rasa-rasanya artikel tentang jalan beton dan tipe jalan yang lain perlu diungkapkan agar kita bersama mampu belajar sehingga bisa memberi pernyataan yang baik dan benar serta tidak membingungkan masyarakat awam.
Hal yang penting perlu dipahami, bahwa cara kerja struktur jalan beton adalah tidak sama dengan cara kerja konstruksi slab beton bertulang yang digunakan pada bangunan gedung. Meskipun sama-sama memakai material beton, sehingga awam yang melihatnya sepintas tidak ada perbedaan, tetapi tidak berarti bahwa cara desain maupun pelaksanaannya akan sama juga.
Pada perkerasan jalan dikenal dua macam konstruksi, yaitu [1] fleksibel pavement (aspal) dan [2] rigid pavement (beton). Pavement di sini adalah bagian dari konstruksi jalan yang langsung menerima beban kendaraan di atasnya, atau tepatnya lapisan permukaan. Jika demikian berarti ada yang namanya lapisan dalam dan lainnya, dalam hal ini adalah tanah atau batuan dibawahnya.
Gambar 2. Lapisan perkerasan jalan
Perhatikan Gambar 1 di atas, pavement di sini adalah Surface couse, adapun di bawahnya masih ada Base Course, juga ada Subbase dan baru tanah asli dibawahnya. Kesemuanya itu yang membentuk konstruksi jalan. Jadi meskipun Surface Course utuh, sebagaimana terlihat pada jalan RE Martadinata sebelum jebol, tetapi karena lapisan pendukung di bawahnya rusak (bisa karena abrasi atau juga hal yang lain) maka keseluruhan jalan akan menjadi rusak. Lihat jebolnya jalan RE Martadinata.
Dengan cara berpikir seperti itu, maka sebenarnya perkerasan jalan dengan aspal (fleksibel pavement) mempunyai kekuatan yang sama dibanding perkerasan jalan dengan beton, khususnya untuk memikul roda kendaraan yang berjalan. Kalau untuk kendaraan yang berhenti (parkir) atau di daerah yang sering terjadi pengereman seperti di pintu tol maka rigid pavement akan lebih baik.
Gambar 3. Typical konstruksi Rigid Pavement (Jalan Beton)
Sesuai dengan namanya, maka sebenarnya yang membedakan keduanya adalah karakteristik kerja keduanya sebagaimana diperlihatkan pada gambar berikut:
Gambar 4. Distribusi tegangan pada Rigid (kiri) dan Fleksibel (kanan)
Dengan distribusi tegangan yang lebih merata pada konstruksi rigid pavement maka hanya diperlukan sub-course yang relatif lebih tipis, dibanding konstruksi fleksibel pavement, yang mana distribusi tegangannya relatif lebih terpusat. Tetapi yang jelas, jika keduanya di desain dan dilaksanakan dengan baik untuk memikul suatu beban tertentu maka jelas hasilnya juga sama-sama baik.
Jadi kalaupun banyak jalan aspal yang rusak selama ini di Indonesia,maka itu disebabkan oleh lapisan dasarnya yang rusak terlebih dahulu, umumnya itu dikarenakan ada penetrasi air akibat tidak tersedianya saluran drainasi yang memadai pada jalan tersebut. Pengetahuan ini sebenarnya telah dipahami oleh banyak insinyur kita, tetapi dalam prakteknya, lihat saja jalan-jalan di Jakarta, ketika hujan lebat beberapa jam saja maka sudah dipastikan akan terjadi genangan air di jalan-jalan. Air itulah yang menyebabkan kekuatan tanah dibawah jalan menjadi lembek, ditambah beban berat diatasnya. Pastilah rusak itu jalannya. Maklum, implementasi teori dan praktek memang tidak gampang.
Jalan beton dari sisi perilaku strukturnya memang terlihat lebih bagus, tegangan yang timbul akibat beban yang sama relatif lebih kecil sehingga tidak diperlukan base-course yang tebal. Meskipun demikian, karena rigid maka pengaruh shrinkage (kembang susut) karena thermal menjadi dominan. Hal inilah yang menyebabkan dijumpai beberapa macam konstruksi jalan beton. Idenya ada dua, yaitu:
  • jika jalan beton dibuat kontinyu (pemakaianya nyaman) maka untuk mengantisipasi kembang-susut pada jalan tersebut harus dipasang tulangan baja sebagai tulangan susut. Meskipun jumlahnya relatif kecil, khususnya jika dibandingkan konstruksi slab pada bangunan gedung, tetapi penggunaan tulangan baja menyebabkan jalan beton ini menjadi mahal dan tentu saja pengerjaannya akan lebih kompleks. Ingat, ini konstruksi jalan, yang panjangnya relatif lebih panjang (besar) dibanding slab untuk kontruksi bangunan gedung.
  • jalan beton di sekat-sekat dengan siar dilatasi. Jadi jalan beton dibuat atau terdiri dari segment yang terpisah-terpisah. Dengan terpisah-terpisah ini maka resiko kerusakan akibat faktor kembang susut menjadi teratasi tanpa perlu memasang tulangan susut. Ini jelas akan lebih murah di banding sistem diatas. Masalah timbul, selain jalan ini menjadi tidak nyaman (perlu konstruksi khusus agar rata) tetapi juga ada masalah  jika terjadi beban di atasnya, tegangan di tanah pada pinggiran segement menjadi besar, berbeda dengan gambaran di atas. Untuk mengatasinya, agar segment sebelah dan sebelahnya juga dapat bekerja maka kedua segment yang berdekatan dipasangi dowel.
Untuk memberi gambaran tentang dua sistem pada rigid pavement itu maka akan disajikan detail konstruksinya sbb
Gambar 5. Rigid pavement menerus dengan tulangan
Perhatikan, tulangan pada konstruksi rigid pavement di atas diletakkan di tengah, bukan ditepi bawah atau atas dari slab. Ini tentu berbeda dibanding slab pondasi atau basement. Bagaimanapun tugas tulangan di atas adalah untuk mengantisipasi kembang susut dan bukannya penyebaran beban kendaraan di atasnya. Perhatikan juga gambaran crack yang kecil-kecil tetapi merata pada slab di atas. Crack itu terjadi akibat kembang susut lho, bukan akibat beban. Jadi jika ternyata tanah dibawahnya (base course) berkurang kekuatannya, mungkin karena memang kondisinya demikian, maka tentu saja jalan beton tersebut akan menjadi rusak. Lihat saja jalan tol ke Merak, meskipun sudah pakai jalan beton tetapi rusak juga, bahkan jalan beton itu kalau rusak lebih susah lho memperbaiknya dibanding jalan aspal. Jadi jangan berpikir jika sudah dibikin jalan beton lalu masalahnya menjadi hilang.
Selanjutnya ini tipe jalan beton yang boleh saja tidak memakai tulangan susut seperti diatas, tetapi agar tetap menyatu jika ada beban kendaraan di pinggir segment maka dipasangi dengan dowel.
Gambar 6. Rigid pavement tersegment dengan dowel.
Adanya segment-segment tersebut menyebabkan apabila pelaksanaannya tidak baik maka jika dilalui menjadi tidak nyaman. Oleh karena itu dikembangkan suatu konstruksi lain yang merupakan kombinasi ke dua cara di atas.
Gambar 7. Rigid pavement tersegment dengan tulangan dan dowel.
Konsep yang kombinasi mempunyai crack yang relatif sedikit, meskipun dalam hal ini dari segi ekonomis belum tentu diperoleh penghematan yang signifikan. Tetapi yang jelas dengan segment yang lebih panjang mestinya lebih nyaman, juga jika ada kerusakan base-course dibawahnya maka ada segment menyebabkan perbaikannya relatif lebih mudah.
Semoga pengetahuan tentang jalan beton di atas sedikit membuka wawasan kita tentang sesuatu sehingga  setiap komentar yang timbul menjadi bermutu.