BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 abrasi adalah proses
pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat
merusak yang dipicu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut.
Seorang ahli perubahan iklim dari institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Armi
Susandi (2011) menyatakan bahwa ia meramalkan pada 2050 nanti 24 persen wilayah
Jakarta akan terendam air laut secara permanen.
Seperti diketahui, Indonesia sebagai negara kepulauan tentunya
tidak lepas dengan garis pantai, Indonesia sendiri memiliki garis pantai
terpanjang keempat di dunia setelah Kanada, Amerika Serikat dan Rusia, garis
pantai Indonesia sendiri sepanjang 95.181 kilometer. Namun sebanyak 20 persen
dari garis pantai di sepanjang wilayah Indonesia dilaporkan mengalami
kerusakan, tentunya kerusakan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain
perubahan lingkungan dan abrasi pantai.
Air laut tidak pernah diam. Air
laut bergelombang di permukaannya, kadang-kadang besar kadang-kadang kecil,
tergantung pada kecepatan angin dan kedalaman dasar lautnya. Semakin dalam
dasar lautnya makin besar gelombangnya. Gelombang mempunyai kemampuan untuk
mengikis pantai. Akibat pengikisan ini banyak pantai yang menjadi curam dan
terjal. Tetapi kerusakan atau kerugian yang diakibatkan abrasi bisa diperkecil
degan cara tetap menjaga kelestarian hutan mangrove di sekitar pantai.
Akan tetapi, kerusakan lingkungan pantai semakin
bertambah seiring dengan berjalannya waktu. Hutan-hutan mangrove yang dulunya
menghiasi pesisir pantai, kini telah dibabat habis oleh manusia karena
keserakahannya untuk memperkaya diri dengan membangun sarana wisata dan
rekreasi, seperti hotel dan lainnya. Dari total
9,4 juta hektare tanaman mangrove yang ada di Indonesia, sesuai dengan data
Departemen Kehutanan RI pada 2006, sekitar 70 persennya rusak.
Oleh
karena itu, kasus yang sering kita jumpai belakangan ini adalah masalah abrasi
pantai yang semakin parah akibatnya. Abrasi pantai ini terjadi hampir di
seluruh wilayah di Indonesia. Masalah ini harus segera diatasi karena dapat
mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi makhluk hidup, tidak terkecuali
manusia.
Abrasi pantai tidak hanya membuat garis-garis pantai menjadi
semakin sempit, tapi bila dibiarkan begitu saja akibatnya bisa menjadi lebih
berbahaya. Seperti kita ketahui, negara kita Indonesia sangat terkenal dengan
keindahan pantainya. Setiap tahun banyak wisatawan dari mancanegara berdatangan
ke Indonesia untuk menikmati panorama pantainya yang sangat indah. Apabila
pantai sudah mengalami abrasi, maka tidak akan ada lagi wisatawan yang datang
untuk mengunjunginya. Hal ini tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi
perekonomian di Indonesia karena secara otomatis devisa negara dari sektor
pariwisata akan mengalami penurunan. Selain itu, sarana pariwisata seperti
hotel, restoran, dan juga kafe-kafe yang terdapat di areal pantai juga akan
mengalami kerusakan yang akan mengakibatkan kerugian material yang tidak sedikit. Demikian juga
dengan pemukiman penduduk yang berada di areal pantai tersebut. Banyak penduduk
yang akan kehilangan tempat tinggalnya akibat rumah mereka terkena dampak dari
abrasi.
Dari uraian di atas, dapat diketahui
bahwa dampak dari abrasi sangat berbahaya. Untuk itu penulis akan mencoba
menjelaskan lebih lanjut mengenai apa itu abrasi, penyebab abrasi, dan
bagaimana solusi untuk menanggulanginya.
1.2 Pembatasan Masalah
Adapun
berdasarkan dari latar belakang di atas dapat disimpulkan:
1.
Apa saja yang menyebabkan
terjadinya abrasi?
2.
Apa dampak abrasi terhadap
kehidupan?
3.
Bagaimana upaya untuk mengurangi
kerusakan yang ditimbulkan abrasi?
1.3 Tujuan Penelitian
Melalui karya tulis
ini, pembaca diharapkan dapat:
1. Mengetahui penyebab abrasi.
2. Mengetahui dampak-dampak abrasi terhadap kehidupan.
3. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ataupun menghambat kerusakan yang ditimbulkan abrasi.
3. Mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ataupun menghambat kerusakan yang ditimbulkan abrasi.
1.4 Maksud Penelitian
Karya tulis ini diharapkan dapat memberi manfaat
kepada berbagai pihak antara lain:
1. Tenaga pendidik, dapat digunakan sebagai bahan ajar
mereka untuk mendidik anak-anak bangsa dan menambah pengetahuan pribadi.
2. Pelajar, dapat digunakan sebagai bahan belajar,
menyelesaikan tugas, dan menanamkan pemikiran untuk lebih mencintai lingkungan.
3. Masyarakat, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya lingkungan dan turut berperan serta untuk mencegahnya dari
kerusakan.
4. Pemerintah, supaya rencana kegiatan untuk menjaga
lingkungan lebih direalisasikan dan lebih peduli lagi terhadap keadaan wilayah
di Indonesia khususnya daerah pesisir.
5. Para
pengusaha, memperhatikan lingkungan di sekitar ketika melakukan penambangan
serta tidak membuang limbah atau sampah ke laut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Abrasi
Abrasi adalah proses pengikisan
pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai
akibat abrasi ini dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai
tersebut.
Walaupun abrasi bisa disebabkan oleh gejala alami,
namun manusia sering disebut sebagai penyebab utama abrasi. Abrasi
disebabkan oleh naiknya permukaan air laut di seluruh dunia karena mencairnya
lapisan es di daerah kutub bumi. Mencairnya lapisan es ini merupakan dampak dari pemanasan
global yang terjadi belakangan ini. Seperti yang kita ketahui, pemanasan global terjadi karena gas-gas
CO2 yang berasal dari asap pabrik maupun dari gas buangan
kendaraan bermotor menghalangi keluarnya gelombang panas dari matahari yang
dipantulkan oleh bumi sehingga panas
tersebut akan tetap terperangkap di dalam atmosfer bumi dan mengakibatkan suhu
di permukaan bumi meningkat. Suhu
di kutub juga akan meningkat dan membuat es di kutub mencair, air lelehan es
itu mengakibatkan permukaan air di seluruh dunia akan mengalami peningkatan dan
akan menggerus daerah yang permukaannya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadinya abrasi sangat erat kaitannya dengan pencemaran lingkungan.
Masih banyak daerah yang mengalami abrasi dengan tingkat
yang tergolong parah. Apabila hal ini tidak ditindaklanjuti secara serius, maka
dikhawatirkan dalam waktu yang tidak lama beberapa pulau yang permukaannya
rendah akan tenggelam”.
Abrasi
pantai diakibatkan oleh dua faktor utama yang disebabkan oleh aktivitas manusia,
yaitu:
1. Peningkatan
permukaan air laut yang diakibatkan oleh mencairnya es di daerah kutub sebagai
akibat pemanasan global.
2. Hilangnya
vegetasi mangrove (hutan bakau) di pesisir pantai. Sebagaimana diketahui, akar-akar
mangrove yang ditanam di pinggiran pantai mampu menahan ombak sehingga
menghambat terjadinya pengikisan pantai. Sayangnya, hutan bakau ini banyak yang
telah dirusak oleh manusia melalui proses penebangan. Kerapatan pohon yang rendah pada pesisir pantai memperbesar peluang
terjadinya abrasi.
3. Penambangan pasir sangat berperan
banyak terhadap abrasi pantai, baik di daerah tempat penambangan pasir maupun
di daerah sekitarnya karena terkurasnya pasir laut akan sangat berpengaruh
terhadap kecepatan dan arah arus laut yang menghantam pantai.
4. Perusakan karang pantai juga
merupakan salah satu penyebabnya karena penggalian karang menyebabkan
pertambahan kedalaman perairan dangkal yang semula berfungsi meredam energi
gelombang, akibatnya gelombang sampai ke pantai dengan energi yang cukup besar.
5. Pendirian bangunan yang melewati
garis pantai sehingga pasir atau tanah di sekitar pantai menjadi tidak kuat.
Selain itu dapat
juga diakibatkan oleh faktor alam, seperti:
a. Angin yang bertiup di atas lautan
yang menimbulkan gelombang dan arus laut sehingga mempunyai kekuatan untuk
mengikis daerah pantai. Gelombang yang tiba di pantai dapat menggetarkan tanah
atau batuan yang lama kelamaan akan terlepas dari daratan.
b. Selain itu, tsunami juga
merupakan salah satu faktor. Rusaknya bibir pantai di perairan Indonesia akibat
abrasi itu tidak terlepas dari geologi, kekuatan ombak laut serta pusaran
angin.
c. Proses fragmentasi sedimen juga
merupakan penyebab abrasi karena butiran pasir atau sedimen kasar lambat laun
akan mengalami proses fragmentasi menjadi butiran halus yang lebih mudah
terbawa oleh arus dan ombak”.
Jadi,
berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa abrasi disebabkan oleh 2
faktor utama, yaitu faktor alam dan faktor buatan di mana manusialah yang
paling mempengaruhi terjadinya abrasi ini melalui berbagai aktivitas khususnya
pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan untuk mencari
keuntungan pribadi.
2.2
Dampak Abrasi terhadap Kehidupan
2.2.1
Dampak Abrasi
Menurut Muhammad Arsyad (2012) menyatakan: “abrasi
tentu sangat berdampak terhadap kehidupan. Pada umumnya abrasi lebih banyak memiliki dampak negatif dibandingkan
dampak positif. Dampak negatif yang dihasilkan dari abrasi juga sangat
merugikan lingkungan khususnya manusia. Berikut ini akan dipaparkan bukti-bukti
kerugian yang diakibatkan abrasi.
a) Air laut
tidak pernah diam. Air laut bergelombang di permukaannya, kadang-kadang besar
kadang-kadang kecil, tergantung pada kecepatan angin dan kedalaman dasar
lautnya. Semakin dalam dasar lautnya makin besar gelombangnya. Gelombang
mempunyai kemampuan untuk mengikis pantai. Akibat pengikisan ini banyak pantai
yang menjadi curam dan terjal.
b) Penyusutan lebar pantai sehingga
menyempitnya lahan bagi penduduk yang tinggal di pinggir pantai.
c) Kerusakan hutan bakau di sepanjang
pantai karena terpaan ombak yang didorong angin kencang begitu besar.
d) Kehilangan tempat berkumpulnya ikan-ikan
perairan pantai karena terkikisnya hutan bakau.
e) Apabila pantai sudah mengalami
abrasi, maka tidak akan ada lagi wisatawan yang datang untuk mengunjunginya.
Hal ini tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi perekonomian di Indonesia
karena secara otomatis devisa negara dari sektor pariwisata akan mengalami
penurunan. Selain itu, sarana pariwisata seperti hotel, restoran, dan juga
kafe-kafe yang terdapat di areal pantai juga akan mengalami kerusakan yang akan
mengakibatkan kerugian material yang tidak sedikit.
f) Pemukiman penduduk yang berada di areal
pantai akan kehilangan tempat tinggalnya akibat rumah mereka terkena dampak dari
abrasi.
g) Kemungkinan dalam beberapa tahun ke depan luas pulau-pulau di Indonesia banyak yang
akan berkurang dan banyak pulau yang akan
tenggelam.
h)
Dalam
beberapa tahun terakhir garis pantai di beberapa daerah di Indonesia mengalami
penyempitan yang cukup memprihatinkan. Di beberapa daerah abrasi pantai dinilai
belum pada kondisi yang membahayakan keselamatan warga setempat, namun bila hal
itu dibiarkan berlangsung, dikhawatirkan dapat menghambat pengembangan potensi
kelautan di daerah tersebut secara keseluruhan, baik pengembangan hasil
produksi perikanan maupun pemanfaatan sumber daya kelautan lainnya.
i)
Pantai yang indah dan menjadi tujuan
wisata menjadi rusak. Pemukiman warga dan tambak tergerus hingga menjadi laut.
Tidak sedikit warga di pesisir pantai yang telah direlokasi gara-gara abrasi
pantai ini”.
Jadi
berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa abrasi sangat berdampak
terhadap kehidupan. Dibandingkan dengan dampak positif, abrasi lebih banyak
dampak negatif yang mana dampak negatif ini sangat merugikan manusia,
lingkungan, dan aktivitas manusia itu sendiri. Tidak hanya itu, wilayah negara
kita, Indonesia juga semakin menyempit. Ironisnya, semua dampak ini sebagian
besar disebabkan oleh manusia.
2.2.2 Kasus-Kasus Merugikan oleh Abrasi
Berikut
ini akan dipaparkan daerah-daerah yang mengalami kerusakan dan penyempitan
lingkungan karena abrasi.
1. Abrasi Pantai Pamekasan di Madura
Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen)
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Syamsul Muarif (2009) menyatakan:
“Abrasi pantai di Pamekasan terparah di
Madura dibanding pantai pesisir di tiga kabupaten lain di wilayah tersebut. Kondisi
semacam itu dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat dalam berupaya
menciptakan lingkungan pesisir kondusif dan ramah lingkungan.
Parahnya kerusahan pantai di Pamekasan ini
tidak hanya diketahui pemerintah pusat, akan tetapi masyarakat internasional.
Hal ini cukup menyedot perhatian masyarakat internasional sehingga mereka pun
mengirimkan bantuan untuk Indonesia. Sebagai contoh adanya bantuan 700 hektar
tanaman mangrove dari warga Jepang untuk Indonesia di mana 20 persennya untuk
wilayah Pamekasan”.
2. Abrasi Pantai Batukaras mencapai lebar 10 meter
Menurut Kepala Desa
Batukaras, Abdul Karim (2013) menyatakan: “Pantai Batukaras yang berada di Desa
Batukaras, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran mengalami abrasi.
Pengikisan pantai mencapai sepanjang empat kilometer. Peristiwa tersebut
merupakan yang terparah diakui masyarakat setempat karena lebar pengikisan pantai
mencapai 10 meter.
Kejadian tersebut
hampir terjadi setiap lima tahun sekali namun, sepengetahuan dirinya ini
merupakan yang terparah. Penyebab dari terjadinya abrasi adalah curah hujan
yang tinggi dan hembusan angin kencang. Tidak hanya bibir pantai yang tergerus,
pohon kelapa pun juga banyak yang tumbang karena abrasi”.
3. Abrasi rusak 40
persen pantai di Indonesia
Menurut Alam Endah (2009) berpendapat: “abrasi pantai di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Sedikitnya 40 persen dari
81 ribu km pantai di Indonesia rusak akibat abrasi. Dalam beberapa tahun
terakhir garis pantai di beberapa daerah di Indonesia mengalami penyempitan
yang cukup memprihatinkan. Abrasi yang terjadi mampu menenggelamkan daratan
antara 2 hingga 10 meter per tahun.
Apabila tidak
diatasi, lama kelamaan daerah-daerah yang permukaannya rendah akan tenggelam.
Pantai yang indah dan menjadi tujuan wisata menjadi rusak. Pemukiman warga dan
tambak tergerus hingga menjadi laut. Tidak sedikit warga di pesisir pantai yang
telah direlokasi gara-gara abrasi pantai ini. Abrasi pantai juga berpotensi
menenggelamkan beberapa pulau kecil di perairan Indonesia”.
4. Abrasi ancam keasrian pantai di Bali
Menurut Eddy Lee (2013) menyatakan: “Pulau Bali sebagai
salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia terkenal memiliki keindahan alam
yang tersebar mulai daerah pegunungan hingga kawasan pantai. Namun belakangan
ini kondisi pantai-pantai di pulau Bali mengalami abrasi yang cukup parah.
Abrasi yang tersebar di seluruh kawasan pantai di pulau Bali telah
mengakibatkan kerusakan terhadap berbagai hak milik dan prasarana umum seperti:
areal pertanian, kebun, pemukiman penduduk, jalan, tempat-tempat ibadah (pura),
dan resort pariwisata.
Abrasi yang terjadi di Pantai Kuta sejak tahun 2000 akibat
terjangan ombak laut makin lama makin parah hingga kini mengingat ombak yang
disertai angin kencang terus meliputi Pantai Kuta. Hal itu bertambah parah
karena pantai kian hari makin tergerus air laut bahkan air laut sempat mencapai
jalan raya sehingga jalanan dipenuhi oleh pasir”.
Menurut
salah satu majalah di Kepulauan Riau, Haluan Kepri (2013) menyatakan: “akibat
terjadinya abrasi dan banyaknya penambangan bauksit di Kabupaten Bintan,
Provinsi Kepri mengakibatkan sejumlah pulau rawan tenggelam. Salah satunya Pulau
Sentut yang merupakan pulau terluar Indonesia yang terletak di perairan Laut
Cina Selatan atau perbatasan Indonesia dengan Malaysia.
Pulau
ini berada di sebelah timur dari Pulau Bintan dengan koordinat 1°2'52” LU,
104°49’50” BT yang terletak di titik koordinat 1°, masuk
Kecamatan Gunung Kijang desa Malang Rapat, Bintan.
Pulau
Sentut luasnya tidak sampai 2 hektar dan hanya berupa pasir. Saat ini luas dan
ketinggian pulau berkurang akibat abrasi dan penambangan bauksit berapa bulan
lalu. Dikatakan sebelumnya Pulau Sentut pernah ditambang oleh PT. Gunung Sion
yang berlangsung hanya beberapa bulan saja dan perusahaan tersebut saat ini
telah pindah di pulau lainnya. Disekitar wilayah Bintan juga ada dua pulau yang
terancam tenggelam karena abrasi dan penambangan tersebut.
Begitu
pula dengan Pulau Tembora yang terancam tenggelam akibat penambangan bauksit.
Warga khawatir luas pulau berkurang dan tenggelam akibat penambangan ini. Pulau
Ngalih juga disasar sebagai lokasi pertambangan. Padahal, pulaunya kurang
dari 80 hektar itu termasuk pulau kecil yang dilarang untuk penambangan di
Kecamatan Mantang.
Sedikitnya
enam pulau di pesisir barat dan selatan hampir tenggelam. Lebih dari separuh
pulau-pulau itu terendam air laut. Sisanya berupa daratan dengan pasir. Garis
terluar pulau-pulau itu masih terlihat. Namun, garis terluar ada di bawah air.
Jika tidak tenggelam, luas asli pulau jauh lebih besar dari kondisi saat ini”.
6. Selama dua
tahun 24 pulau kecil di Indonesia tenggelam
Menurut Departemen
Kelautan dan Perikanan (DKP) (2007) mengungkapkan: “hanya dalam waktu dua tahun
dari 2005 hingga 2007 sedikitnya 24 pulau kecil di wilayah Indonesia telah
tenggelam”.
Selain itu menurut Direktur Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil, Ditjen
Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) DKP, Alex S.W. Retraubun (2007) menyatakan:
“24 pulau yang
dinyatakan hilang itu merupakan kawasan yang sudah teridentifikasi dan telah
memiliki nama. Mayoritas pulau kecil yang tenggelam tersebut akibat abrasi air
laut diperburuk oleh kegiatan penambangan untuk kepentingan komersial. Selain
itu, bencana tsunami Aceh 2004 juga berdampak menenggelamkan tiga pulau kecil
setempat.
Sebanyak 24 pulau
yang tenggelam itu antara lain tiga pulau di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
tiga pulau di Sumatera Utara, tiga di Papua, lima di Kepulauan Riau, dua di Sumatera
Barat, satu di Sulawesi Selatan, dan tujuh di kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta.
Sebanyak 13 pulau atau 54,1 persen diantaranya tenggelam akibat abrasi. Sementara,
delapan lainnya karena kegiatan penambangan dan sisanya akibat dampak tsunami
Aceh yang terjadi tiga tahun lalu.
Dua puluh empat
pulau yang tenggelam tersebut yakni Sanjai, Karang Linon Besar dan Karang Linon
Kecil di NAD, Pulau Pusung, Lawandra, Niankin (Sumatera Utara), Pulau Kikis dan
Sijaujau (Sumatera Barat). Di Kepulauan Riau, yakni Pulau Terumbu Daun, Lereh, Tikus,
Inggit, dan Begonjai akibat penambangan pasir dan abrasi, sementara di Jakarta
yakni Pulau Ubi Besar, Ubi Kecil dan Nirwana karena tambang untuk bandara. Selain
itu juga Pulau Dapur, Payung Kecil, Air Kecil dan Nyamuk Kecil karena abrasi,
sedangkan di Sulawesi Selatan yakni Pulau Laut, sementara tiga pulau di Papua
yakni Mioswekel, Urbinasi dan Klakepo.
Pulau-pulau itu
merupakan dataran landai yang hanya berketinggian sekitar satu meter di atas
permukaan laut sehingga rentan terkena abrasi yang menyebabkan daratannya
terkikis air laut.
Kekhawatiran akan tingkat kehilangan fisik
kawasan pulau-pulau kecil bakal semakin masif dan besar menyusul fenomena
pemanasan global yang menaikkan permukaan air laut hampir satu meter sampai
akhir abad ini. Selain menenggelamkan pulau kecil, fenomena pemanasan global
juga memperluas kerusakan terumbu karang”.
7. Pulau Putri Batam terancam tenggelam
akibat abrasi
Menurut
Antara News (2013) mengabarkan: “Pulau Puteri yang terletak pada bagian utara
Kota Batam terancam tenggelam akibat terkikis abrasi laut sehingga
luasnya terus berkurang. Pulau
terdepan yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia itu, sebelumnya masih
ditumbuhi pohon-pohon, namun selama gelombang tinggi pohon itu habis digerus
ombak. Saat musim angin utara Pulau Puteri luasnya makin menyempit yang bisa
ditempuh selama lima menit dengan perahu mesin kecil namun, akibat abrasi dan
banyaknya pencemaran minyak saat musim utara sehingga bakau dan tumbuhan
penahan gelombang lainnya mati sehingga mengakibatkan luasnya terus menyusut.
Akibat
pencemaran yang terjadi upaya penanaman bakau yang dilakukan tidak membuahkan
hasil. Semua mati karena limbah minyak”.
Sebelumnya, ahli kelautan dari Dinas Kelautan
dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri, Dr Ediwan (2013) mengungkapkan:
“Ekosistem
laut di Kepri semakin mengkhawatirkan akibat maraknya pencemaran laut terutama
dari limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Ada
banyak faktor mengapa laut Kepri kian kritis. Ini akibat maraknya pembuangan
limbah baik dari kapal asing yang melintas. Jika ini terus terjadi maka cepat
atau lambat, habitat laut di Kepri akan punah. Ada tiga ekosistem laut terancam
punah yaitu karang, pasir dan mangrove atau bakau bila terkena limbah. Tumbuhan
tidak akan bisa hidup sementara ekosistem laut lain akan pergi.
Jika
hewan karang yang biasa menempel di karang merasa tidak nyaman, maka akan pergi
akibatnya karang rapuh dan tidak akan mampu menopang ekosistem laut lainnya. Limpahan
limbah yang terjadi di laut diakibatkan oleh berbagai aktivitas, baik industri,
alat transportasi seperti kapal dan tanker, maupun aktivitas penduduk. Rata-rata
limbah industri mengalir bebas ke laut”.
8. Kerusakan Pantai Muarareja di utara Kota Tegal,
Jawa Tengah
Menurut Lilis
Sofiana (2009) menyatakan: “kerusakan yang terjadi di Pantai Muarareja adalah
pengikisan (abrasi) daratan di pinggir pantai yang disebabkan besarnya
terjangan gelambang air laut dan adanya luapan air laut (rob) di daerah
tersebut. Kerusakan ini terjadi akibat ulah tangan manusia yang merusak sarana
dan prasarana umum di sekitar kawasan tersebut dengan menebang pohon bakau yang
berfungsi sebagai penangkal arus air laut.
Abrasi yang
terjadi di Pantai Muarareja menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan
tempat tinggal setelah dusun mereka tenggelam akibat abrasi. Kondisi tersebut
diperparah dengan tingginya gelombang pada saat musim penghujan. Dalam beberapa
bulan terakhir garis pantai ke arah laut sepanjang 7,5 kilometer terkikis 20
meter dari bibir pantai. Lebar daratan pantai yang dulu mencapai 200 meter saat
ini hanya tersisa 20 meter. Bahkan, sebagian daratan berupa tambak penduduk
sudah berbatasan langsung dengan air laut.
Abrasi di Pantai
Muarareja sudah terjadi selama puluhan tahun. Abrasi telah mengikis daratan di
pinggir pantai sepanjang sekitar 50 meter dan menghancurkan sekitar 300 hektar
lahan tambak milik nelayan di sana. Hal itu terjadi karena pohon bakau yang
berfungsi sebagai penangkal arus air laut hilang ditebang.
Selain itu, di
kawasan Muarareja juga terjadi rob atau limpahan air laut. Rob tersebut
menggenangi ratusan rumah warga dan jalan. Biasanya air mulai menggenangi rumah
warga sekitar pukul 16.00 dan surut sekitar pukul 20.00 WIB. Ketinggian air di
dalam rumah bisa mencapai sekitar 20 cm, sedangkan ketinggian air di jalan bisa
mencapai 50 cm. Meskipun tidak menimbulkan korban, rob sangat mengganggu
aktivitas warga.
Untuk mengatasi
hal tersebut, sebaiknya pemerintah dengan segera melakukan perbaikan terhadap
daerah pesisir pantai Muarareja, Kota Tegal. Dalam
upaya mengatasi kerusakan terutama yang disebabkan oleh abrasi sudah saatnya
bagi kita untuk memikirkan cara-cara dan melakukan tindakan yang berwawasan
konservasi, tidak lagi hanya dengan melakukan upaya yang sifatnya sementara
saja. Pencegahan ataupun penanggulangan abrasi dengan berwawasan konservasi
tentu akan memberikan berbagai keuntungan bagi lingkungan (alam) yang akan
membawa pengaruh positif dalam kehidupan manusia”.
9. Abrasi di Pulau
Gede, Rembang
Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas (2012) menyatakan:
“Pulau Gede merupakan sebuah pulau kecil di perairan Laut Jawa di utara Kabupaten Rembang. Pulau tidak berpenghuni yang terletak 2 mil ke arah timur Pulau Marongan ini hanya berjarak tidak lebih dari 5 km dari bibir pantai Kota Rembang.
Sekarang sebagian daratan pulau itu
tenggelam karena tingkat abrasi yang tinggi disebabkan oleh benturan gelombang
laut. Hal itu terjadi gara-gara banyak orang yang mengambil karang di sekitar
pulau itu yang digunakan untuk pembuatan bangunan”.
National
Geografic Indonesia (2011) memprediksikan: “Pulau Kelor, pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan seribu itu akan tenggelam 45 tahun lagi. Prediksi
tentang Pulau Kelor yang akan tenggelam dalam waktu 45 tahun ke depan
didasarkan atas data UPT Taman Arkeologi Onrust yang mengungkap bahwa pada
tahun 1980-an Pulau Kelor memiliki luas sekitar 1,5 hektar namun, kini luasnya
tidak mencapai 1 hektar.
Menyempitnya luas Pulau Kelor yang
mengakibatkannya terancam tenggelam dan musnah diakibatkan oleh abrasi yang mengikis pulau tersebut. Apalagi dengan
kecendurungan naiknya permukaan air laut sebagai akibat pemanasan global.
Tidak hanya Pulau Kelor saja. Banyak
pulau-pulau kecil Indonesia yang terancam hilang bukan lantaran direbut dan
dikuasai oleh negara tetangga namun, musnah lantaran abrasi, penambangan pasir,
naiknya permukaan air laut serta kerusakan
alam lainnya”.
11. Dua pulau di Enggano tenggelam, luas Indonesia menyusut
Menurut Harri
Pratama Aditya (2009) mengungkapkan: “zona kedaulatan Indonesia menyusut
sekitar dua km karena tenggelamnya dua anak pulau di Kepulauan Enggano,
Bengkulu Utara, Bengkulu, yaitu Pulau Bangkai seluas 10 hektar dan Pulau Satu
seluas 2 hektar. Dua anak pulau tersebut berada di zona terluar Indonesia. Pengukuran
zona kedaulatan Indonesia saat ini otomatis harus dimulai dari Pulau Enggano,
yaitu pulau utama Kepulauan Enggano. Berkurangnya zona kedaulatan RI juga
mengakibatkan semakin terbatasnya wilayah tangkapan hasil laut nelayan
Indonesia.
Pulau Bangkai
dan Satu tenggelam akibat abrasi air laut. Penyebabnya bisa karena tiga hal.
Pertama, karena pemanasan global yang menyebabkan meningkatnya permukaan air
laut. Kedua, mulai menipisnya padang lamun di pulau-pulau yang ada di Kepulauan
Enggano. Tanaman sejenis rumput ini berfungsi menahan ombak yang mengarah ke
pulau. Semakin tingginya permukaan air laut menyebabkan tanaman ini kekurangan
cahaya matahari dan akhirnya mati. Selain itu,
rusaknya terumbu karang akibat penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan
pukat harimau juga menjadi penyebab tanaman lamun sulit tumbuh.
Ketiga,
berkurangnya pepohonan yang berfungsi menahan air hujan di dalam tanah.
Akibatnya, saat terjadi air pasang pasir terseret ombak ke laut. Abrasi di
Kepulauan Enggano dapat dikurangi dengan cara menanam mangrove atau pun pepohonan
yang dapat menahan air hujan di dalam tanah dalam waktu lama serta menghentikan
penggunaan pukat harimau dan bom untuk menangkap ikan. Jika kondisi Kepulauan
Enggano terus dibiarkan seperti sekarang ini, diperkirakan dua anak pulau
lainnya, yaitu Pulau Dua seluas 11 hektar dan Pulau Marbau seluas 7 hektar akan
segera tenggelam kurang dari lima tahun ke depan.
Sementara itu,
kondisi pulau utama Kepulauan Enggano, yaitu Pulau Enggano saat ini pun juga
kian menyusut. Pada tahun 1960-an, luas pulau sekitar 45x18,5 km persegi.
Namun, sekarang sudah berkurang menjadi 40x17 km persegi. Ini berakibat akan
semakin sempitnya zona kedaulatan Indonesia”.
12. Ribuan pulau di
Indonesia tenggelam tahun 2030
Menurut Deva (2008) mengatakan: “Sejumlah
pulau kecil di Indonesia terancam tenggelam diantaranya Pulau Bone dan Pulau
Barrang Caddi, Sulawesi. Hal ini disebabkan oleh dampak pemanasan global. Di Pulau
Bone wilayah pulau tersebut semakin menyempit disebabkan oleh kenaikan
permukaan air laut. Banyak rumah warga yang ada di pesisir hancur terkena
terjangan ombak pantai. Hal itu juga terjadi di Pulau Barrang Caddi.
Diperkirakan tahun 2030 kenaikan air laut mencapai 1 meter dan ribuan pulau
kecil akan terendam dan menghilang.
Tanda-tanda pemanasan global di Indonesia
sudah tampak jelas. Sepanjang tahun 1980-2002 suhu minimum kota Polonia
(Sumatera Utara) meningkat 0,17°C per tahun.
Sementara, Denpasar mengalami peningkatan suhu maksimum hingga 0,87°C per tahun. Tanda yang kasat mata adalah menghilangnya salju yang dulu
menyelimuti satu-satunya tempat bersalju di Indonesia, yaitu Gunung Jayawijaya
di Papua. Sedangkan tanda yang paling mencolok adalah perubahan iklim”.
Studi yang dilakukan
ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi
Bandung (2007) menyatakan:
“Permukaan air laut Teluk Jakarta meningkat
setinggi 0,8 cm. Jika suhu bumi terus meningkat, maka diperkirakan pada tahun
2050 daerah-daerah di Jakarta dan Bekasi akan terendam”.
13. Dua Pulau Ubi tenggelam sebelum eksekusi
Berdasarkan laporan warga setempat, Lurah Agung
(2013) memastikan: “dua pulau Ubi, yaitu Ubi Besar dan Ubi Kecil sudah
tenggelam. Pulau Ubi Kecil tenggelam pada 1949 dan Pulau Ubi Besar hilang pada
1956.
Mulanya, Pulau Ubi Besar berpenghuni, namun
karena mulai terkikis oleh ombak warga terpaksa pindah. Pilihannya adalah
lokasi terdekat, yakni Pulau Untung Jawa. Catatan perpindahan penduduk itu
ditandai dengan sebuah tugu. Di sana tercatat perpindahan berlangsung pada 13
Februari 1954. Lokasi tugu di tengah Pulau Untung Jawa.
Sekitar dua tahun setelah kepindahan
penduduk, Pulau Ubi Besar sudah hilang. Selain karena abrasi, Ubi Besar dan Ubi
Kecil diperkirakan tenggelam lantaran penggalian pasir besar-besaran untuk
membangun Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang,
Banten.
Situs Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional masih mencantumkan nama dan koordinat Pulau Ubi Besar. Namun berdasarkan
foto satelit, pulau itu sudah tidak ada. Sedangkan situs resmi Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, www.jakarta.go.id, hanya menulis nama Pulau Ubi Kecil,
bagian dari wilayah administrasi Kelurahan Pulau Untung Jawa”.
14. Abrasi di Singkawang
Menurut Pemerintah Kota Singkawang
bagian pengolah data elektronik (2013) menyatakan:
“Singkawang yang terletak di daerah
pesisir yang berbatasan dengan Laut Natuna tidak bisa dilepaskan dari
permasalahan abrasi pantai. Kondisi yang terjadi saat ini di Kota Singkawang
beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan laut mulai dilanda abrasi pantai.
Hal ini dapat terlihat seperti di Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang
Selatan. Hantaman gelombang laut dan arus laut yang terjadi secara terus
menerus dengan nyata telah dirasakan penduduk setempat. Jika sebelumnya air
pasang laut tidak pernah menyentuh jalan, sekarang ketika pasang air laut sudah
mulai menggenangi jalan. Begitu juga dengan obyek wisata yang ada di tepi
pantai juga tak terelakkan dari abrasi pantai. Perlahan-lahan bibir pantai
semakin mendekat ke daratan. Jika ini dibiarkan tentunya sangat merugikan tidak
saja bagi masyarakat, tetapi juga pengembangan wisata pantai yang mejadi salah
satu andalan Kota Singkawang.
Permasalahan abrasi pantai yang
terjadi tentunya menjadi perhatian Walikota Singkawang Drs. H. Awang Ishak, M. Si.
Dengan dampak yang disebutkan di atas dia telah menginstruksikan kepada Dinas
Binas Marga, Sumber Daya Air dan ESDM Kota Singkawang untuk menginventarisir
wilayah yang mengalami abrasi pantai. Dari hasil inventarisir itu diharapkan
Dinas Bina Marga dapat meneruskan ke pemerintah pusat agar ikut membantu
menangani abrasi pantai di Singkawang. Karena sebagaimana yang disebutkan untuk
membangun pemecah ombak memerlukan biaya yang cukup besar sedangkan untuk
ditanami pohon bakau harus menyesuaikan dengan kondisi tanah yang di setiap
pantai”.
15. Abrasi pantai ancam daratan
Menurut Pengamat Kelautan, Profesor
Sahala Hutabarat (2011) menyatakan: “Sangat disayangkan memang, rusaknya garis
pantai kita, namun tentunya itu tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor baik
faktor alam maupun faktor manusia, saya melihat abrasi pantai itu umumnya
secara alami, namun ulah manusia juga menjadi faktor utama.
Ulah manusia, yaitu banyaknya
manusia yang tidak peduli terhadap terumbu karang, di mana banyak masyarakat
yang mengambil begitu saja karang-karang yang ada dipantai.
Hilangnya vegetasi mangrove (hutan
bakau) di pesisir pantai. Sebagaimana diketahui, mangrove yang ditanam di
pinggiran pantai, akar-akarnya mampu menahan ombak sehingga menghambat
terjadinya pengikisan pantai. Sayangnya, hutan bakau ini banyak yang telah
dirusak oleh manusia.
Industri-industri di tepi pantai
yang juga menjadi faktor abrasi pantai, seperti misalnya pembangunan pelabuhan.
Faktor lain disebutkan oleh Profesor Ilmu Kelautan UNDIP ini yaitu
perubahan iklim menjadi penyebab abrasi pantai. Pasalnya dengan kondisi saat
ini tidak bisa terhindarkan”.
Dirjen Sumber Daya Air, Kementerian
Pekerjaan Umum (PU), Dr Moch Amron (2011) mengatakan:
“20 persen garis pantai di Indonesia
mengalami kerusakan”. Sebanyak 20 persen dari garis pantai di sepanjang wilayah
Indonesia dilaporkan mengalami kerusakan akibat berbagai permasalahan antara
lain perubahan lingkungan dan abrasi pantai. Amron mencontohkan, panjang garis
pantai di Pulau Bali telah mengalami abrasi sekitar 91 kilometer atau 20,8
persen dari garis pantai pulau tersebut. Hal itu sangat disayangkan karena
Indonesia memiliki garis pantai sekitar 95 kilometer”.
Sementara itu, Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) melalaui Direktur Pesisir dan Lautan Ditjen KP3K, Dr. Ir
Subandono Diposaptono (2011) mengatakan:
“Penanganan abrasi tersebut memang
wilayah saya, ada dua faktor yang dibuat oleh KKP, yaitu pembangunan struktur
dan nonstruktur, namun KKP hanya berada pada wilayah nonstruktur, yaitu
penanaman pohon mangrove dan terumbu buatan.
Ada sekitar 20 Provinsi dan ratusan
lokasi yang sudah terkena abrasi, dan penanganannya pun terus dilakukan, namun
KKP tidak bisa bekerja sendirian, untuk penanganan abrasi dengan cara pembuatan
tembok perlu kerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum. Penanganan abrasi
sendiri tentunya tidak sembarangan, seperti pembuatan tembok, perlu kajian
secara komperhensif karena masih kata Subandono jika pembangunan dilakukan di satu
titik tanpa ada penanganan yang serius maka bisa merubah tempat lain. Jika
tempat A ditangani tanpa melakukan kajian, maka bisa berakibat fatal ke tempat
lain. Harus dilihat dari arah mana gelombangnya dan jika dibuat tembok apakah
tidak akan merusak tempat lain, tentunya kan tidak boleh sembarangan”.
Jadi dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya ada keinginan dari pemerintah untuk menanggulangi abrasi yang
terjadi di beberapa daerah di Indonesia, tetapi pemerintah tidak dapat hanya
memerhatikan 1 aspek saja karena tanpa memerhatikan aspek lain maka daerah lain
akan mengalami akibat yang fatal. Selain itu, masih ada beberapa daerah di mana
masyarakat masih kurang menyadari pentingnya menjaga lingkungan pantai dari
bahaya abrasi. Bahkan, puluhan penduduk di sekitar pantai melakukan relokasi
karena tempat yang lama sudah terendam. Oleh karena itu, untuk mengatasi
masalah ini sangat dibutuhkan kerja sama dari pemerintah dan masyarakat.
2.3 Upaya Mengurangi Kerusakan yang
Ditimbulkan Abrasi
Abrasi tidak mungkin bisa dicegah karena setiap hari
air laut terus bergerak dan anginpun tak berhenti berhembus. Oleh karena itu,
kita sebagai manusia hanya bisa mengurangi, menghambat, atau memperkecil
kerusakan yang diakibatkan oleh abrasi.
Ada
beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi (paling tidak menghambat)
masalah abrasi pantai ini menurut Islahudin (2012), yaitu:
1. Untuk mengatasi masalah
abrasi di Pamekasan seperti yang dipaparkan sebelumnya, Sekjen DKP menempatkan
Kabupaten Pamekasan sebagai tempat pelaksanaan jambore mitigasi mangrove.
Beliau berharap dengan adanya jambore mitigasi mangrove yang digelar di
Pamekasan ini masyarakat bisa lebih peduli untuk menjaga kelestarian
lingkungan. Mereka juga berharap agar kegiatan ini tidak berhenti sampai di
sini saja, akan tetapi bisa tetap berkelanjutan sehingga tanaman mangrove di
pesisir pantai di Pamekasan ini bisa terjaga dengan baik.
2. Pemulihan
hutan mangrove di sekitar pantai yang terkena dampak abrasi tersebut. Pemerintah telah
melakukan berbagai upaya rehabilitasi untuk memperbaiki tanaman mangrove yang
rusak tersebut. Pada 2004 dan 2005 pemerintah mampu menghijaukan 34.601 hektar
hutan mangrove (bakau), sedangkan pada tahun 2006 sekitar 2.790 hektar.
3. Pelestarian terumbu karang, yaitu melalui
rehabilitasi lingkungan pesisir yang hutan bakaunya sudah punah, baik akibat
dari abrasi itu sendiri maupun dari pembukaan lahan tambak. Terumbu karang juga
dapat berfungsi mengurangi kekuatan gelombang yang sampai ke pantai. Oleh
karena itu, perlu pelestarian terumbu karang dengan membuat peraturan untuk
melindungi habitatnya.
4. Pelarangan penggalian pasir pantai. Perlu
peraturan baik di tingkat pemerintah daerah maupun pusat yang mengatur
pelarangan penggalian pasir pantai secara besar-besaran yang tidak
memperhatikan kelestarian lingkungan.
5. Usaha membangun pengaman pantai.
Pengaman pantai bertujuan untuk mencegah erosi pantai dan penggenangan daerah
pantai akibat hempasan gelombang (overtopping). Berdasarkan strukturnya
pengaman pantai dibedakan menjadi dua, yaitu pengamanan lunak (soft protection)
dan pengamanan keras (hard protection).
1) Pengamanan lunak dilakukan dengan tiga cara yaitu:
I.
Pengisian
pasir, pengisian pasir bertujuan untuk mengganti pasir yang hilang akibat erosi
dan memberikan perlindungan pantai terhadap erosi dalam bentuk sistem tanggul
pasir. Hal yang harus diperhatikan adalah lokasi pasir harus memiliki kedalaman
yang cukup sehingga pertambahan kedalaman akibat penggalian pasir tidak
mempengaruhi pola gelombang dan arus yang pada gilirannya akan mengakibatkan
erosi ke pantai-pantai sekitarnya.
II.
Terumbu
karang, merupakan bentukan yang terdiri dari tumpukan zat kapur. Bentukan
terumbu karang dibangun oleh hewan karang dan hewan-hewan serta tumbuhan
lainnya yang mengandung zat kapur melalui proses biologis dan geologis dalam
kurun waktu yang relatif lama. Fungsi terumbu karang selain sebagai bagian
ekologis dari ekosistem pantai yang sangat kaya dengan produksi perikanan juga
melindungi pantai dan ekosistem perairan dangkal lain dari hempasan ombak dan
arus yang mengancam terjadinya erosi.
III.
Hutan
bakau (mangrove forest), merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang surut pantai berlumpur. Fungsi dari hutan bakau selain sebagai
tempat wisata dan penghasil kayu adalah sebagai peredam gelombang dan angin
badai, pelindung erosi, penahan lumpur dan penangkap sedimen. Sebenarnya
telah banyak orang yang mengetahui fungsi dan kegunaan hutan bakau bagi
lingkungan. Namun, dalam prakteknya di lapangan masih banyak pula yang belum
memanfaatkan hutan bakau sebagai sarana untuk mencegah atau mengatasi abrasi. Padahal,
mangrove yang ditanam di pinggiran pantai, akar-akarnya mampu menahan ombak
sehingga menghambat terjadinya pengikisan pantai.
Selain
mencegah atau mengatasi abrasi, hutan bakau dapat membawa keuntungan-keuntungan
lebih daripada hanya sekedar membangun pemecah gelombang buatan.
Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain:
1.
Menjaga kestabilan garis pantai.
2.
Menahan atau menyerap tiupan angin laut yang kencang.
3.
Dapat mengurangi resiko dampak dari
tsunami.
4. Membantu proses pengendapan lumpur sehingga
kualitas air laut lebih terjaga dari endapan lumpur erosi.
5.
Menghasilkan oksigen yang bermanfaat bagi manusia, hewan, dan tumbuhan.
6.
Mengurangi polusi, baik udara maupun
air.
7.
Sumber plasma nutfah.
8.
Menjaga keseimbangan alam.
9.
Sebagai habitat alami makhluk hidup seperti burung, kepiting, dan lain
sebagainya.
Beberapa
hal di atas merupakan sebagian dari berbagai keuntungan yang dapat diperoleh
dari penanaman hutan bakau dalam usaha mencegah atau mengatasi abrasi. Selain
itu pemerintah tidak perlu lagi berulang kali membangun pemecah gelombang
sehingga dapat menghemat pengeluaran dan dapat mengalokasikan dana untuk
keperluan-keperluan lain (tentunya yang berguna untuk masyarakat).
2) Pengamanan keras dilakukan dengan 5 cara, yaitu:
I.
Revetment
(pelindung tebing pantai), stuktur pelindung pantai yang dibuat sejajar pantai
dan biasanya memiliki permukaan miring. Strukturnya biasa terdiri dari beton,
timbunan batu, karung pasir, dan beronjong (gabion). Karena permukaannya
terdiri dari timbunan batu atau blok beton dengan rongga-rongga diantaranya,
maka revetment lebih efektif untuk meredam energi gelombang. Bangunannya dibuat
untuk menjaga stabilitas tebing atau lereng yang disebabkan oleh arus atau
gelombang. Ada beberapa tipe dari revetment, seperti: Rip-rap (batuan yang dicetak
dan berbentuk seragam), Unit armour (beton), dan batu alam(blok beton).
II. Seawall (dinding), hampir serupa
dengan revetment, yaitu dibuat sejajar pantai tapi seawall memiliki dinding
relatif tegak atau lengkung. Seawall pada umumnya dibuat dari konstruksi padat
seperti beton, turap baja atau kayu, pasangan batu atau pipa beton sehingga
seawall tidak meredam energi gelombang, tetapi gelombang yang memukul permukaan
seawall akan dipantulkan kembali dan menyebabkan gerusan pada bagian tumitnya.
III. Groin (groyne), struktur pengaman
pantai yang dibangun menjorok relatif tegak lurus terhadap arah pantai. Bahan
konstruksinya umumnya kayu, baja, beton (pipa beton), dan batu.
IV. Pemecah Gelombang Sejajar Pantai,
dibuat terpisah ke arah lepas pantai, tetapi masih di dalam zona gelombang
pecah (breaking zone). Bagian sisi luar pemecah gelombang memberikan
perlindungan dengan meredam energi gelombang sehingga gelombang dan arus di
belakangnya dapat dikurangi. Pantai di belakang struktur akan stabil dengan
terbentuknya endapan sedimen. Pencegahan abrasi dengan membangun
pemecah gelombang buatan di sekitar pantai dengan maksud untuk mengurangi
abrasi yang terjadi tanpa dibarengi dengan usaha konservasi ekosistem pantai
(seperti penanaman bakau dan/atau konservasi terumbu karang).
Akibatnya, dalam
beberapa tahun kemudian abrasi kembali terjadi karena pemecah gelombang buatan
tersebut tidak mampu terus-menerus menahan terjangan gelombang laut. Namun,
sering kali pengalaman tersebut tidak dijadikan pelajaran dalam menetapkan
kebijakan selanjutnya dalam upaya mencegah ataupun mengatasi abrasi. Yang
sering terjadi di lapangan ketika pemecah gelombang telah rusak adalah
pemerintah setempat membangun pemecah geombang buatan lagi dan tanpa dibarengi
dengan penanaman bakau atau konservasi terumbu karang yang rusak. Hal tersebut
seakan-akan menjadi suatu rutinitas yang bila dipikir lebih jauh, tentunya hal
tersebut akan berimbas terhadap dana yang harus dikeluarkan daerah setempat.
Seandainya,
dalam mengatasi abrasi tersebut kebijakan yang diambil pemerintah yaitu dengan
membangun pemecah gelombang buatan (pada awal usaha mengatasi abrasi atau jika
kondisi abrasi benar-benar parah dan diperlukan tindakan super cepat) dengan
dibarengi penanaman bakau di sekitar daerah yang terkena abrasi atau bahkan
bila memungkinkan dibarengi pula dengan konservasi terumbu karang, tentunya
pemerintah setempat tidak perlu secara berkala terus menerus membangun pemecah
gelombang yang menghabiskan dana yang tidak sedikit. Hal ini dikarenakan dalam
beberapa tahun sejak penanaman, tanaman-tanaman bakau tersebut sudah cukup
untuk mengatasi atau mengurangi abrasi yang terjadi.
V. Stabilisasi Pantai, dilakukan dengan
membuat bangunan pengarah sedimen seperti tanjung buatan, pemecah gelombang
sejajar pantai, dan karang buatan yang dikombinasikan dengan pengisian pasir.
Metode ini dilakukan apabila suatu kawasan pantai terdapat defisit sedimen yang
sangat besar sehingga dipandang perlu untuk mengembalikan kawasan pantai yang
hilang akibat erosi.
Pada saat ini, konsep pengamanan di
atas akan dan sedang diterapkan, misalnya untuk Pantai Sanur, Nusa Dua, dan
Kuta. Sedangkan untuk Pura Tanah Lot diamankan dengan pemecah gelombang terendam.
Dalam hal ini kita sebagai warga negara yang baik hendaknya ikut beperan dalam proses
pengamanan pantai tersebut, yaitu dengan ikut melestarikan ekosistem laut
beserta isinya, melakukan pembangunan sesuai peraturan yang berlaku agar tidak
melewati garis pantai, serta tidak melakukan penambangan pasir atau perusakan
karang.
6. Mereklamasi bekas lubang tambang
pasir atau barang tambang di daerah pesisir pantai.
7. Untuk mengantisipasi abrasi yang
lebih parah, program penanaman mangrove mulai digencarkan di wilayah pesisir
Kota Semarang. Belum lama ini, puluhan anggota Linmas dan elemen masyarakat
Kelurahan Wonolopo Kecamatan Mijen, melakukan bakti sosial penanaman 1.500
pohon bakau atau mangrove di sisa-sisa Pulau Tiram Kelurahan Mangunharjo
Kecamatan Tugu.
8. Penyediaan bibit penghijauan hutan
mangrove di sekitar pantai.
9. Departemen Pekerjaan Umum melalui
Direktorat Jendral Sumber Daya Air juga melaksanakan
pembuatan bangunan pantai yang terutama di tunjukan untuk pengamanan atau
perlindungan garis pantai dari kerusakan yang disebabkan oleh gelombang dan
arus laut. Bangunan-bangunan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Krib, adalah bangunan pengaman pantai
yang mempunyai fungsi untuk mengendalikan pergerakan material-material seperti
pasir pantai yang bergerak secara alami yang disebabkan oleh arus yang
sejajar pantai (Litoral
Drift). Bentuk krib biasanya dibangun lurus, namun ada pula yang
berbentuk zig-zag atau berbentuk Y, T, atau L.
2) Tembok pantai atau tanggul pantai,
dibangun untuk melindungi daratan terhadap erosi, gelombang laut, dan bahaya
banjir yang disebabkan oleh hempasan gelombang. Tembok pantai ada yang bersifat
meredam energi gelombang dan ada yang tidak. Adapun bahan yang digunakan ada
yang dari beton atau pasangan batu kosong (rublemounts).
3) Pemecah gelombang
yang putus-putus (Detached Break
Water), dibuat sejajar pantai dengan jarak
tertentu dari pantai. Bangunan ini berfungsi untuk mengubah kapasitas transport
sendimen yang sejajar ataupun tegak lurus dengan pantai dan akan mengakibatkan
terjadinya endapan (akresi) di belakang bangunan yang biasa disebut dengan
tombolo.
4) Konservasi
pantai, kegiatan yang tidak hanya sekedar
pengaman tepi pantai dari ancaman arus atau gelombang laut namun, memiliki kepentingan
yang lebih jauh misalnya untuk rekreasi, tempat berlabuh kapal-kapal pesiar dan
sebagainya. Salah satu yang dikerjakan ialah dengan membuat tanjung-tanjung
buatan (artificial headland),
di mana di antara tanjung-tanjung buatan tersebut dapat digunakan kapal pesiar untuk
berenang, tempat tersebut diisi dengan pasir yang berkualitas baik yang
biasanya diambil dari laut agar tidak merusak lingkungan. Di Indonesia konversi
pantai baru dikerjakan di Pantai Kuta dan Sanur di Pulau Bali.
10.
Permasalahan abrasi pantai yang terjadi di Singkawang
menjadi perhatian Walikota Singkawang Drs. H. Awang Ishak, M. Si. Dia telah
menginstruksikan kepada Dinas Binas Marga, Sumber Daya Air dan ESDM Kota
Singkawang untuk menginventarisir wilayah yang mengalami abrasi pantai”.
Dapat disimpulkan bahwa ada banyak sekali cara yang
dapat digunakan atau terapkan untuk melestarikan daerah pantai khusunya pesisir
yang sangat rentan tergerus abrasi. Akan tetapi, hasil yang kita lukan akan
jauh lebih baik apabila pemerintah turut berperan agar tindakan yang kita
lakukan tidak sia-sia.
Penanganan
abrasi pantai memang sulit. Solusi di atas memiliki resiko dan kekurangan
masing-masing. Pemasangan alat pemecah ombak tentunya memerlukan biaya yang
sangat besar, waktu yang lama, dan wilayah yang luas sedangkan penanaman
vegetasi mangrove pun tidak dapat dilakukan di semua jenis pantai karena
mangrove hanya tumbuh di daerah yang berlumpur. Hal ini akan menjadi sangat
sulit karena sebagian besar pantai di Indonesia merupakan perairan yang
dasarnya tertutupi oleh pasir. Seperti kita ketahui bahwa tanaman bakau tidak
dapat tumbuh pada daerah berpasir.
Tidak hanya itu, rehabilitasi hutan mangrove juga
memiliki kendala di pemerintahannya sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, kewenangan
Pemerintah Pusat dalam rehabilitasi hutan dan lahan, termasuk hutan mangrove
hanya terbatas menetapkan pola umum sedangkan penyelenggaraan oleh pemerintah
daerah. Jadi, keputusan untuk pemulihan lahan masih diselenggarakan oleh
pemerintah daerah.
Tetapi
meskipun sangat sulit, usaha untuk mengatasi abrasi ini harus terus dilakukan.
Jika masalah abrasi ini tidak segera ditanggulangi, maka bukan tidak mungkin
dalam beberapa tahun ke depan luas daratan di Indonesia banyak yang akan
berkurang. Bahkan beberapa pulau terancam hilang.
Agar upaya ini dapat berjalan dengan lebih baik,
maka peranan dari semua elemen masyarakat sangat diperlukan. Pemerintah tidak akan dapat mengatasinya tanpa partisipasi dari
masyarakat. Apabila alat pemecah ombak berhasil dibangun dan hutan bakau atau
hutan mangrove berhasil ditanam, maka dampak abrasi tentu akan dapat dikurangi
meskipun tidak sampai 100%.
Masalah
pencemaran pantai juga harus diatasi dengan sangat serius karena dapat merusak
keindahan dan keasrian pantai. Untuk mengatasi permasalahan ini kesadaran
masyarakat akan pentingnya lingkungan harus ditingkatkan. Selain itu peraturan
untuk tidak merusak lingkungan harus dibuat dan menindak dengan tegas bagi
siapa pun yang melanggarnya.
Sekarang
ini di beberapa pantai masih banyak ditemui sampah-sampah yang berserakan.
Selain itu, limbah pabrik yang beracun banyak yang dialirkan ke sungai yang
kemudian mengalir ke laut. Hal ini dapat merusak ekosistem laut dan juga dapat
membunuh beberapa biota laut. Pemerintah seharusnya menghimbau agar seluruh
pabrik-pabrik tersebut membuang limbahnya setelah dinetralisasi terlebih dahulu.
Oleh
karena itu, tanpa kesadaran dari diri kita sendiri untuk merawat dan menjaga
lingkungan, niscaya abrasi akan tetap terus terjadi dan semakin memburuk.
Bahkan, bukan tidak mungkin pulau-pulau besar juga mungkin akan tenggelam.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun berdasarkan pembahasan
sebelumnya dapat disimpulkan:
1. Abrasi dan pencemaran pantai
merupakan masalah pelik yang dihadapi oleh masyarakat. Abrasi
diakibatkan oleh 2
faktor, baik faktor alam (angin selalu berhembus menyebabkan air laut terus
bergerak sehingga perlahan-lahan mengikis daratan atupun oleh bencana alam)
maupun manusia(pembabatan hutan bakau, perusakan terumbu karang, penggalian
pasir).
2. Dampak yang
diakibatkan
oleh abrasi ini
sangat besar. Garis pantai akan semakin menyempit dan apabila tidak diatasi
lama kelamaan daerah-daerah yang permukaannya rendah akan tenggelam. Ada banyak sekali pulau-pulau kecil
di Indonesia yang tenggelam dan menghilang dikarenakan abrasi. Bahkan,
diprediksikan beberapa tahun mendatang Indonesia akan kehilangan ribuan pulau
karena abrasi.
3. Kita dapat mengurangi atau
memperkecil dampak negatif dari abrasi dengan melakukan beberapa cara, seperti membangun alat
pemecah ombak dan menanam pohon bakau di pinggir pantai. Alat pemecah ombak
dapat menahan laju ombak dan memecahkan gelombang air sehingga kekuatan ombak
saat mencapai bibir pantai akan berkurang. Demikian juga dengan pohon bakau
yang ditanam di pinggiran pantai. Akar-akarnya yang kokoh dapat menahan
kekuatan ombak agar tidak mengikis pantai.
4. Masalah abrasi
maupun pencemaran lingkungan ini sangat sulit untuk diatasi karena kurangnya
kesadaran masyarakat akan lingkungannya. Masih banyak orang yang membuang
sampah pada sembarang tempat yang nantinya dapat mencemari lingkungan. Masih banyak pula pihak-pihak
tertentu yang melakukan pembangunan suatu daerah tanpa memperhatikan
kelestarian lingkungan, termasuk daerah pesisir.
5. Permasalahan ini
harus diselesaikan bukan hanya oleh pemerintah, tapi juga memerlukan
partisipasi dari masyarakat. Niscaya, tanpa adanya kesadaran masyarakat untuk menjaga
dan melestarikan lingkungan, baik darat maupun laut, Indonesia akan kehilangan
lebih banyak pulau dan bukan tidak mungkin pulau-pulau besar pun akan turut
tenggelam.
3.2 Saran
Setelah penulis mengulas permasalahan di atas, penulis
ingin menyarankan kepada pembaca
khususnya masyarakat pada umumnya untuk mengambil peran dalam mengatasi masalah
abrasi dan pencemaran pantai karena usaha dari pemerintah saja tidak cukup
berarti tanpa bantuan dari masyarakat. Disarankan juga agar pemerintah lebih menindak tegas oknum-oknum
yang terlibat dalam kegiatan yang tidak memperhatikan lingkungan.
Pembangunan alat pemecah ombak dan
penanaman pohon bakau harus segera dilakukan agar abrasi yang terjadi di
beberapa daerah tidak bertambah parah. Bagi para pemilik pabrik maupun usaha apapun yang ada di
sekitar pantai agar tidak membuang limbah atau sampah ke laut. Mereka harus
menyediakan sarana kebersihan agar limbah atau sampah yang mereka hasilkan
tidak mencemari pantai.
Karena pantai yang tercemar akan sulit dipulihkan lagi (sulit ditumbuhi
tumbuhan).
Demikianlah saran-saran yang dapat penulis sampaikan. Semoga apa yang
telah penulis sampaikan
dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat agar mau menjaga keasrian dan
kebersihan lingkungan.
Semua orang harus ikut berperan serta dalam menanggulangi masalah abrasi ini agar tidak ada lagi
pulau-pulau yang dikabarkan telah menghilang (tenggelam).
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, Harri
Pratama. 2009. Dua Pulau di Enggano
Tenggelam, Luas Indonesia Menyusut, www.tempo.com. Diunduh
pada 9 Agustus 2013.
Alpensteel. 2011. Abrasi Bisa Mengancam Keasrian Alam, www.alpensteel.com.
Diunduh pada 9 Agustus 2013.
AntaraNews.
2009. Sekjen DKP: Abrasi Pantai Pamekasan
Terparah di Madura, www.antaranews.com. Diunduh
pada 9 Agustus 2013.
AntaraNews. 2007. Selama Dua Tahun, 24 Pulau Kecil di
Indonesia Tenggelam. www.antaranews.com.
Diunduh pada 9 Agustus 2013.
AntaraNews. 2013. Pulau Putri Batam Terancam Tenggelam Akibat
Abrasi, bengkulu.antaranews.com.
Diunduh pada 9 Agustus 2013.
Arsyad, Muhammad. 2013. Kerusakan Lingkungan Pesisir Pantai, arsyadmoon1.blogspot.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.
Endah, Alam. 2009. Abrasi Rusak 40 Prosen Pantai Indonesia,
alamendah.org.
Diunduh pada 9 Agustus 2013.
Fajar. 2011. Mencegah dan Mengatasi Abrasi di Indonesia,
pedemunegeri.com.
Diunduh
pada 9 Agustus 2013.
Haluan Kepri. 2013. Pulau Sentut, Bintan Terancam Tenggelam, www.haluankepri.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.
Indomaritim. 2013. Abrasi Pantai Ancam Daratan, indomaritimeinstitute.org. Diunduh pada 9 Agustus 2013.
Islahudin. 2012. Dua Pulau Ubi Tenggelam Sebelum Eksekusi,
www.merdeka.com.
Diunduh pada 9 Agustus 2013.
Jawaban Spiritual.
2009. 2050 Ribuan Pulau di Indonesia
Tenggelam, www.jawaban.com.
Diunduh pada 9 Agustus 2013.
Lee, Eddy S. 2013. Jika Tidak
Dikendalikan Abrasi Pantai Mengancam, archipeddy.com.
Diunduh pada 6 Agustus 2013.
Pemerintah Kota Singkawang Bagian Pengolah Data Elektronik. 2013. Abrasi Pantai Ancam Daratan, www.singkawangkota.go.id. Diunduh pada 6 Agustus 2013.
Pikiran Rakyat. 2013. Abrasi Pantai Batukaras Mencapai Lebar 10 Meter, m.pikiran-rakyat.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.
Ratih, Camay. 2012. Penyebab Abrasi Pantai Beserta Solusinya, camayratih.blogspot.com. Diunduh
pada 6 Agustus 2013.
Save Earth From Destroy.
2012. Mencari Solusi Pencegahan Abrasi
Pantai, take-solution.blogspot.com.
Diunduh pada 9 Agustus 2013.
Sofiana, Lilis. 2009. Pengaruh Kegiatan Manusia Terhadap
Keseimbangan Ekosistem, lilis-sofiana.blogspot.com. Diunduh pada 9 Agustus 2013.
Suara
Merdeka. 2013. Dewan Kritisi Minimnya
Program Pencegahan Abrasi, www.suaramerdeka.com. Diunduh
pada 9 Agustus 2013.
Tiny News. 2012. Sebutkan Upaya yang Dilakukan Dalam
Memperbaiki Lingkungan yang Rusak?, www.lensamuria.com.
Diunduh pada 9 Agustus 2013.
Wikipedia. 2012. Pulau Gede – Wikipedia Bahasa Indonesia,
Ensiklopedia Bebas, id.wikipedia.org.
Diunduh 9 Agustus 2013.
No comments:
Post a Comment