Gelombang Laut

Gelombang adalah getaran yang merambat. Bentuk ideal dari suatu gelombang akan mengikuti gerak sinusoide. Selain radiasi elektromagnetik, dan mungkin radiasi gravitasional, yang bisa berjalan lewat vakum, gelombang juga terdapat pada medium (yang karena perubahan bentuk dapat menghasilkan gaya memulihkan yang lentur) di mana mereka dapat berjalan dan dapat memindahkan energi dari satu tempat kepada lain tanpa mengakibatkan partikel medium berpindah secara permanen; yaitu tidak ada perpindahan secara masal. Malahan, setiap titik khusus berosilasi di sekitar satu posisi tertentu.
Suatu medium disebut:
1.    linear jika gelombang yang berbeda di semua titik tertentu di medium bisa dijumlahkan,
2.    terbatas jika terbatas, selain itu disebut tak terbatas
3.    seragam jika ciri fisiknya tidak berubah pada titik yang berbeda
4.    isotropik jika ciri fisiknya “sama” pada arah yang berbeda
Gelombang laut telah menjadi perhatian utama dalam catatan sejarah. Aristoteles (384-322 SM) mengamati hubungan antara angin dan gelombang. Namun, sampai sekarang, pengetahuan tentang mekanisme pembentukan gelombang dan bagaimana gelombang berjalan di lautan masih belum sempurna. Ini sebagian karena pengamatan karakteristik  gelombang di laut sulit dilakukan dan sebagian karena model matematika tentang perilaku gelombang didasarkan pada dinamika fluida ideal, dan perairan laut tidak sepenuhnya ideal. Tujuan dari bab ini adalah gambaran secara garis besar aspek kualitas dari gelombang laut dan menyelidiki beberapa hubungan sederhana dari dimensi gelombang dan karakteristiknya. Dimulai dari penentuan dimensi gelombang laut yang ideal dan gambarannya dalam terminologi berikut.

Gambar 1. Profil vertical dari dua gelombang laut ideal, menunjukkan dimensi linier dan bentuk sinusoidalnya (Sumber: The Open University, 2004).
Tinggi gelombang (H) adalah perubahan tinggi secara vertikal antara puncak gelombang dan lembahnya. Tinggi gelombang adalah dua kalinya amplitudo gelombang (a). Panjang gelombang (L) adalah jarak antara dua rangkaian puncak gelombang (atau memalui 2 puncak berturut-turut). Kecuraman  idefinisikan sebagai pembagian tinggi gelombang dengan panjang gelombang (H/L) seperti terlihat dalam Gambar 1, kecuraman tidak sama dengan kemiringan/ slope antara puncak gelombang dan lembahnya.
Interval waktu antara dua puncak yang berurutan yang melalui suatu titik tetap disebut sebagai perioda (T), dan diukur dalam detik. Jumlah puncak (atau jumlah lembah) yang melewati suatu titik tetap tiap detik disebut frekuensi (f).
PENGERTIAN GELOMBANG
Gelombang merupakan kejadian yang biasa terjadi dalam kehidupan seharihari. Contohnya suara, gerakan tali gitar, riak-riak di kolam dan ombak di laut. Karakteristik gerakan gelombang :
(i)    Gelombang mentransfer gangguan dari satu bagian material ke bagian lainnya
(ii)    Gangguan tersebut dirambatkan melalui material tanpa gerakan dari material tersebut (gabus hanya naik dan turun diatas riak, tetapi mengalami sangat sedikit perubahan bentuk dalam perjalanannya dalam kolam)
(iii)    Gangguan tersebut dirambatkan tanpa ada perubahan dari bentuk gelombang ( riak menunjukkan sangat sedikit perubahan dalam perjalanannya dalam kolam)
(iv)    Gangguan-gangguan tersebut dirambatkan dengan kecepatan yang tetap.
Jika material sendiri tidak dipindahkan /ditranspor oleh perambatan gelombang kemudian apa yang akan dipindahkan? Jawabannya “energi”, merupakan definisi yang tepat dari gerakan gelombang – sebuah proses dimana energi ditransporkan/ disebarkan melalui material tanpa perpindahan yang signifikan dari material itu sendiri. Jadi jika energi, bukan material yang dipindahkan, bagaimana kejadian alami dari pengamatan pergerakan ketika riak menjalar dalam kolam?
Ada dua aspek yang harus diperhatikan : Pertama perkembangan gelombang (yang telah dicatat), dan kedua, pergerakan partikel air. Pengamatan efek riak pada gabus menunjukkan bahwa partikel air bergerak keatas dan kebawah, tetapi pengamatan yang lebih dekat lagi mengungkapkan bahwa kedalaman air lebih besar daripada tinggi riak. Gabus digambarkan hampir bulat dalam bidang vertikal, sejajar dengan arah pergerakan gelombang.. Dalam pengertian lebih umum lagi, partikel dipindahkan dari posisi seimbang dan kemudian kembali ke posisi tersebut. Selanjutnya partikel-partikel tersebut mengalami perubahan gaya dan pemulihan kembali. Gaya gaya ini biasanya digunakan untuk menggambarkan jenis-jenis gelombang.
Jenis-jenis Gelombang
Semua gelombang dapat dianggap sebagai gelombang berjalan, dimana energi bergerak melalui atau permukaan material.
Terdapat juga gelombang berdiri contohnya senar gitar, yaitu jumlah gelombang berjalan dengan dimensi yang sama, tetapi berjalan dalam arah yang berlawanan.
Gelombang yang berjalan melalui material disebut Gelombang Badan, contoh gelombang badan adalah gelombang seismik P & S dan gelombang suara. Tetapi perhatian kita dalam bab ini adalah gelombang permukaan. Gelombang permukaan yang paling familiar adalah yang terjadi dibatas antara dua badan fluida, contohnya gelombang dapat terjadi pada batas antara dua lapisan diperairan laut yang berbeda densitasnya. Karena batas tersebut adalah suatu permukaan sehingga disebut gelombang permukaan, tetapi para ahli oseanografi biasanya menyebutnya gelombang internal/dalam. Osilasi lebih mudah terbentuk pada batas dalam dari pada permukaan laut, karena perbedaan densitas antara dua lapis air lebih kecil daripada batas air dan udara. Karena itu hanya diperlukan sedikit energy untuk membangkitkan gelombang internal daripada gelombang permukaan dengan amplitudo yang sama. Gelombang internal berjalan lebih lambat daripada gelombang permukaan. Dan gelombang internal ini penting dalam proses percampuran vertikal dalam laut. Gelombang permukaan disebabkan oleh gaya-gaya dari gerakan relatif antara dua lapisan, sebagai contoh tiupan angin di laut, atau oleh gaya eksternal yang mengganggu fluida.
Contoh dari gaya-gaya internal adalah tetesan hujan di kolam, gempa bumi, gaya gravitasional dari matahari dan bulan.
Gelombang yang disebabkan oleh gaya periodik , seperti efek matahari dan bulan menyebabkan pasang surut, yang mempunyai perioda sama dengan gaya-gaya penyebabnya. Kebanyakan gelombang yang lain, merupakan hasil dari gangguan tak periodik. Partikel air dipindahkan dari posisi seimbang dan untuk mempertahankan ke posisi tersebut memerlukan gaya pemulih. Dalam kasus gelombang air, gerakan partikel hasil dari gaya pemulih bekerja pada suatu siklus gelombang memberikan gaya perpindahan bekerja untuk siklus
berikutnya.
Perpindahan dan pemulihan kembali memberikan karakteristik gerakan gelombang osilatori, dengan bentuk sederhana karakteristik sinusoidal (Gambar 1 dan 6), dan biasanya mengacu pada gerakan harmonic sederhana. Pada kasus gelombang permukaan ada dua gaya pemulih yang mempertahankan gelombang berjalan.
1. Gaya gravitasional bumi
2. Tegangan permukaan, dimana kecendrungan dari molekul air untuk menempel bersama dan mengahdirkan permukaan paling terkecil ke udara. Dalam kasus pada gelombang air, jika kulit elastik yang lembut direntangkan/ditarik melalui permukaan air.
Gelombang air yang diakibatkan oleh gaya-gaya ini dalam kasus gelombang dengan panjang gelombang kurang dari 1,7 cm, gaya yang utama adalah tegangan permukaan, yang dikenal sebagai gelombang kapiler. Gaya kapiler adalah penting dalam konteks remote sensing dilaut. Namun perhatian utama para ahli oseanografi adalah gelombang permukaan dengan panjang gelombang lebih besar dari 1,7 cm, dan gaya utamanya adalah gravitasi, karena itu disebut gelombang gravitasi. Gambar 2. menggambarkan beberapa jenis gelombang dan penyebabnya.
 
Gambar 2. Jenis-jenis gelombang permukaan, menunjukkan hubungan antara panjang gelombang, frekuensi, gaya perpindahan dan jumlah relative energy dari masing masing gelombang (Sumber: The Open University, 2004).
Tidak semua gelombang dipindahkan dalam bidang vertikal, karena atmosfer dan laut berada dalam rotasi bumi, variasi vortisitas planetary terhadap lintang menyebabkan defleksi atmosferik dan aurs laut, dan
memberikan gaya pemulih yang memberikan osilasi dalam bidang horizontal, sehingga arus barat /timur cenderung berbelok kembali dan terus pada lintang seimbang. Gelombang skala besar ini disebut sebagai
gelombang Rossby atau planetary, dan mungkin terjadi sebagai gelombang permukaan atau gelombang internal.
Gelombang Laut yang dibangkitkan oleh Angin
Pada tahun 1779, Benyamin franklin megatakan, “Udara yang bergerak yaitu angin, melewati permukaan yang halus, akan mengganggu permukaan, dan menjadikan permukaan tersebut bergelombang, jika angina bertiup terus, maka menjadi elemen gelombang”.
Dengan kata lain, jika dua lapisan fluida yang mempunyai perbedaan kecepatan bertemu, maka akan ada tegangan friksi diantara keduanya, maka akan ada transfer energi. Di permukaan laut, kebanyakan energi yang ditransfer merupakan hasil dari gelombang, namun dengan proporsi yang kecil merupakan hasil dari arus yang dibangkitkan oleh angin. Pada tahun 1925 Harold Jeffrey S. menganggap gelombang memperoleh energi dari angin karena perbedaan tekanan yang disebabkan efek dari puncak gelombang. (Gambar 3) Walaupun hipotesa dari Jeffrey gagal menjelaskan bentuk gelombang yang sangat kecil, tapi berlaku jika :
1. Kecepatan angin lebih besar dari kecepatan gelombang.
2. Kecepatan angin melebihi 1 m/s
3. Gelombang cukup curam untuk memberikan efek berlindung /naungan.
Secara empiris, dapat ditunjukkan bahwa efek naungan akan maksimum jika kecepatan angin diperkirakan tiga kalilebih besar dari kecepatan gelombang. Di laut yang terbuka, gelombang yang dibangkitkan oleh angina mempunyai kecuraman (H/L) sekitar 0,03 – 0,06. Secara umum, semakin besar perbedaan kecepatan dan gelombang, semakin curam gelombangnya. Namun seperti yang kita lihat kemudian, kecepatan gelombang di laut dalam tidak ada hubungannya dengan kecuraman gelombang, tetapi panjang gelombangnya, semakin besar panjang gelombang, semakin cepat gelombang berjalan.

Gambar 3. Model pembentukan gelombang Jeffrey (Sumber: The Open University, 2004)
Perhatian urutan kejadian jika, setelah cuaca tenang. Angin mulai bertiup, sampai bertiup kencang untuk beberapa waktu. Petumbuhan gelombang yang tidak signifikan terjadi jika kecepatan angin melebihi 1 m/s. kemudian gelombang curam yang kecil akan terbentuk dengan meningkatnya kecepatan angin. Bahkan sampai angin mencapai kecepatan yang konstan, gelombang terus tumbuh dengan kenaikan yang cepat sampai mencapai ukuran dan panjang gelombang (dan kemudian kecepatan) yang sebanding dengan 1/3 kecepatan angin. Dibawah posisi ini, gelombang terus meningkat ukurannya, panjang gelombang dan kecepatannya, tetapi dengan laju yang berkurang. Selanjutnya mungkin diharapkan gelombang tumbuh terus sampai kecepatan yang sama dengan kecepatan angin, namun dalam prakteknya pertumbuhan gelombang berhenti pada saat kecepatan gelombang masih dibawah kecepatan angin, hal ini karena :
1.    Beberapa energi angin ditransferkan ke permukaan laut melalui gaya tangensial, yang kemudian menghasilkan arus permukaan
2.    Beberapa energi angin didisipasikan/dikurangi oleh gesekan.
3.    Energi hilang dari gelombang lebih besar sebagai hasil dari While Chapping yaitu pecahnya puncak gelombang karena dibawa kedepan oleh angin yang lebih cepat dari perjalanan gelombang itu sendiri.
Banyak pengurangan/disipasi energi selama while Chapping dikonversikan menjadi momentum air,  memperkuat arus permukaan yang diawali oleh proses 1 diatas.
Tinggi Gelombang dan Kecuraman Gelombang
Tinggi gelombang dipengaruhi oleh komponen-komponen gelombang, yaitu perbedaan frekuensi dan amplitudo. Dalam teori, jika tinggi dan frekuensi gelombang diketahui, adalah sangat memungkinkan untuk memprediksi secara akurat tinggi dan frekuensi gelombang terbesar. Dalam prakteknya hal ini tidak mungkin. Gambar 4 menggambarkan kisaran tinggi gelombang yang terjadi dalam waktu yang pendek pada suatu lokasi – tidak ada pola yang jelas untuk variasi tinggi gelombang.

Gambar 4. Rekaman gelombang pada satu titik (Sumber: The Open University, 2004).
Untuk aplikasi penelitian gelombang, diharuskan memilih sebuah tinggi gelombang yang merupakan karakteristik dari kondisi laut. Yang digunakan oleh para ahli oseanografi adalah tinggi gelombang signifikan atau H1/3 , yaitu tinggi gelombang rata-rata dari 1/3 tinggi gelombang yang tertinggi dari semua gelombang yang terjadi dalam perioda waktu tertentu. Dalam pencatatan gelombang, terdapat juga tinnggi gelombang maksimum , Hmax . Prediksi Hmax untuk perioda waktu tertentu merupakan harga yang penting dalam desain bangunan seperti halangan banjir, instalasi pelabuhan, dan flatform pengeboran. Untuk membangun bangunan ini tingkat keselamatan yang tinggi seharusnya tidak mahal, tetapi dengan perkiraan Hmax yang salah dapat menyebabkan konsekuensi yang tragis. Namun perlu diperhatikan kejadian yang acak dari Hmax . Gelombang dengan Hmax (25 th) akan terjadi 1 kali setiap 25 tahun. Ini tidak berari gelombang tersebut otomatis terjadi dalam 25 tahun sekali mungkin dengan perioda waktu yang
lebih lama tidak terjadi gelombang tersebut. Jika kecepatan angin meningkat, maka H1/3 dalam fully  developed sea meningkat. Hubungan antara kondisi laut, H1/3 dan kecepatan angina dinyatakan oleh skala Beaufort (Gambar 5). Skala Beaufort dapat dipergunakan untuk memperkirakan kecepatan angin laut, tetapi hal ini hanya valid untuk gelombang yang dibangkitkan oleh sistem cuaca lokal, dan dengan asumsi ada cukup waktu untuk keberadaan fully develoved sea.
Tinggi gelombang absolut kurang penting untuk para pelaut dibandingkan kecuramannya (H/L). kebanyakan gelombang yang dibangkitkan oleh angin mempunyai kecuraman dalam orde 0,03 – 0,06. Gelombang yang lebih curam dari kisaran tersebut dapat menyebabkan masalah untuk kapal, tetapi untungnya kecuraman gelombang jarang melebihi 0,1. Secara umum kecuraman gelombang berkurang dengan meningkatnya panjang gelombang. Gelombang yang berombak pendek yang dibangkitkan dengan cepat oleh angin lokal yang keras biasanya tidak menyenangkan untuk kapal-kapal kecil karena gelombangnya curam walaupun tidak tinggi. Di laut terbuka gelombang yang sangat tinggi biasanya berjalan dengan sedikit gangguan karena panjang gelombang yang relatif panjang.
Gambar 5. Skala Beaufort

Sumber : http://staff.unila.ac.id

Makalah Permasalahan Abrasi Dan Solusinya



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak yang dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Seorang ahli perubahan iklim dari institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Armi Susandi (2011) menyatakan bahwa ia meramalkan pada 2050 nanti 24 persen wilayah Jakarta akan terendam air laut secara permanen.
Seperti diketahui, Indonesia sebagai negara kepulauan tentunya tidak lepas dengan garis pantai, Indonesia sendiri memiliki garis pantai terpanjang keempat di dunia setelah Kanada, Amerika Serikat dan Rusia, garis pantai Indonesia sendiri sepanjang 95.181 kilometer. Namun sebanyak 20 persen dari garis pantai di sepanjang wilayah Indonesia dilaporkan mengalami kerusakan, tentunya kerusakan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain perubahan lingkungan dan abrasi pantai.
Air laut tidak pernah diam. Air laut bergelombang di permukaannya, kadang-kadang besar kadang-kadang kecil, tergantung pada kecepatan angin dan kedalaman dasar lautnya. Semakin dalam dasar lautnya makin besar gelombangnya. Gelombang mempunyai kemampuan untuk mengikis pantai. Akibat pengikisan ini banyak pantai yang menjadi curam dan terjal. Tetapi kerusakan atau kerugian yang diakibatkan abrasi bisa diperkecil degan cara tetap menjaga kelestarian hutan mangrove di sekitar pantai.
Akan tetapi, kerusakan lingkungan pantai semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Hutan-hutan mangrove yang dulunya menghiasi pesisir pantai, kini telah dibabat habis oleh manusia karena keserakahannya untuk memperkaya diri dengan membangun sarana wisata dan rekreasi, seperti hotel dan lainnya. Dari total 9,4 juta hektare tanaman mangrove yang ada di Indonesia, sesuai dengan data Departemen Kehutanan RI pada 2006, sekitar 70 persennya rusak. 
Oleh karena itu, kasus yang sering kita jumpai belakangan ini adalah masalah abrasi pantai yang semakin parah akibatnya. Abrasi pantai ini terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Masalah ini harus segera diatasi karena dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi makhluk hidup, tidak terkecuali manusia.
Abrasi pantai tidak hanya membuat garis-garis pantai menjadi semakin sempit, tapi bila dibiarkan begitu saja akibatnya bisa menjadi lebih berbahaya. Seperti kita ketahui, negara kita Indonesia sangat terkenal dengan keindahan pantainya. Setiap tahun banyak wisatawan dari mancanegara berdatangan ke Indonesia untuk menikmati panorama pantainya yang sangat indah. Apabila pantai sudah mengalami abrasi, maka tidak akan ada lagi wisatawan yang datang untuk mengunjunginya. Hal ini tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi perekonomian di Indonesia karena secara otomatis devisa negara dari sektor pariwisata akan mengalami penurunan. Selain itu, sarana pariwisata seperti hotel, restoran, dan juga kafe-kafe yang terdapat di areal pantai juga akan mengalami kerusakan yang akan mengakibatkan kerugian material yang tidak sedikit. Demikian juga dengan pemukiman penduduk yang berada di areal pantai tersebut. Banyak penduduk yang akan kehilangan tempat tinggalnya akibat rumah mereka terkena dampak dari abrasi.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa dampak dari abrasi sangat berbahaya. Untuk itu penulis akan mencoba menjelaskan lebih lanjut mengenai apa itu abrasi, penyebab abrasi, dan bagaimana solusi untuk menanggulanginya.

1.2  Pembatasan Masalah
Adapun berdasarkan dari latar belakang di atas dapat disimpulkan:
1.      Apa saja yang menyebabkan terjadinya abrasi?
2.      Apa dampak abrasi terhadap kehidupan?
3.      Bagaimana upaya untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan abrasi?



1.3  Tujuan Penelitian
Melalui karya tulis ini, pembaca diharapkan dapat:
      1.      Mengetahui penyebab abrasi.
      2.      Mengetahui dampak-dampak abrasi terhadap kehidupan.  
    3.  Mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ataupun menghambat kerusakan yang ditimbulkan abrasi.

1.4  Maksud Penelitian
Karya tulis ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak antara lain:
1.    Tenaga pendidik, dapat digunakan sebagai bahan ajar mereka untuk mendidik anak-anak bangsa dan menambah pengetahuan pribadi.
2.    Pelajar, dapat digunakan sebagai bahan belajar, menyelesaikan tugas, dan menanamkan pemikiran untuk lebih mencintai lingkungan.
3.    Masyarakat, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan dan turut berperan serta untuk mencegahnya dari kerusakan.
4.    Pemerintah, supaya rencana kegiatan untuk menjaga lingkungan lebih direalisasikan dan lebih peduli lagi terhadap keadaan wilayah di Indonesia khususnya daerah pesisir.
5.    Para pengusaha, memperhatikan lingkungan di sekitar ketika melakukan penambangan serta tidak membuang limbah atau sampah ke laut.











BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Penyebab Abrasi
Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut.
Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami, namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi. Abrasi disebabkan oleh naiknya permukaan air laut di seluruh dunia karena mencairnya lapisan es di daerah kutub bumi. Mencairnya lapisan es ini merupakan dampak dari pemanasan global yang terjadi belakangan ini. Seperti yang kita ketahui, pemanasan global terjadi karena gas-gas COyang berasal dari asap pabrik maupun dari gas buangan kendaraan bermotor menghalangi keluarnya gelombang panas dari matahari yang dipantulkan oleh bumi sehingga panas tersebut akan tetap terperangkap di dalam atmosfer bumi dan mengakibatkan suhu di permukaan bumi meningkat. Suhu di kutub juga akan meningkat dan membuat es di kutub mencair, air lelehan es itu mengakibatkan permukaan air di seluruh dunia akan mengalami peningkatan dan akan menggerus daerah yang permukaannya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya abrasi sangat erat kaitannya dengan pencemaran lingkungan.
Masih banyak daerah yang mengalami abrasi dengan tingkat yang tergolong parah. Apabila hal ini tidak ditindaklanjuti secara serius, maka dikhawatirkan dalam waktu yang tidak lama beberapa pulau yang permukaannya rendah akan tenggelam”.

Abrasi pantai diakibatkan oleh dua faktor utama yang disebabkan oleh aktivitas manusia, yaitu:
1.     Peningkatan permukaan air laut yang diakibatkan oleh mencairnya es di daerah kutub sebagai akibat pemanasan global.
2.     Hilangnya vegetasi mangrove (hutan bakau) di pesisir pantai. Sebagaimana diketahui, akar-akar mangrove yang ditanam di pinggiran pantai mampu menahan ombak sehingga menghambat terjadinya pengikisan pantai. Sayangnya, hutan bakau ini banyak yang telah dirusak oleh manusia melalui proses penebangan. Kerapatan pohon yang rendah pada pesisir pantai memperbesar peluang terjadinya abrasi.
3.     Penambangan pasir sangat berperan banyak terhadap abrasi pantai, baik di daerah tempat penambangan pasir maupun di daerah sekitarnya karena terkurasnya pasir laut akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan dan arah arus laut yang menghantam pantai.
4.     Perusakan karang pantai juga merupakan salah satu penyebabnya karena penggalian karang menyebabkan pertambahan kedalaman perairan dangkal yang semula berfungsi meredam energi gelombang, akibatnya gelombang sampai ke pantai dengan energi yang cukup besar.
5.     Pendirian bangunan yang melewati garis pantai sehingga pasir atau tanah di sekitar pantai menjadi tidak kuat.
Selain itu dapat juga diakibatkan oleh faktor alam, seperti:
a.    Angin yang bertiup di atas lautan yang menimbulkan gelombang dan arus laut sehingga mempunyai kekuatan untuk mengikis daerah pantai. Gelombang yang tiba di pantai dapat menggetarkan tanah atau batuan yang lama kelamaan akan terlepas dari daratan.
b.    Selain itu, tsunami juga merupakan salah satu faktor. Rusaknya bibir pantai di perairan Indonesia akibat abrasi itu tidak terlepas dari geologi, kekuatan ombak laut serta pusaran angin.
c.    Proses fragmentasi sedimen juga merupakan penyebab abrasi karena butiran pasir atau sedimen kasar lambat laun akan mengalami proses fragmentasi menjadi butiran halus yang lebih mudah terbawa oleh arus dan ombak”.

Jadi, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa abrasi disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu faktor alam dan faktor buatan di mana manusialah yang paling mempengaruhi terjadinya abrasi ini melalui berbagai aktivitas khususnya pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan untuk mencari keuntungan pribadi.

2.2  Dampak Abrasi terhadap Kehidupan
2.2.1 Dampak Abrasi
 Menurut Muhammad Arsyad (2012) menyatakan: “abrasi tentu sangat berdampak terhadap kehidupan. Pada umumnya abrasi lebih banyak memiliki dampak negatif dibandingkan dampak positif. Dampak negatif yang dihasilkan dari abrasi juga sangat merugikan lingkungan khususnya manusia. Berikut ini akan dipaparkan bukti-bukti kerugian yang diakibatkan abrasi.
a)    Air laut tidak pernah diam. Air laut bergelombang di permukaannya, kadang-kadang besar kadang-kadang kecil, tergantung pada kecepatan angin dan kedalaman dasar lautnya. Semakin dalam dasar lautnya makin besar gelombangnya. Gelombang mempunyai kemampuan untuk mengikis pantai. Akibat pengikisan ini banyak pantai yang menjadi curam dan terjal.
b)   Penyusutan lebar pantai sehingga menyempitnya lahan bagi penduduk yang tinggal di pinggir pantai.
c)    Kerusakan hutan bakau di sepanjang pantai karena terpaan ombak yang didorong angin kencang begitu besar.
d)   Kehilangan tempat berkumpulnya ikan-ikan perairan pantai karena terkikisnya hutan bakau.
e)    Apabila pantai sudah mengalami abrasi, maka tidak akan ada lagi wisatawan yang datang untuk mengunjunginya. Hal ini tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi perekonomian di Indonesia karena secara otomatis devisa negara dari sektor pariwisata akan mengalami penurunan. Selain itu, sarana pariwisata seperti hotel, restoran, dan juga kafe-kafe yang terdapat di areal pantai juga akan mengalami kerusakan yang akan mengakibatkan kerugian material yang tidak sedikit.
f)    Pemukiman penduduk yang berada di areal pantai akan kehilangan tempat tinggalnya akibat rumah mereka terkena dampak dari abrasi.
g)   Kemungkinan dalam beberapa tahun ke depan luas pulau-pulau di Indonesia banyak yang akan berkurang dan banyak pulau yang akan tenggelam.
h)   Dalam beberapa tahun terakhir garis pantai di beberapa daerah di Indonesia mengalami penyempitan yang cukup memprihatinkan. Di beberapa daerah abrasi pantai dinilai belum pada kondisi yang membahayakan keselamatan warga setempat, namun bila hal itu dibiarkan berlangsung, dikhawatirkan dapat menghambat pengembangan potensi kelautan di daerah tersebut secara keseluruhan, baik pengembangan hasil produksi perikanan maupun pemanfaatan sumber daya kelautan lainnya.
i)     Pantai yang indah dan menjadi tujuan wisata menjadi rusak. Pemukiman warga dan tambak tergerus hingga menjadi laut. Tidak sedikit warga di pesisir pantai yang telah direlokasi gara-gara abrasi pantai ini”.

Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa abrasi sangat berdampak terhadap kehidupan. Dibandingkan dengan dampak positif, abrasi lebih banyak dampak negatif yang mana dampak negatif ini sangat merugikan manusia, lingkungan, dan aktivitas manusia itu sendiri. Tidak hanya itu, wilayah negara kita, Indonesia juga semakin menyempit. Ironisnya, semua dampak ini sebagian besar disebabkan oleh manusia.

2.2.2   Kasus-Kasus Merugikan oleh Abrasi
Berikut ini akan dipaparkan daerah-daerah yang mengalami kerusakan dan penyempitan lingkungan karena abrasi.
1.  Abrasi Pantai Pamekasan di Madura
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Syamsul Muarif (2009) menyatakan:

“Abrasi pantai di Pamekasan terparah di Madura dibanding pantai pesisir di tiga kabupaten lain di wilayah tersebut. Kondisi semacam itu dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat dalam berupaya menciptakan lingkungan pesisir kondusif dan ramah lingkungan.
Parahnya kerusahan pantai di Pamekasan ini tidak hanya diketahui pemerintah pusat, akan tetapi masyarakat internasional. Hal ini cukup menyedot perhatian masyarakat internasional sehingga mereka pun mengirimkan bantuan untuk Indonesia. Sebagai contoh adanya bantuan 700 hektar tanaman mangrove dari warga Jepang untuk Indonesia di mana 20 persennya untuk wilayah Pamekasan”.

2.  Abrasi Pantai Batukaras mencapai lebar 10 meter
Menurut Kepala Desa Batukaras, Abdul Karim (2013) menyatakan: “Pantai Batukaras yang berada di Desa Batukaras, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran mengalami abrasi. Pengikisan pantai mencapai sepanjang empat kilometer. Peristiwa tersebut merupakan yang terparah diakui masyarakat setempat karena lebar pengikisan pantai mencapai 10 meter.
Kejadian tersebut hampir terjadi setiap lima tahun sekali namun, sepengetahuan dirinya ini merupakan yang terparah. Penyebab dari terjadinya abrasi adalah curah hujan yang tinggi dan hembusan angin kencang. Tidak hanya bibir pantai yang tergerus, pohon kelapa pun juga banyak yang tumbang karena abrasi”.

3. Abrasi rusak 40 persen pantai di Indonesia
Menurut Alam Endah (2009) berpendapat: “abrasi pantai di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Sedikitnya 40 persen dari 81 ribu km pantai di Indonesia rusak akibat abrasi. Dalam beberapa tahun terakhir garis pantai di beberapa daerah di Indonesia mengalami penyempitan yang cukup memprihatinkan. Abrasi yang terjadi mampu menenggelamkan daratan antara 2 hingga 10 meter per tahun.
Apabila tidak diatasi, lama kelamaan daerah-daerah yang permukaannya rendah akan tenggelam. Pantai yang indah dan menjadi tujuan wisata menjadi rusak. Pemukiman warga dan tambak tergerus hingga menjadi laut. Tidak sedikit warga di pesisir pantai yang telah direlokasi gara-gara abrasi pantai ini. Abrasi pantai juga berpotensi menenggelamkan beberapa pulau kecil di perairan Indonesia”.

4. Abrasi ancam keasrian pantai di Bali
Menurut Eddy Lee (2013) menyatakan: “Pulau Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia terkenal memiliki keindahan alam yang tersebar mulai daerah pegunungan hingga kawasan pantai. Namun belakangan ini kondisi pantai-pantai di pulau Bali mengalami abrasi yang cukup parah. Abrasi yang tersebar di seluruh kawasan pantai di pulau Bali telah mengakibatkan kerusakan terhadap berbagai hak milik dan prasarana umum seperti: areal pertanian, kebun, pemukiman penduduk, jalan, tempat-tempat ibadah (pura), dan resort pariwisata.
Abrasi yang terjadi di Pantai Kuta sejak tahun 2000 akibat terjangan ombak laut makin lama makin parah hingga kini mengingat ombak yang disertai angin kencang terus meliputi Pantai Kuta. Hal itu bertambah parah karena pantai kian hari makin tergerus air laut bahkan air laut sempat mencapai jalan raya sehingga jalanan dipenuhi oleh pasir”.

Menurut salah satu majalah di Kepulauan Riau, Haluan Kepri (2013) menyatakan: “akibat terjadinya abrasi dan banyaknya penambangan bauksit di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri mengakibatkan sejumlah pulau rawan tenggelam. Salah satunya Pulau Sentut yang merupakan pulau terluar Indonesia yang terletak di perairan Laut Cina Selatan atau perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
Pulau ini berada di sebelah timur dari Pulau Bintan dengan koordinat 1°2'52” LU, 104°49’50” BT yang terletak di titik koordinat 1°, masuk Kecamatan Gunung Kijang desa Malang Rapat, Bintan.
Pulau Sentut luasnya tidak sampai 2 hektar dan hanya berupa pasir. Saat ini luas dan ketinggian pulau berkurang akibat abrasi dan penambangan bauksit berapa bulan lalu. Dikatakan sebelumnya Pulau Sentut pernah ditambang oleh PT. Gunung Sion yang berlangsung hanya beberapa bulan saja dan perusahaan tersebut saat ini telah pindah di pulau lainnya. Disekitar wilayah Bintan juga ada dua pulau yang terancam tenggelam karena abrasi dan penambangan tersebut.
Begitu pula dengan Pulau Tembora yang terancam tenggelam akibat penambangan bauksit. Warga khawatir luas pulau berkurang dan tenggelam akibat penambangan ini. Pulau Ngalih juga disasar sebagai lokasi pertambangan.  Padahal, pulaunya kurang dari 80 hektar itu termasuk pulau kecil yang dilarang untuk penambangan di Kecamatan Mantang.
Sedikitnya enam pulau di pesisir barat dan selatan hampir tenggelam. Lebih dari separuh pulau-pulau itu terendam air laut. Sisanya berupa daratan dengan pasir. Garis terluar pulau-pulau itu masih terlihat. Namun, garis terluar ada di bawah air. Jika tidak tenggelam, luas asli pulau jauh lebih besar dari kondisi saat ini”.

6.     Selama dua tahun 24 pulau kecil di Indonesia tenggelam
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) (2007) mengungkapkan: “hanya dalam waktu dua tahun dari 2005 hingga 2007 sedikitnya 24 pulau kecil di wilayah Indonesia telah tenggelam”.

Selain itu menurut Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) DKP, Alex S.W. Retraubun (2007) menyatakan:

“24 pulau yang dinyatakan hilang itu merupakan kawasan yang sudah teridentifikasi dan telah memiliki nama. Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut akibat abrasi air laut diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial. Selain itu, bencana tsunami Aceh 2004 juga berdampak menenggelamkan tiga pulau kecil setempat.
Sebanyak 24 pulau yang tenggelam itu antara lain tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), tiga pulau di Sumatera Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta. Sebanyak 13 pulau atau 54,1 persen diantaranya tenggelam akibat abrasi. Sementara, delapan lainnya karena kegiatan penambangan dan sisanya akibat dampak tsunami Aceh yang terjadi tiga tahun lalu.
Dua puluh empat pulau yang tenggelam tersebut yakni Sanjai, Karang Linon Besar dan Karang Linon Kecil di NAD, Pulau Pusung, Lawandra, Niankin (Sumatera Utara), Pulau Kikis dan Sijaujau (Sumatera Barat). Di Kepulauan Riau, yakni Pulau Terumbu Daun, Lereh, Tikus, Inggit, dan Begonjai akibat penambangan pasir dan abrasi, sementara di Jakarta yakni Pulau Ubi Besar, Ubi Kecil dan Nirwana karena tambang untuk bandara. Selain itu juga Pulau Dapur, Payung Kecil, Air Kecil dan Nyamuk Kecil karena abrasi, sedangkan di Sulawesi Selatan yakni Pulau Laut, sementara tiga pulau di Papua yakni Mioswekel, Urbinasi dan Klakepo. 
Pulau-pulau itu merupakan dataran landai yang hanya berketinggian sekitar satu meter di atas permukaan laut sehingga rentan terkena abrasi yang menyebabkan daratannya terkikis air laut. Kekhawatiran akan tingkat kehilangan fisik kawasan pulau-pulau kecil bakal semakin masif dan besar menyusul fenomena pemanasan global yang menaikkan permukaan air laut hampir satu meter sampai akhir abad ini. Selain menenggelamkan pulau kecil, fenomena pemanasan global juga memperluas kerusakan terumbu karang”.

7. Pulau Putri Batam terancam tenggelam akibat abrasi
Menurut Antara News (2013) mengabarkan: “Pulau Puteri yang terletak pada bagian utara Kota Batam terancam tenggelam akibat terkikis abrasi laut sehingga  luasnya terus berkurang. Pulau terdepan yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia itu, sebelumnya masih ditumbuhi pohon-pohon, namun selama gelombang tinggi pohon itu habis digerus ombak. Saat musim angin utara Pulau Puteri luasnya makin menyempit yang bisa ditempuh selama lima menit dengan perahu mesin kecil namun, akibat abrasi dan banyaknya pencemaran minyak saat musim utara sehingga bakau dan tumbuhan penahan gelombang lainnya mati sehingga mengakibatkan luasnya terus menyusut.
Akibat pencemaran yang terjadi upaya penanaman bakau yang dilakukan tidak membuahkan hasil. Semua mati karena limbah minyak”.

Sebelumnya, ahli kelautan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri, Dr Ediwan (2013) mengungkapkan:

“Ekosistem laut di Kepri semakin mengkhawatirkan akibat maraknya pencemaran laut terutama dari limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Ada banyak faktor mengapa laut Kepri kian kritis. Ini akibat maraknya pembuangan limbah baik dari kapal asing yang melintas. Jika ini terus terjadi maka cepat atau lambat, habitat laut di Kepri akan punah. Ada tiga ekosistem laut terancam punah yaitu karang, pasir dan mangrove atau bakau bila terkena limbah. Tumbuhan tidak akan bisa hidup sementara ekosistem laut lain akan pergi.
Jika hewan karang yang biasa menempel di karang merasa tidak nyaman, maka akan pergi akibatnya karang rapuh dan tidak akan mampu menopang ekosistem laut lainnya. Limpahan limbah yang terjadi di laut diakibatkan oleh berbagai aktivitas, baik industri, alat transportasi seperti kapal dan tanker, maupun aktivitas penduduk. Rata-rata limbah industri mengalir bebas ke laut”.

8. Kerusakan Pantai Muarareja di utara Kota Tegal, Jawa Tengah
Menurut Lilis Sofiana (2009) menyatakan: “kerusakan yang terjadi di Pantai Muarareja adalah pengikisan (abrasi) daratan di pinggir pantai yang disebabkan besarnya terjangan gelambang air laut dan adanya luapan air laut (rob) di daerah tersebut. Kerusakan ini terjadi akibat ulah tangan manusia yang merusak sarana dan prasarana umum di sekitar kawasan tersebut dengan menebang pohon bakau yang berfungsi sebagai penangkal arus air laut.
Abrasi yang terjadi di Pantai Muarareja menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal setelah dusun mereka tenggelam akibat abrasi. Kondisi tersebut diperparah dengan tingginya gelombang pada saat musim penghujan. Dalam beberapa bulan terakhir garis pantai ke arah laut sepanjang 7,5 kilometer terkikis 20 meter dari bibir pantai. Lebar daratan pantai yang dulu mencapai 200 meter saat ini hanya tersisa 20 meter. Bahkan, sebagian daratan berupa tambak penduduk sudah berbatasan langsung dengan air laut.
Abrasi di Pantai Muarareja sudah terjadi selama puluhan tahun. Abrasi telah mengikis daratan di pinggir pantai sepanjang sekitar 50 meter dan menghancurkan sekitar 300 hektar lahan tambak milik nelayan di sana. Hal itu terjadi karena pohon bakau yang berfungsi sebagai penangkal arus air laut hilang ditebang.
Selain itu, di kawasan Muarareja juga terjadi rob atau limpahan air laut. Rob tersebut menggenangi ratusan rumah warga dan jalan. Biasanya air mulai menggenangi rumah warga sekitar pukul 16.00 dan surut sekitar pukul 20.00 WIB. Ketinggian air di dalam rumah bisa mencapai sekitar 20 cm, sedangkan ketinggian air di jalan bisa mencapai 50 cm. Meskipun tidak menimbulkan korban, rob sangat mengganggu aktivitas warga.
Untuk mengatasi hal tersebut, sebaiknya pemerintah dengan segera melakukan perbaikan terhadap daerah pesisir pantai Muarareja, Kota Tegal. Dalam upaya mengatasi kerusakan terutama yang disebabkan oleh abrasi sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan cara-cara dan melakukan tindakan yang berwawasan konservasi, tidak lagi hanya dengan melakukan upaya yang sifatnya sementara saja. Pencegahan ataupun penanggulangan abrasi dengan berwawasan konservasi tentu akan memberikan berbagai keuntungan bagi lingkungan (alam) yang akan membawa pengaruh positif dalam kehidupan manusia”.

9. Abrasi di Pulau Gede, Rembang

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas (2012) menyatakan:

 

“Pulau Gede merupakan sebuah pulau kecil di perairan Laut Jawa di utara Kabupaten Rembang. Pulau tidak berpenghuni yang terletak 2 mil ke arah timur Pulau Marongan ini hanya berjarak tidak lebih dari 5 km dari bibir pantai Kota Rembang.

Sekarang sebagian daratan pulau itu tenggelam karena tingkat abrasi yang tinggi disebabkan oleh benturan gelombang laut. Hal itu terjadi gara-gara banyak orang yang mengambil karang di sekitar pulau itu yang digunakan untuk pembuatan bangunan”.

National Geografic Indonesia (2011) memprediksikan: “Pulau Kelor, pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan seribu itu akan tenggelam 45 tahun lagi. Prediksi tentang Pulau Kelor yang akan tenggelam dalam waktu 45 tahun ke depan didasarkan atas data UPT Taman Arkeologi Onrust yang mengungkap bahwa pada tahun 1980-an Pulau Kelor memiliki luas sekitar 1,5 hektar namun, kini luasnya tidak mencapai 1 hektar.
Menyempitnya luas Pulau Kelor yang mengakibatkannya terancam tenggelam dan musnah diakibatkan oleh abrasi yang mengikis pulau tersebut. Apalagi dengan kecendurungan naiknya permukaan air laut sebagai akibat pemanasan global.
Tidak hanya Pulau Kelor saja. Banyak pulau-pulau kecil Indonesia yang terancam hilang bukan lantaran direbut dan dikuasai oleh negara tetangga namun, musnah lantaran abrasi, penambangan pasir, naiknya permukaan air laut serta kerusakan alam lainnya”.

11. Dua pulau di Enggano tenggelam, luas Indonesia menyusut

Menurut Harri Pratama Aditya (2009) mengungkapkan: “zona kedaulatan Indonesia menyusut sekitar dua km karena tenggelamnya dua anak pulau di Kepulauan Enggano, Bengkulu Utara, Bengkulu, yaitu Pulau Bangkai seluas 10 hektar dan Pulau Satu seluas 2 hektar. Dua anak pulau tersebut berada di zona terluar Indonesia. Pengukuran zona kedaulatan Indonesia saat ini otomatis harus dimulai dari Pulau Enggano, yaitu pulau utama Kepulauan Enggano. Berkurangnya zona kedaulatan RI juga mengakibatkan semakin terbatasnya wilayah tangkapan hasil laut nelayan Indonesia.
Pulau Bangkai dan Satu tenggelam akibat abrasi air laut. Penyebabnya bisa karena tiga hal. Pertama, karena pemanasan global yang menyebabkan meningkatnya permukaan air laut. Kedua, mulai menipisnya padang lamun di pulau-pulau yang ada di Kepulauan Enggano. Tanaman sejenis rumput ini berfungsi menahan ombak yang mengarah ke pulau. Semakin tingginya permukaan air laut menyebabkan tanaman ini kekurangan cahaya matahari dan akhirnya mati. Selain itu, rusaknya terumbu karang akibat penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan pukat harimau juga menjadi penyebab tanaman lamun sulit tumbuh.
Ketiga, berkurangnya pepohonan yang berfungsi menahan air hujan di dalam tanah. Akibatnya, saat terjadi air pasang pasir terseret ombak ke laut. Abrasi di Kepulauan Enggano dapat dikurangi dengan cara menanam mangrove atau pun pepohonan yang dapat menahan air hujan di dalam tanah dalam waktu lama serta menghentikan penggunaan pukat harimau dan bom untuk menangkap ikan. Jika kondisi Kepulauan Enggano terus dibiarkan seperti sekarang ini, diperkirakan dua anak pulau lainnya, yaitu Pulau Dua seluas 11 hektar dan Pulau Marbau seluas 7 hektar akan segera tenggelam kurang dari lima tahun ke depan.
Sementara itu, kondisi pulau utama Kepulauan Enggano, yaitu Pulau Enggano saat ini pun juga kian menyusut. Pada tahun 1960-an, luas pulau sekitar 45x18,5 km persegi. Namun, sekarang sudah berkurang menjadi 40x17 km persegi. Ini berakibat akan semakin sempitnya zona kedaulatan Indonesia”.

12. Ribuan pulau di Indonesia tenggelam tahun 2030
Menurut Deva (2008) mengatakan: “Sejumlah pulau kecil di Indonesia terancam tenggelam diantaranya Pulau Bone dan Pulau Barrang Caddi, Sulawesi. Hal ini disebabkan oleh dampak pemanasan global. Di Pulau Bone wilayah pulau tersebut semakin menyempit disebabkan oleh kenaikan permukaan air laut. Banyak rumah warga yang ada di pesisir hancur terkena terjangan ombak pantai. Hal itu juga terjadi di Pulau Barrang Caddi. Diperkirakan tahun 2030 kenaikan air laut mencapai 1 meter dan ribuan pulau kecil akan terendam dan menghilang.
Tanda-tanda pemanasan global di Indonesia sudah tampak jelas. Sepanjang tahun 1980-2002 suhu minimum kota Polonia (Sumatera Utara) meningkat 0,17°C per tahun. Sementara, Denpasar mengalami peningkatan suhu maksimum hingga 0,87°C per tahun. Tanda yang kasat mata adalah menghilangnya salju yang dulu menyelimuti satu-satunya tempat bersalju di Indonesia, yaitu Gunung Jayawijaya di Papua. Sedangkan tanda yang paling mencolok adalah perubahan iklim”.

Studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung (2007) menyatakan:

“Permukaan air laut Teluk Jakarta meningkat setinggi 0,8 cm. Jika suhu bumi terus meningkat, maka diperkirakan pada tahun 2050 daerah-daerah di Jakarta dan Bekasi akan terendam”.

13. Dua Pulau Ubi tenggelam sebelum eksekusi

Berdasarkan laporan warga setempat, Lurah Agung (2013) memastikan: “dua pulau Ubi, yaitu Ubi Besar dan Ubi Kecil sudah tenggelam. Pulau Ubi Kecil tenggelam pada 1949 dan Pulau Ubi Besar hilang pada 1956.
Mulanya, Pulau Ubi Besar berpenghuni, namun karena mulai terkikis oleh ombak warga terpaksa pindah. Pilihannya adalah lokasi terdekat, yakni Pulau Untung Jawa. Catatan perpindahan penduduk itu ditandai dengan sebuah tugu. Di sana tercatat perpindahan berlangsung pada 13 Februari 1954. Lokasi tugu di tengah Pulau Untung Jawa.
Sekitar dua tahun setelah kepindahan penduduk, Pulau Ubi Besar sudah hilang. Selain karena abrasi, Ubi Besar dan Ubi Kecil diperkirakan tenggelam lantaran penggalian pasir besar-besaran untuk membangun Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang, Banten.
Situs Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional masih mencantumkan nama dan koordinat Pulau Ubi Besar. Namun berdasarkan foto satelit, pulau itu sudah tidak ada. Sedangkan situs resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, www.jakarta.go.id, hanya menulis nama Pulau Ubi Kecil, bagian dari wilayah administrasi Kelurahan Pulau Untung Jawa”.

14. Abrasi di Singkawang
Menurut Pemerintah Kota Singkawang bagian pengolah data elektronik (2013) menyatakan:

“Singkawang yang terletak di daerah pesisir yang berbatasan dengan Laut Natuna tidak bisa dilepaskan dari permasalahan abrasi pantai. Kondisi yang terjadi saat ini di Kota Singkawang beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan laut mulai dilanda abrasi pantai. Hal ini dapat terlihat seperti di Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan. Hantaman gelombang laut dan arus laut yang terjadi secara terus menerus dengan nyata telah dirasakan penduduk setempat. Jika sebelumnya air pasang laut tidak pernah menyentuh jalan, sekarang ketika pasang air laut sudah mulai menggenangi jalan. Begitu juga dengan obyek wisata yang ada di tepi pantai juga tak terelakkan dari abrasi pantai. Perlahan-lahan bibir pantai semakin mendekat ke daratan. Jika ini dibiarkan tentunya sangat merugikan tidak saja bagi masyarakat, tetapi juga pengembangan wisata pantai yang mejadi salah satu andalan Kota Singkawang.
Permasalahan abrasi pantai yang terjadi tentunya menjadi perhatian Walikota Singkawang Drs. H. Awang Ishak, M. Si. Dengan dampak yang disebutkan di atas dia telah menginstruksikan kepada Dinas Binas Marga, Sumber Daya Air dan ESDM Kota Singkawang untuk menginventarisir wilayah yang mengalami abrasi pantai. Dari hasil inventarisir itu diharapkan Dinas Bina Marga dapat meneruskan ke pemerintah pusat agar ikut membantu menangani abrasi pantai di Singkawang. Karena sebagaimana yang disebutkan untuk membangun pemecah ombak memerlukan biaya yang cukup besar sedangkan untuk ditanami pohon bakau harus menyesuaikan dengan kondisi tanah yang di setiap pantai”.

15. Abrasi pantai ancam daratan

Menurut Pengamat Kelautan, Profesor Sahala Hutabarat (2011) menyatakan: “Sangat disayangkan memang, rusaknya garis pantai kita, namun tentunya itu tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor baik faktor alam maupun faktor manusia, saya melihat abrasi pantai itu umumnya secara alami, namun ulah manusia juga menjadi faktor utama.
Ulah manusia, yaitu banyaknya manusia yang tidak peduli terhadap terumbu karang, di mana banyak masyarakat yang mengambil begitu saja karang-karang yang ada dipantai.
Hilangnya vegetasi mangrove (hutan bakau) di pesisir pantai. Sebagaimana diketahui, mangrove yang ditanam di pinggiran pantai, akar-akarnya mampu menahan ombak sehingga menghambat terjadinya pengikisan pantai. Sayangnya, hutan bakau ini banyak yang telah dirusak oleh manusia.
Industri-industri di tepi pantai yang juga menjadi faktor abrasi pantai, seperti misalnya pembangunan pelabuhan. Faktor lain disebutkan oleh Profesor Ilmu Kelautan UNDIP  ini yaitu perubahan iklim menjadi penyebab abrasi pantai. Pasalnya dengan kondisi saat ini tidak bisa terhindarkan”.



Dirjen Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Dr Moch Amron (2011) mengatakan:

“20 persen garis pantai di Indonesia mengalami kerusakan”. Sebanyak 20 persen dari garis pantai di sepanjang wilayah Indonesia dilaporkan mengalami kerusakan akibat berbagai permasalahan antara lain perubahan lingkungan dan abrasi pantai. Amron mencontohkan, panjang garis pantai di Pulau Bali telah mengalami abrasi sekitar 91 kilometer atau 20,8 persen dari garis pantai pulau tersebut. Hal itu sangat disayangkan karena Indonesia memiliki garis pantai sekitar 95 kilometer”.

Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalaui Direktur Pesisir dan Lautan Ditjen KP3K, Dr. Ir Subandono Diposaptono (2011) mengatakan:

“Penanganan abrasi tersebut memang wilayah saya, ada dua faktor yang dibuat oleh KKP, yaitu pembangunan struktur dan nonstruktur, namun KKP hanya berada pada wilayah nonstruktur, yaitu penanaman pohon mangrove dan terumbu buatan.
Ada sekitar 20 Provinsi dan ratusan lokasi yang sudah terkena abrasi, dan penanganannya pun terus dilakukan, namun KKP tidak bisa bekerja sendirian, untuk penanganan abrasi dengan cara pembuatan tembok perlu kerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum. Penanganan abrasi sendiri tentunya tidak sembarangan, seperti pembuatan tembok, perlu kajian secara komperhensif karena masih kata Subandono jika pembangunan dilakukan di satu titik tanpa ada penanganan yang serius maka bisa merubah tempat lain. Jika tempat A ditangani tanpa melakukan kajian, maka bisa berakibat fatal ke tempat lain. Harus dilihat dari arah mana gelombangnya dan jika dibuat tembok apakah tidak akan merusak tempat lain, tentunya kan tidak boleh sembarangan”.

Jadi dapat disimpulkan bahwa sebenarnya ada keinginan dari pemerintah untuk menanggulangi abrasi yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, tetapi pemerintah tidak dapat hanya memerhatikan 1 aspek saja karena tanpa memerhatikan aspek lain maka daerah lain akan mengalami akibat yang fatal. Selain itu, masih ada beberapa daerah di mana masyarakat masih kurang menyadari pentingnya menjaga lingkungan pantai dari bahaya abrasi. Bahkan, puluhan penduduk di sekitar pantai melakukan relokasi karena tempat yang lama sudah terendam. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini sangat dibutuhkan kerja sama dari pemerintah dan masyarakat.

2.3 Upaya Mengurangi Kerusakan yang Ditimbulkan Abrasi
Abrasi tidak mungkin bisa dicegah karena setiap hari air laut terus bergerak dan anginpun tak berhenti berhembus. Oleh karena itu, kita sebagai manusia hanya bisa mengurangi, menghambat, atau memperkecil kerusakan yang diakibatkan oleh abrasi.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi (paling tidak menghambat) masalah abrasi pantai ini menurut Islahudin (2012), yaitu:
1.     Untuk mengatasi masalah abrasi di Pamekasan seperti yang dipaparkan sebelumnya, Sekjen DKP menempatkan Kabupaten Pamekasan sebagai tempat pelaksanaan jambore mitigasi mangrove. Beliau berharap dengan adanya jambore mitigasi mangrove yang digelar di Pamekasan ini masyarakat bisa lebih peduli untuk menjaga kelestarian lingkungan. Mereka juga berharap agar kegiatan ini tidak berhenti sampai di sini saja, akan tetapi bisa tetap berkelanjutan sehingga tanaman mangrove di pesisir pantai di Pamekasan ini bisa terjaga dengan baik.
2.     Pemulihan hutan mangrove di sekitar pantai yang terkena dampak abrasi tersebut. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya rehabilitasi untuk memperbaiki tanaman mangrove yang rusak tersebut. Pada 2004 dan 2005  pemerintah mampu menghijaukan 34.601 hektar hutan mangrove (bakau), sedangkan pada tahun 2006 sekitar 2.790 hektar.
3.     Pelestarian terumbu karang, yaitu melalui rehabilitasi lingkungan pesisir yang hutan bakaunya sudah punah, baik akibat dari abrasi itu sendiri maupun dari pembukaan lahan tambak. Terumbu karang juga dapat berfungsi mengurangi kekuatan gelombang yang sampai ke pantai. Oleh karena itu, perlu pelestarian terumbu karang dengan membuat peraturan untuk melindungi habitatnya.
4.     Pelarangan penggalian pasir pantai. Perlu peraturan baik di tingkat pemerintah daerah maupun pusat yang mengatur pelarangan penggalian pasir pantai secara besar-besaran yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.
5.     Usaha membangun pengaman pantai. Pengaman pantai bertujuan untuk mencegah erosi pantai dan penggenangan daerah pantai akibat hempasan gelombang (overtopping). Berdasarkan strukturnya pengaman pantai dibedakan menjadi dua, yaitu pengamanan lunak (soft protection) dan pengamanan keras (hard protection).
1)   Pengamanan lunak dilakukan dengan tiga cara yaitu:
                                           I.         Pengisian pasir, pengisian pasir bertujuan untuk mengganti pasir yang hilang akibat erosi dan memberikan perlindungan pantai terhadap erosi dalam bentuk sistem tanggul pasir. Hal yang harus diperhatikan adalah lokasi pasir harus memiliki kedalaman yang cukup sehingga pertambahan kedalaman akibat penggalian pasir tidak mempengaruhi pola gelombang dan arus yang pada gilirannya akan mengakibatkan erosi ke pantai-pantai sekitarnya.
                                        II.         Terumbu karang, merupakan bentukan yang terdiri dari tumpukan zat kapur. Bentukan terumbu karang dibangun oleh hewan karang dan hewan-hewan serta tumbuhan lainnya yang mengandung zat kapur melalui proses biologis dan geologis dalam kurun waktu yang relatif lama. Fungsi terumbu karang selain sebagai bagian ekologis dari ekosistem pantai yang sangat kaya dengan produksi perikanan juga melindungi pantai dan ekosistem perairan dangkal lain dari hempasan ombak dan arus yang mengancam terjadinya erosi.
                                     III.         Hutan bakau (mangrove forest), merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Fungsi dari hutan bakau selain sebagai tempat wisata dan penghasil kayu adalah sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung erosi, penahan lumpur dan penangkap sedimen. Sebenarnya telah banyak orang yang mengetahui fungsi dan kegunaan hutan bakau bagi lingkungan. Namun, dalam prakteknya di lapangan masih banyak pula yang belum memanfaatkan hutan bakau sebagai sarana untuk mencegah atau mengatasi abrasi. Padahal, mangrove yang ditanam di pinggiran pantai, akar-akarnya mampu menahan ombak sehingga menghambat terjadinya pengikisan pantai.
Selain mencegah atau mengatasi abrasi, hutan bakau dapat membawa keuntungan-keuntungan lebih daripada hanya sekedar membangun pemecah gelombang buatan. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain:
1.  Menjaga kestabilan garis pantai.
2. Menahan atau menyerap tiupan angin laut yang kencang.
3.  Dapat mengurangi resiko dampak dari tsunami.
4.  Membantu proses pengendapan lumpur sehingga kualitas air laut lebih terjaga dari endapan lumpur erosi.
5. Menghasilkan oksigen yang bermanfaat bagi manusia, hewan, dan tumbuhan.
6.  Mengurangi polusi, baik udara maupun air.
7.  Sumber plasma nutfah.
8.  Menjaga keseimbangan alam.
9. Sebagai habitat alami makhluk hidup seperti burung, kepiting, dan lain sebagainya.
Beberapa hal di atas merupakan sebagian dari berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dari penanaman hutan bakau dalam usaha mencegah atau mengatasi abrasi. Selain itu pemerintah tidak perlu lagi berulang kali membangun pemecah gelombang sehingga dapat menghemat pengeluaran dan dapat mengalokasikan dana untuk keperluan-keperluan lain (tentunya yang berguna untuk masyarakat).
2)   Pengamanan keras dilakukan dengan 5 cara, yaitu:
I.         Revetment (pelindung tebing pantai), stuktur pelindung pantai yang dibuat sejajar pantai dan biasanya memiliki permukaan miring. Strukturnya biasa terdiri dari beton, timbunan batu, karung pasir, dan beronjong (gabion). Karena permukaannya terdiri dari timbunan batu atau blok beton dengan rongga-rongga diantaranya, maka revetment lebih efektif untuk meredam energi gelombang. Bangunannya dibuat untuk menjaga stabilitas tebing atau lereng yang disebabkan oleh arus atau gelombang. Ada beberapa tipe dari revetment, seperti: Rip-rap (batuan yang dicetak dan berbentuk seragam), Unit armour (beton), dan batu alam(blok beton).
II.      Seawall (dinding), hampir serupa dengan revetment, yaitu dibuat sejajar pantai tapi seawall memiliki dinding relatif tegak atau lengkung. Seawall pada umumnya dibuat dari konstruksi padat seperti beton, turap baja atau kayu, pasangan batu atau pipa beton sehingga seawall tidak meredam energi gelombang, tetapi gelombang yang memukul permukaan seawall akan dipantulkan kembali dan menyebabkan gerusan pada bagian tumitnya.
III.   Groin (groyne), struktur pengaman pantai yang dibangun menjorok relatif tegak lurus terhadap arah pantai. Bahan konstruksinya umumnya kayu, baja, beton (pipa beton), dan batu.
IV.   Pemecah Gelombang Sejajar Pantai, dibuat terpisah ke arah lepas pantai, tetapi masih di dalam zona gelombang pecah (breaking zone). Bagian sisi luar pemecah gelombang memberikan perlindungan dengan meredam energi gelombang sehingga gelombang dan arus di belakangnya dapat dikurangi. Pantai di belakang struktur akan stabil dengan terbentuknya endapan sedimen. Pencegahan abrasi dengan membangun pemecah gelombang buatan di sekitar pantai dengan maksud untuk mengurangi abrasi yang terjadi tanpa dibarengi dengan usaha konservasi ekosistem pantai (seperti penanaman bakau dan/atau konservasi terumbu karang).
Akibatnya, dalam beberapa tahun kemudian abrasi kembali terjadi karena pemecah gelombang buatan tersebut tidak mampu terus-menerus menahan terjangan gelombang laut. Namun, sering kali pengalaman tersebut tidak dijadikan pelajaran dalam menetapkan kebijakan selanjutnya dalam upaya mencegah ataupun mengatasi abrasi. Yang sering terjadi di lapangan ketika pemecah gelombang telah rusak adalah pemerintah setempat membangun pemecah geombang buatan lagi dan tanpa dibarengi dengan penanaman bakau atau konservasi terumbu karang yang rusak. Hal tersebut seakan-akan menjadi suatu rutinitas yang bila dipikir lebih jauh, tentunya hal tersebut akan berimbas terhadap dana yang harus dikeluarkan daerah setempat.
Seandainya, dalam mengatasi abrasi tersebut kebijakan yang diambil pemerintah yaitu dengan membangun pemecah gelombang buatan (pada awal usaha mengatasi abrasi atau jika kondisi abrasi benar-benar parah dan diperlukan tindakan super cepat) dengan dibarengi penanaman bakau di sekitar daerah yang terkena abrasi atau bahkan bila memungkinkan dibarengi pula dengan konservasi terumbu karang, tentunya pemerintah setempat tidak perlu secara berkala terus menerus membangun pemecah gelombang yang menghabiskan dana yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan dalam beberapa tahun sejak penanaman, tanaman-tanaman bakau tersebut sudah cukup untuk mengatasi atau mengurangi abrasi yang terjadi.
V.      Stabilisasi Pantai, dilakukan dengan membuat bangunan pengarah sedimen seperti tanjung buatan, pemecah gelombang sejajar pantai, dan karang buatan yang dikombinasikan dengan pengisian pasir. Metode ini dilakukan apabila suatu kawasan pantai terdapat defisit sedimen yang sangat besar sehingga dipandang perlu untuk mengembalikan kawasan pantai yang hilang akibat erosi.
Pada saat ini, konsep pengamanan di atas akan dan sedang diterapkan, misalnya untuk Pantai Sanur, Nusa Dua, dan Kuta. Sedangkan untuk Pura Tanah Lot diamankan dengan pemecah gelombang terendam. Dalam hal ini kita sebagai warga negara yang baik hendaknya ikut beperan dalam proses pengamanan pantai tersebut, yaitu dengan ikut melestarikan ekosistem laut beserta isinya, melakukan pembangunan sesuai peraturan yang berlaku agar tidak melewati garis pantai, serta tidak melakukan penambangan pasir atau perusakan karang.
6.     Mereklamasi bekas lubang tambang pasir atau barang tambang di daerah pesisir pantai.
7.     Untuk mengantisipasi abrasi yang lebih parah, program penanaman mangrove mulai digencarkan di wilayah pesisir Kota Semarang. Belum lama ini, puluhan anggota Linmas dan elemen masyarakat Kelurahan Wonolopo Kecamatan Mijen, melakukan bakti sosial penanaman 1.500 pohon bakau atau mangrove di sisa-sisa Pulau Tiram Kelurahan Mangunharjo Kecamatan Tugu.
8.     Penyediaan bibit penghijauan hutan mangrove di sekitar pantai.
9.     Departemen Pekerjaan Umum melalui Direktorat Jendral Sumber Daya Air juga melaksanakan pembuatan bangunan pantai yang terutama di tunjukan untuk pengamanan atau perlindungan garis pantai dari kerusakan yang disebabkan oleh gelombang dan arus laut. Bangunan-bangunan tersebut adalah sebagai berikut:
1)   Krib, adalah bangunan pengaman pantai yang mempunyai fungsi untuk mengendalikan pergerakan material-material seperti pasir pantai yang bergerak secara alami yang disebabkan oleh arus yang sejajar  pantai (Litoral Drift). Bentuk krib biasanya dibangun lurus, namun ada pula yang berbentuk zig-zag atau berbentuk Y, T, atau L.
2)   Tembok pantai atau tanggul pantai, dibangun untuk melindungi daratan terhadap erosi, gelombang laut, dan bahaya banjir yang disebabkan oleh hempasan gelombang. Tembok pantai ada yang bersifat meredam energi gelombang dan ada yang tidak. Adapun bahan yang digunakan ada yang dari beton  atau pasangan batu kosong (rublemounts).
3)   Pemecah gelombang yang putus-putus (Detached Break Water), dibuat sejajar pantai dengan jarak tertentu dari pantai. Bangunan ini berfungsi untuk mengubah kapasitas transport sendimen yang sejajar ataupun tegak lurus dengan pantai dan akan mengakibatkan terjadinya endapan (akresi) di belakang bangunan yang biasa disebut dengan tombolo.
4)   Konservasi pantai, kegiatan yang tidak hanya sekedar pengaman tepi pantai dari ancaman arus atau gelombang laut namun, memiliki kepentingan yang lebih jauh misalnya untuk rekreasi, tempat berlabuh kapal-kapal pesiar dan sebagainya. Salah satu yang dikerjakan ialah dengan membuat tanjung-tanjung buatan (artificial headland), di mana di antara tanjung-tanjung buatan tersebut dapat digunakan kapal pesiar untuk berenang, tempat tersebut diisi dengan pasir yang berkualitas baik yang biasanya diambil dari laut agar tidak merusak lingkungan. Di Indonesia konversi pantai baru dikerjakan di Pantai Kuta dan Sanur di Pulau Bali.
10. Permasalahan abrasi pantai yang terjadi di Singkawang menjadi perhatian Walikota Singkawang Drs. H. Awang Ishak, M. Si. Dia telah menginstruksikan kepada Dinas Binas Marga, Sumber Daya Air dan ESDM Kota Singkawang untuk menginventarisir wilayah yang mengalami abrasi pantai”.

Dapat disimpulkan bahwa ada banyak sekali cara yang dapat digunakan atau terapkan untuk melestarikan daerah pantai khusunya pesisir yang sangat rentan tergerus abrasi. Akan tetapi, hasil yang kita lukan akan jauh lebih baik apabila pemerintah turut berperan agar tindakan yang kita lakukan tidak sia-sia.
Penanganan abrasi pantai memang sulit. Solusi di atas memiliki resiko dan kekurangan masing-masing. Pemasangan alat pemecah ombak tentunya memerlukan biaya yang sangat besar, waktu yang lama, dan wilayah yang luas sedangkan penanaman vegetasi mangrove pun tidak dapat dilakukan di semua jenis pantai karena mangrove hanya tumbuh di daerah yang berlumpur. Hal ini akan menjadi sangat sulit karena sebagian besar pantai di Indonesia merupakan perairan yang dasarnya tertutupi oleh pasir. Seperti kita ketahui bahwa tanaman bakau tidak dapat tumbuh pada daerah berpasir.
Tidak hanya itu, rehabilitasi hutan mangrove juga memiliki kendala di pemerintahannya sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, kewenangan Pemerintah Pusat dalam rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk hutan mangrove hanya terbatas menetapkan pola umum sedangkan penyelenggaraan oleh pemerintah daerah. Jadi, keputusan untuk pemulihan lahan masih diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Tetapi meskipun sangat sulit, usaha untuk mengatasi abrasi ini harus terus dilakukan. Jika masalah abrasi ini tidak segera ditanggulangi, maka bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan luas daratan di Indonesia banyak yang akan berkurang. Bahkan beberapa pulau terancam hilang.
Agar upaya ini dapat berjalan dengan lebih baik, maka peranan dari semua elemen masyarakat sangat diperlukan. Pemerintah tidak akan dapat mengatasinya tanpa partisipasi dari masyarakat. Apabila alat pemecah ombak berhasil dibangun dan hutan bakau atau hutan mangrove berhasil ditanam, maka dampak abrasi tentu akan dapat dikurangi meskipun tidak sampai 100%.
Masalah pencemaran pantai juga harus diatasi dengan sangat serius karena dapat merusak keindahan dan keasrian pantai. Untuk mengatasi permasalahan ini kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan harus ditingkatkan. Selain itu peraturan untuk tidak merusak lingkungan harus dibuat dan menindak dengan tegas bagi siapa pun yang melanggarnya.
Sekarang ini di beberapa pantai masih banyak ditemui sampah-sampah yang berserakan. Selain itu, limbah pabrik yang beracun banyak yang dialirkan ke sungai yang kemudian mengalir ke laut. Hal ini dapat merusak ekosistem laut dan juga dapat membunuh beberapa biota laut. Pemerintah seharusnya menghimbau agar seluruh pabrik-pabrik tersebut membuang limbahnya setelah dinetralisasi terlebih dahulu.
Oleh karena itu, tanpa kesadaran dari diri kita sendiri untuk merawat dan menjaga lingkungan, niscaya abrasi akan tetap terus terjadi dan semakin memburuk. Bahkan, bukan tidak mungkin pulau-pulau besar juga mungkin akan tenggelam.



















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan:
1.    Abrasi dan pencemaran pantai merupakan masalah pelik yang dihadapi oleh masyarakat. Abrasi diakibatkan oleh 2 faktor, baik faktor alam (angin selalu berhembus menyebabkan air laut terus bergerak sehingga perlahan-lahan mengikis daratan atupun oleh bencana alam) maupun manusia(pembabatan hutan bakau, perusakan terumbu karang, penggalian pasir).
2.    Dampak yang diakibatkan oleh abrasi ini sangat besar. Garis pantai akan semakin menyempit dan apabila tidak diatasi lama kelamaan daerah-daerah yang permukaannya rendah akan tenggelam.  Ada banyak sekali pulau-pulau kecil di Indonesia yang tenggelam dan menghilang dikarenakan abrasi. Bahkan, diprediksikan beberapa tahun mendatang Indonesia akan kehilangan ribuan pulau karena abrasi.
3.    Kita dapat mengurangi atau memperkecil dampak negatif dari abrasi dengan melakukan beberapa cara, seperti membangun alat pemecah ombak dan menanam pohon bakau di pinggir pantai. Alat pemecah ombak dapat menahan laju ombak dan memecahkan gelombang air sehingga kekuatan ombak saat mencapai bibir pantai akan berkurang. Demikian juga dengan pohon bakau yang ditanam di pinggiran pantai. Akar-akarnya yang kokoh dapat menahan kekuatan ombak agar tidak mengikis pantai.
4.    Masalah abrasi maupun pencemaran lingkungan ini sangat sulit untuk diatasi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan lingkungannya. Masih banyak orang yang membuang sampah pada sembarang tempat yang nantinya dapat mencemari lingkungan. Masih banyak pula pihak-pihak tertentu yang melakukan pembangunan suatu daerah tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan, termasuk daerah pesisir.
5.    Permasalahan ini harus diselesaikan bukan hanya oleh pemerintah, tapi juga memerlukan partisipasi dari masyarakat. Niscaya, tanpa adanya kesadaran masyarakat untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, baik darat maupun laut, Indonesia akan kehilangan lebih banyak pulau dan bukan tidak mungkin pulau-pulau besar pun akan turut tenggelam.

3.2  Saran
Setelah penulis mengulas permasalahan di atas, penulis ingin  menyarankan kepada pembaca khususnya masyarakat pada umumnya untuk mengambil peran dalam mengatasi masalah abrasi dan pencemaran pantai karena usaha dari pemerintah saja tidak cukup berarti tanpa bantuan dari masyarakat. Disarankan juga agar pemerintah lebih menindak tegas oknum-oknum yang terlibat dalam kegiatan yang tidak memperhatikan lingkungan.
Pembangunan alat pemecah ombak dan penanaman pohon bakau harus segera dilakukan agar abrasi yang terjadi di beberapa daerah tidak bertambah parah. Bagi para pemilik pabrik maupun usaha apapun yang ada di sekitar pantai agar tidak membuang limbah atau sampah ke laut. Mereka harus menyediakan sarana kebersihan agar limbah atau sampah yang mereka hasilkan tidak mencemari pantai. Karena pantai yang tercemar akan sulit dipulihkan lagi (sulit ditumbuhi tumbuhan).
Demikianlah saran-saran yang dapat penulis sampaikan. Semoga apa yang telah penulis sampaikan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat agar mau menjaga keasrian dan kebersihan lingkungan. Semua orang harus ikut berperan serta dalam menanggulangi masalah abrasi ini agar tidak ada lagi pulau-pulau yang dikabarkan telah menghilang (tenggelam).



DAFTAR PUSTAKA

Aditya, Harri Pratama. 2009. Dua Pulau di Enggano Tenggelam, Luas Indonesia Menyusut, www.tempo.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

Alpensteel. 2011. Abrasi Bisa Mengancam Keasrian Alam, www.alpensteel.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

AntaraNews. 2009. Sekjen DKP: Abrasi Pantai Pamekasan Terparah di Madura, www.antaranews.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

AntaraNews. 2007. Selama Dua Tahun, 24 Pulau Kecil di Indonesia Tenggelam. www.antaranews.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

AntaraNews. 2013. Pulau Putri Batam Terancam Tenggelam Akibat Abrasi, bengkulu.antaranews.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.  

 

Arsyad, Muhammad. 2013. Kerusakan Lingkungan Pesisir Pantai, arsyadmoon1.blogspot.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.


Emperordeva. 2008. Makalah Tentang Abrasi, emperordeva.wordpress.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

Endah, Alam. 2009. Abrasi Rusak 40 Prosen Pantai Indonesia, alamendah.org. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

Endah, Alam. 2011. Pulau Kelor Akan Tenggelam, alamendah.org. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

Fajar. 2011. Mencegah dan Mengatasi Abrasi di Indonesia, pedemunegeri.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

 

Haluan Kepri. 2013. Pulau Sentut, Bintan Terancam Tenggelam, www.haluankepri.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.


Indomaritim. 2013. Abrasi Pantai Ancam Daratan, indomaritimeinstitute.org. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

 

Islahudin. 2012. Dua Pulau Ubi Tenggelam Sebelum Eksekusi, www.merdeka.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

Jawaban Spiritual. 2009. 2050 Ribuan Pulau di Indonesia Tenggelam, www.jawaban.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

Jevon. 2012. Mencegah dan Mengatasi Abrasi, anakbakau.wordpress.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

 

Lee, Eddy S. 2013. Jika Tidak Dikendalikan Abrasi Pantai Mengancam, archipeddy.com. Diunduh pada 6 Agustus 2013.

Pantai. 2012. Abrasi Pantai dan Penyebabnya. www.pantai.org. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

 

Pemerintah Kota Singkawang Bagian Pengolah Data Elektronik. 2013. Abrasi Pantai Ancam Daratan, www.singkawangkota.go.id. Diunduh pada 6 Agustus 2013.

 

Pikiran Rakyat. 2013. Abrasi Pantai Batukaras Mencapai Lebar 10 Meter, m.pikiran-rakyat.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.


Ratih, Camay. 2012. Penyebab Abrasi Pantai Beserta Solusinya, camayratih.blogspot.com. Diunduh pada 6 Agustus 2013.

Save Earth From Destroy. 2012. Mencari Solusi Pencegahan Abrasi Pantai, take-solution.blogspot.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

Sofiana, Lilis. 2009.  Pengaruh Kegiatan Manusia Terhadap Keseimbangan Ekosistem, lilis-sofiana.blogspot.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

Suara Merdeka. 2013. Dewan Kritisi Minimnya Program Pencegahan Abrasi, www.suaramerdeka.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

Tiny News. 2012. Sebutkan Upaya yang Dilakukan Dalam Memperbaiki Lingkungan yang Rusak?, www.lensamuria.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.

Wikipedia. 2012. Pulau Gede – Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas, id.wikipedia.org. Diunduh 9 Agustus 2013.