Artikel ini mencoba menanggapi adanya pendapat bahwa “sambungan las tidak boleh digunakan pada konstruksi jembatan baja“.
Terus terang sampai sejauh ini saya tidak pernah menjumpai literatur yang membenarkan pendapat di atas,
atau dengan kata lain bahwa pendapat di atas adalah tidak benar. Tetapi
karena yang menyatakan pendapat tersebut adalah seorang ahli jembatan
dari Kementrian PU, yang karirnya adalah memang menangani pembangunan
jembatan-jembatan di Indonesia, maka tentu saja pendapat di atas tidak
dapat aku abaikan begitu saja.
Saya yakin jika pendapat tersebut didengar oleh dosen lain, maka
pasti itu akan dijadikan rujukan perkuliahannya tanpa perlu
bertanya-tanya lagi, maklum pendapat di atas khan disampaikan oleh orang jembatan.
Tetapi bagiku, karena merasa tidak sesuai dengan pengetahuan yang aku
miliki bahkan menimbulkan pertentangan pikiran, maka perlu dipikirkan : “Apa benar pendapat beliau tersebut“.
Tertarik dengan diskusi ini. Jika iya, silahkan lanjut berikutnya.
Sebelumnya ada baiknya aku ceritakan
latar belakang mengapa pakar jembatan tersebut berpendapat seperti di
atas. Kasusnya dimulai dari rapat penjurian KJI. Seperti diketahui pada
lomba Kompetisi Jembatan Indonesia ada sesi model jembatan baja, dimana
model jembatan dibagi dalam empat segmen jembatan yang terpisah.
Meskipun ada juga yang menggunakan alat sambung baut semua, tetapi
umumnya bagi peserta yang tahu, maka mereka akan menggunakan dua sistem
sambungan, yaitu [1] sambungan las bagi segmen jembatan yang dapat
dikerjakan di bengkel; dan [2] sambungan baut bagi segmen jembatan yang
dipasang di arena lomba. Kondisi yang terakhir ini menurutku telah
merepresentasikan keadaan yang sebenarnya dalam pembangunan jembatan,
yaitu bahwa sistem sambungan dengan las boleh dikerjakan tetapi hanya di
bengkel kerja yang kualitasnya dapat dikontrol dan diawasi dengan baik,
sedangkan untuk penyambungan di lapangan hanya boleh digunakan sistem
sambungan baut mutu tinggi.
Selama ini memang tidak ada yang mempermasalahkan kondisi di atas,
meskipun acara KJI sendiri telah berlangsung selama lima tahun
berturut-turut lamanya. Tapi tahun ini berbeda, pada rapat juri ada
masukan atau tepatnya usulan dari praktisi tersebut, bahwa sebaiknya
sistem sambungan las tidak boleh dipakai di acara KJI berikutnya,
alasannya bahwa “sambungan las tidak boleh digunakan pada konstruksi jembatan baja“.
Terhadap pendapat tersebut, para juri lain terkesan mengamini. Maklum
dari sisi pengalaman dan juga jabatan birokrasi yang disandangnya maka
memang beliau dapat dikatakan paling senior di bidang jembatan. Akupun
mengakuinya, sehingga argumentasi lesan yang aku sampaikan pastilah
tidak akan banyak didengar oleh teman yang lain. Untuk itulah aku
mencoba menyusun argumentasi tertulis yang berkaitan dengan hal
tersebut.
Pertama-tama aku akan mempelajari spesifikasi tertulis yang biasa
digunakan di Indonesia, dalam hal ini adalah yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Bina Program, yaitu : “JalanPeraturan Perencanaan Teknik Jembatan Jilid 1“, atau biasa disebut “Bridge Management System“.
Dalam dokumen setebal 714 halaman tersebut tidak ada sepatah kalimatpun yang menyatakan bahwa sambungan las tidak boleh digunakan di konstruksi jembatan, bahkan dijumpai bab khusus yang mengatur cara penggunaan las, yaitu Bridge
Design Code – Section 7: Structural Steel Design (11 May 1992) 7.12.8
Design of Welds, sekitar 14 halaman sendiri (p 176 – p190).
Mungkin itu dokumen di atas oleh praktisi jembatan tersebut sudah
dianggap out-of-dated, sudah lama. Oleh karena itu aku mencoba mencari
tahu, karena kelihatannya tidak ada dokumen baru lagi tentang jembatan
yang dikeluarkan PU yang menganulis peraturan di atas maka aku merujuk
pada peraturan international, dalam hal ini adalah AASHTO LRFD Bridge Design Specifications SI Units 3rd Edition (2005), bukunya lebih tebal lagi dibanding yang peraturan kita, yaitu terdiri dari 1436 halaman.
Setelah membuka-buka cukup lama, ternyata di AASHTO juga tidak aku temukan pernyataan bahwa las tidak boleh digunakan pada jembatan. Pada buku tersebut bahkan juga ditemukan petunjuk pemakaian las di jembatan yaitu di section 6.13.3 Welded Connections.
Jadi sampai sejauh ini pengetahuanku bahwa sambungan las juga dapat
diterapkan di jembatan didukung oleh code yang berlaku, baik di
Indonesia (BMS 1992) maupun di Amerika (AASHTO 2005), meskipun dalam
hal ini berbeda dengan pendapat yang disampaikan praktisi jembatan di
atas.
Jadi kenapa ya, sampai-sampai bapak tersebut berpendapat seperti itu. Mungkin saja karena pengetahuan empirisnya selama ini. Hal itu dapat dimaklumi, teman-teman engineer di tempat kita, di Indonesia, umumnya masih mengandalkan budaya lesan, yang umumnya didasarkan oleh pengetahuan inderawi yang ditemui.
Jarang mereka secara teratur membaca literatur-literatur, kecuali buku
spesifikasi yang memang harus dibaca dan dikuasai. Jika membaca saja
jarang, apalagi menuliskannya.
Untuk itu maka ada baiknya aku mengikuti cara beliau, yaitu
berdasarkan bukti empiris jembatan-jembatan baja yang ada di Indonesia.
Untunglah, dari tempo hari menulis satu chapter tentang
jembatan-jembatan di Indonesia (sedang dalam proses diterbitkan) maka
aku mempunyai beberapa data primer tentang jembatan di Indonesia. Mari
kita lihat dan amati.
Ini detail jembatan Transfield atau dikenal sebagai Trans-Bakrie
Gambar 1. Prespektif Jembatan Transfield (Trans-Bakrie)
Pada jembatan di atas, teknologi las meskipun hanya terbatas pada
pemasangan pelat stiffner, dan Top Cord End Beam ternyata juga
digunakan. Adapun sistem sambungan utamanya adalah baut mutu tinggi,
seperti terlihat pada detail typical Bottom Chord berikut.
Gambar 2. Tipikal Detail Sambungan pada Jembatan Transfield
Kecuali tipe jembatan Transfield, maka jembatan baja yang umum
digunakan dan yang dijadikan jembatan standar oleh Departemen PU adalah
tipe jembatan sebagai berikut.
Gambar 4. Jembatan Standar PU
Detailnya mirip dengan jembatan Transfield dimana sistem sambungan
dengan baut digunakan secara mayoritas pada jembatan tersebut.
Gambar 5. Jembatan baja tipe Austria
Tipe Austria maupun tipe Calender Hamilton juga terlihat seperti
Transfield, yaitu memakai baut mutu tinggi sebagai sistem sambungannya.
Sistem serupa juga terlihat pada jembatan-jembatan non-standar seperti :
Contoh di atas adalah jembatan baja untuk jalur KA, di lintas utara
Jawa. Getaran pada jalur lalu lintas kereta api jelas lebih besar
dibanding lalu lintas jalan raya, kondisi itu biasanya berdampak pada
resiko fatique yang besar, yang umumnya terjadi pada sistem sambungan,
daerah dengan kondisi tegangan terkonsentrasi yang besar. Jadi jembatan
baja untuk jalur lalu lintas KA umumnya mempunyai spesifikasi sambungan
yang ketat. Pertama kali dulu harus menggunakan sistem paku keling,
kemudian meningkat dengan digantikannya dengan sistem baut mutu tinggi.
Sekarang dengan berkembangnya sistem las, maka daerah-daerah
sambungan yang rumit dibuat dengan sistem sambungan las di bengkel
kerja (fabrikasi), tetapi untuk memudahkan dirakit di lapangan maka
tetap disediakan sistem sambungan baut mutu tinggi. Tetapi
lokasinya bisa dipindah ke titik-titik yang detailnya tidak terlalu
rumit sebagai terlihat pada Gambar 10 di atas. Artinya bahwa sistem
sambungan las dapat secara efektif digunakan pada jembatan baja,
meskipun itu jalur KA.
Masih ragu ya, karena jembatan yang ditampilkan adalah untuk KA.
Kalau begitu coba aku cari contoh jembatan jalan raya yang menerapkan
sistem sambungan las dan juga baut.
Gambar 11 adalah segmen girder baja pada jembatan Suramadu, disana
terlihat bahwa sistem sambungan yang utama adalah las, adapun sistem
baut mutu tinggi digunakan agar erection di lapangan dimungkinkan.
Jadi sejauh ini dapat ditunjukkan bahwa meskipun
jembatan-jembatan di Indonesia secara mayoritas memakai sistem
sambungan baut mutu tinggi , tetapi itu tidak bisa dijadikan bukti bahwa
sistem sambungan las tidak baik digunakan pada konstruksi jembatan baja.
Pertama tentu karena tidak ada larangan hal itu pada code-code
perencanaan yang ada seperti (BMS 1992 atau AASHTO 2005). Kedua, bahwa
ada bukti juga bahwa sambungan las dapat dipakai secara baik di jembatan
KA yang tentunya resiko kena fatique lebih besar dibanding lalu-lintas
jalan raya. Bahkan jembatan Suramadu yang baru saja diresmikan,
segment-segmentnya dibentuk dengan sistem sambungan las, adapun sistem
sambungan baut dipasang untuk kemudahan proses pemasangan di lapangan
saja.
Kesimpulan lain yang dapat diungkapkan dari tulisan ini adalah bahwa
pengalaman empiris subyektif tidak dapat dijadikan referensi
satu-satunya untuk suatu keputusan yang bersifat umum. Perlu dilihat
juga berbagai sumber literatur lain agar dapat diperoleh suatu
pengetahuan yang solid.
Kesimpulan akhir, bahwa pengetahuanku tentang sistem sambungan las dan baut sejauh ini tidak perlu dikoreksi.
Bagaimana pendapat anda ?
Sumber : http://wiryanto.wordpress.com
No comments:
Post a Comment